Laki-Laki Normal

14 5 4
                                    

"Sorry, Mes. Tapi kita terdesak dan gue belum nemu kandidat lain," Didi berkata seminggu kemudian. "Kandidat terbaik kita, si lulusan MIT, maunya mulai kerja dua bulan lagi. Mau traveling ke Nepal dulu katanya."

Memes mengamati gelasnya di coffee maker, menunggu hingga tetes-tetes espresso berhenti sama sekali.

"I promise, ini cuma dua bulan, sampai si lulusan MIT itu kembali."

"KALAU dia kembali," Memes mengambil gelasnya. Satu shot espresso. Itu yang ia butuhkan pagi ini agar matanya bisa melek. Ada banyak gambar yang harus ia selesaikan. Senyumnya terkembang samar, untung mesin ini udah beres.

"Gue udah bilang sama si Lakang itu. Gue bilang kita mewajibkan karyawan baru untuk menjalani masa percobaan dua bulan. Kalau kerjanya beres, baru kita kasih kontrak. Nah, kalau si lulusan MIT itu kembali dua bulan lagi, kita tinggal bilang aja sama si Lakang..."

"Mmmbbbrrrttt," Memes nyaris menyemburkan kopinya, menahan tawa. "Lanang. Namanya Lanang. Bukan Lakang."

"Yeah, itulah. Kita tinggal bilang sama si Lakang..."

"Stop it!" Memes menggablok punggung Didi. "Aku mau ngakak tiap kali dengar kata itu."

"Apa? Lakang? Memangnya kenapa?"

"Lakang itu... bwuhaha. Udah lupakan aja. Kita akan bilang apa padanya?"

"Kita akan bilang dia nggak memenuhi standar kita dan terpaksa nggak kita kontrak," kata Didi yakin.

"Kalau kerjanya bagus?"

"Dia tetap nggak memenuhi standar karena dia punya kont..."

"Ehm ehm," Memes berdehem.

"Itu tercantum di lowongan. Syarat yang kita ajukan adalah perempuan. Perempuan! Jadi wajar dong kalau akhirnya dia nggak dapat kontrak."

"Tapi kita eksploitasi dia dua bulan sebagai karyawan percobaan?" Memes mendecak sambil melangkah, Didi mengekor.

"Apa kita harus selicik itu? Kita baru berdiri setahun dan sudah mau memperalat orang?"

Didi mengangkat tangan, pasrah. "Well, pasti akan ada alasan lain nanti. Mungkin kinerjanya kurang oke atau gimana."

Memes mengangkat tangan, meminta Didi berhenti, "Sejauh ini, dua hari ini, kerjanya memuaskan banget. Semua software-ku sudah terupdate. Dia juga memperbaiki laptop Marina. Malah, dia memperbaiki mesin kopi itu," Memes mengangkat dagu ke arah coffee maker. Aku bisa minum espresso lagi."

"Ah, elo, bikin kopi pakai cerek apa susahnya, sih?"

Memes duduk di kursinya, menyalakan komputer. Didi berdiri di belakangnya.

"Sorry, Mes."

"Sorry for what?"

"Mempekerjakan laki-laki."

Memes menoleh, menatap Didi yang berdiri di sampingnya, "Aku sudah bilang aku nggak keberatan kerja dengan laki-laki. Kamulah yang keberatan. Kamu yang bikin aturan. Aturan tak tertulis by the way."

Didi terdiam.

"Minta maaflah pada dirimu sendiri," kata Memes kemudian sambil menyesap espressonya. "Aku, sih suka sama dia."

"Oh," Didi mendesah, menggigit bibir. Tangannya mengusap rambutnya yang super pendek, tegak, dan dicat pirang sebagian.

"Bahkan siang nanti kami mau ke Glodok bareng buat cari printer. Cari printer doang! Lihat kan, aku bahkan nggak perlu komputer baru setelah komputerku dia perbaiki. Penghematan anggaran!"

"Oya?" Didi kaget. Berharap Memes tidak mendengar sedikit –sedikit sekali—nada cemburu yang tebersit di sana.

"Iya. Dia kenal penjual segala macem peralatan komputer murah di sana."

"Baguslah. Lo bisa pakai si Inno. Gue nggak pakai."

"Lanang punya mobil," sahut Memes.

"Oya?"

"Ya! Percaya nggak, setelah sekian lama akhirnya kita punya karyawan yang punya mobil dan bisa nyetir!"

"Perfect," gumam Didi.

"Kamu nggak kelihatan happy," Memes memandangnya penuh selidik, "Kenapa?"

"Gue hanya... sejak awal... yah, gue punya firasat buruk. Ini kayak gue melanggar pantangan dan bakal kena kutukan," Didi mencongkel-congkel kuku dan mengernyit saat merasakan nyeri.

"Pantangan mempekerjakan laki-laki?" Memes menyibak rambut panjangnya.

Didi mengangguk, "Laki-laki dan normal." Dan tampan, lanjutnya dalam hati.

Memes tertawa. Tawanya selalu lepas dan tanpa beban. Apakah semua seniman punya tawa seperti itu? Didi bertanya-tanya.

"Menurutmu apa yang bakal terjadi?" Memes masih menatap Didi.

Lo bakal jatuh cinta padanya, "I don't know. Something seperti bikin Alya norak dan kumat atau gimana."

"Di," Memes berkata lembut dan jantung Didi teremas. Inilah yang membuat Didi jatuh cinta habis-habisan pada Prameswari. Suaranya yang lembut dan mengalun, terutama saat menyebut namanya, Di.

"Nggak akan terjadi apa-apa. Kalau pun terjadi apa-apa, ya tinggal pecat aja dia. Apa susahnya?"

Didi tercenung.

"Di."

Nah, nada itu lagi.

"Sudah berapa lama kita kerja bareng, jauh sebelum kantor ini dibuka? Sudah berapa banyak masalah yang kita hadapi? Dulu ada siapa itu, yang membawa kabur semua uang kita."

"Juleha. Sialan! Gue masih ingin membunuhnya."

"Dan sekarang kita punya Alya yang bipolar. Sarah yang epilepsi dan Marina yang..." Memes terdiam seketika. Pintu depan membuka. Alya masuk, mengenakan kacamata hitam. Pasti barusan nangis parah semalam, batin Memes. Anak itu begitu mudah diduga.

"Pagi Al," Memes menyapa ceria. Alya tidak menyahut. Sudah biasa. Backpack lusuh tergantung di pundak kanannya. Bergoyang-goyang lemas.

Memes menepuk punggung Didi lembut. "Semua akan baik-baik aja, Di."

Didi mengangguk, "Gue harap begitu. Gue sangat berharap begitu." Didi berbalik. Ia hendak masuk ke ruangannya saat pintu lagi-lagi terbuka.

Lanang muncul dengan senyum terkembang. Rambutnya basah, segar. Senyumnya mengembang dan seketika ruangan terasa lebih cerah. "Morning everyone. Ada yang mau donat?" Ia mengangkat kantung plastik yang dibawanya.

"Aku mau," Memes melonjak.

"Lo lagi diet! Ingat nggak?" Didi melotot padaMemes. 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 31, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AbnormalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang