7

1.6K 256 1
                                    

Chapter tujuh:

Narcissa lah yang paling cepat mengontrol keterkejutannya dan memasang wajah tanpa emosi. "Tentu saja itu soal...rambutmu." Wanita itu memberinya senyum terpaksa, kecil dan tajam. Hal itu membuat bulu kuduk Harry berdiri.

"Maafkan kami," Narcissa menurunkan kepalanya menunjukkan sebuah anggukan, hanya kepura-puraan. "Tak setiap hari kami bertemu seseorang dengan rambut yang....warnanya sangat berani."

"Yes," Lucius setuju, menekuk bibirnya pias saat matanya menatap Harry dari atas ke bawah dengan pandangan mengkritik. Pandangannya terhenti pada Nimmy dan Verde. "Sangat berani, tentu saja,"

"Master, kau terlihat cemas," ucap Nimmy khawatir. Dia menaikkan kepalanya dan menepuk pelan pipi Harry sebagai bentuk simpati. Harry mendesah panjang, mencoba bernapas. Dia begitu sial. Disini dia berbicara dengan parseltongue dan sekarang tertangkap basah. Langkah yang bagus Harry, rutuknya pada diri sendiri, sekarang mereka tahu dan kau akan membunuh dirimu sendiri lagi, you're a god damn idiot.

Verde kelihatannya merasakan keinginannya untuk mengalihkan diri karena dia menurunkan rahangnya dan mengatupkannya penuh peringatan pada para Malfoy. Draco bergidik. "Enemies." desis Verde, taringnya berkilat.

"Verde!" Harry memperingatkan dan dengan cepat menekan ular itu ke lehernya. "Tidak di tempat umum!"

"Oh? jadi aku bisa menyakiti mereka di tempat tertutup? itukah yang kau maksud Master?" Verde menjentikkan lidahnya mengikuti leher Harry. "Jika mereka menyakitimu Master, aku akan menyakiti mereka."

Memerah, Harry menjatuhkan tubuhnya ke karpet empuk dan mulai menutup kotak kotak tadi dan menumpuknya. "Bukan itu maksudku," dia bergumam.

"Sorry," ucap Harry kembali dalam bahasa Inggris. Dia merasa sadar bahwa dia tak sepenuhnya memperhatikan. Biarkan mereka tahu. Biarkan Dumbledore khawatir ketika dia tahu. Biarkan para Malfoy berpikir sesuai yang mereka inginkan. "Verde terkadang sedikit protektif."

Harry menghela napas dan mengulurkan kotak pakaian ke arah Draco yang melebarkan matanya.

Lucius berdehem dan meletakkan tangannya di bahu putranya. Itu pasti kode karena Draco mengontrol kembali wajahnya sama seperti Narcissa beberapa saat lalu dan mengambil kotak pakaian dari tangan Harry. "Thank you," katanya, sambil mengangguk pelan.

"Jangan bodoh, mereka terlihat kebingungan." Nimmy berkomentar

"Dan ketakutan." Verde menambahkan.

"Gee," Harry bergumam, "Aku tau."

Madam Malkin muncul dari balik tirai, beberapa tas warna warni mengapung di atas kepalanya. "Maaf menunggu lama Mr Potter, Aku tak dapat menemukan semua jubah yang kau inginkan." Dia tersenyum dan merendahkan tasnya ke meja.

Harry berbalik untuk memberinya tatapan terimakasih. My saviour, pikirnya. "It's alright," Dia meniru senyumnya dan mengeluarkan kantung yang penuh dengan uang. "Ini sedikit extra," katanya, menempatkan uang di depan Madam Malkin, "untuk semua kerja kerasmu."

Rona merah menjalar di pipi wanita itu, senyumnya mengembang. "Oh, kau tak perlu melakukan itu, terimakasih." Madam Malkin mengalihkan pandangannya ke atas bahu Harry. Ketika dia sadar siapa yang berdiri di belakang Harry, dia tersenyum tapi tak sampai ke matanya lagi. "Mr Malfoy, Lady Malfoy, Heir Malfoy," Dia menyambut mereka tenang, menundukkan kepalanya. Kali ini bukan pura-pura, tak seperti yang Narcissa lakukan pada Harry.

Merasakan suasana aneh, Harry menundukkan kepala dan mengambil semua tasnya (termasuk yang dia letakkan di tempat duduk) dan pergi sebelum ada orang yang memberhentikannya. Setelah beberapa saat berjalan, dia memutuskan untuk pergi ke tujuan terakhirnya, toko Ollivander. Mendesah pelan, Harry memasuki toko tua dan berdebu itu. Beberapa saat melihat-lihat seluruh kotak tongkat, yang mana kebanyakan tertutup oleh sarang laba-laba, Ollivander muncul dari belakang dan berdiri di depan mejanya. Dia menatap Harry dengan mata anehnya, seperti mistis, penuh dengan tipe kabut aneh. Luna dulu biasa memandangnya seperti itu.

Berdehem, Harry menyampaikan sapaan kecil, "Hello,"

"Mr Potter," Mr Ollivander mengedipkan mata dan mulai bicara. Dia menyebut Lily dan James, yang mana membawa rasa pahit di mulut Harry. Ibunya adalah orang yang hebat, tapi ayahnya.... dia adalah seorang pembully. Dan itu menyedihkan. Ketika Harry akhirnya menggenggam tongkatnya dan sebuah kehangatan melingkupi dirinya, dia mendesah. Dia senang memilikinya kembali. Sayangnya, dia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Kalimat itu.

"Aneh....sangat aneh.." Mr Ollivander berkata. Matanya menyipit, tajam dan jelas.

"Apa yang aneh?" tanya Harry sambil mengantongi tongkatnya.

Dengan anggukan kepala, Ollivander menjawab pelan dengan suara lembut. "Aku ingat setiap tongkat yang pernah kujual Mr Potter. Setiap tongkatnya. Dan kebetulan phoenix yang ekornya ada di tongkatmu, menghasilkan satu bulu lagi. Hanya satu. Sungguh aneh kau ditakdirkan menjadi pemilik tongkat ini, sementara saudaranya lah yang memberimu bekas luka itu."

Merasakan perutnya mual, Harry membuka mulutnya untuk menanyakan pertanyaan yang sama dengan bertahun-tahun yang lalu. "Dan siapa pemilik tongkat itu?"

"Kita tak menyebut namanya. Tongkat memilih penyihir, Mr Potter. Tak jelas mengapa, tapi," si pembuat tongkat menjeda kalimatnya, "Kurasa ini jelas kalau kami mengharap sesuatu yang luar biasa darimu, Mr Potter. Lagipula, He-Who-Must-Not-Be-Named melakukan hal hal luar biasa. Mengerikan, ya..tapi luar biasa."

Menegakkan punggung, Harry membayar tongkatnya, memberikan senyum terpaksa kemudian pergi.

Dia bukan Voldemort

Dia juga bukan golden boy

Dia bukan alat untuk perang

Dia bukan the-boy-who-lived

Bukan. Bukan lagi.

Harry akan menangani masalah dengan tangannya sendiri

Dia akan memberitahu Fate untuk mengacau dirinya sendiri

Persetan dengan konsekuensi.

________________________________________

Leave trace for our precious Harry ☝️😗

Harry. Exe Has Stopped WorkingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang