22

3.4K 256 63
                                    

Nyesek. Senyesek-Nyeseknya
.

.

.

"Di atasnya putih di bawahnya kuning."

Kirana tidak langsung menjawab, berpikir sejenak. Menoleh menatap Prima yang juga merebahkan tubuh di sebelahnya.

Saat ini mereka berada di salah satu taman yang di sekitar sana ada danau buatan. Mereka merebahkan tubuh di atas hamparan rumput hijau. Menikmati sore menjelang petang tersebut.

"Apa? Aku gak tau jawabannya."

"Pocong injak tai."

Keduanya tertawa. Prima yang terbahak-bahak dan Kirana yang tertawa kalem.

"Terus.."

"Udah Prim. Perutku sakit gara-gara ketawa," sela Kirana masih tertawa sembari memegang perutnya. Menghentikan Prima yang memberikan tebakan yang mengocok perutnya.

Prima pun berhenti, tapi masih tertawa.

Hingga mereka terdiam. Saling mengatur nafas. Menatap langit yang berwarna jingga kemerah-merahan.

"Makasih Ki."

Kirana menoleh menatap Prima. Mengernyit heran. "Kenapa bilang makasih?"

Sahabatnya itu balas menatapnya. "Sudah jadi temanku."

Tersenyum lembut, Kirana juga mengucapkan terima kasih karena Prima menjadi temannya. Mereka bersahabat. Bahkan kini merasa seperti saudara yang tidak sedarah.

Nasib keduanya hampir sama.

Prima yang tidak memiliki orang tua, hidup sendirian. Dan, walaupun Kirana memiliki orang tua, tapi mereka tidak peduli.

Orang tua Kirana berpisah sejak Kirana masih kecil belum tau apapun. Ayahnya menikah. Memiliki Ibu tiri yang bersifat layaknya Ibu tiri Cinderella.

"Aku mau kita temenan selamanya. Terus punya anak... terus anak kita juga nanti temenan."

Prima tersenyum mendengar penuturan Kirana. Matanya berkaca-kaca.

Merasa sangat beruntung karena memiliki sosok Kirana yang menjadi temannya. Meski kerap kali marah atau pun kesal pada Kirana, tapi wanita itu tidak pernah meninggalkannya. Meski ia yang salah, tapi Kirana yang tetap meminta maaf.

Prima merasa sangat bersyukur.

"Makasih Ki,..." bisiknya lirih, tatapannya tetap tertuju pada langit.

Kirana tidak mendengar bisikan Prima. Wanita itu beringsut duduk. Melihat jam di pergelangan tangannya. "Prim, aku harus pulang!" ujarnya sedikit panik setelah melihat jam.

"Maaf ya gak bisa anterin," ujar Prima ikut duduk yang diangguki Kirana.

"Gak pa-pa kok. Aku bisa naik bis. Kapan-kapan kita keluar jalan lagi. Oke?" Prima mengangguk pelan. Sahabatnya itu beranjak pergi meninggalkannya seorang.

Prima menggunakan MRT sebagai transportasi pulang ke apartemen. Duduk bersama para penumpang lain.

Tatapan Prima tertuju pada penumpang lain yang duduk tepat di hadapannya.

Sebuah keluarga kecil yang terdiri dari Ayah, Ibu dan seorang gadis kecil.

Ayah dan Ibu tersebut mengajak putri mereka bertepuk tangan pelan seraya menyanyikan lagu anak-anak Kereta Api.

Prima tidak pernah merasakan hal tersebut. Berkumpul bersama orang tuanya. Diajak bernyanyi seperti itu. Bahkan ia tidak tau siapa orang tuanya.

Dulu, Prima selalu menyayangkan kenapa lahir di dunia ini jika hidup sendirian meski hidup di panti bersama anak-anak yang lain, tapi ia tetap merasa sendirian.

GORGONIZEWhere stories live. Discover now