Part 7

226 33 4
                                    

Bismilah,

~Saat kita merindukan seseorang, artinya kita memiliki seseorang yang istimewa dan berharga~

Ane merasakan kaitan tangannya dilepas, sosok yang dipeluknya, memutar badannya menghadap Ane.

"Ane sudah besar sekarang, dua belas tahun ya?" Mata perempuan itu berkaca-kaca tangannya merangkum pipi cabi bermata bulat.

"Ane kangen Bibik Menik," kata Ane.

"Bibik juga, maaf  Bibik baru menemui Ane sekarang." Bibik menik, perempuan yang bekerja sejak usianya 16 tahun, sewaktu Ane lahir, hubungan mereka bukan sekedar majikan dan pembantu tetapi lebih dari  keluarga.

"Bibik buatin bolu kukus kesukaan Ane, sekarang Ane ganti baju ya, bersihin badan dulu," titah Bibik Menik.

Ziya yang melihat pemandangan di depannya masih belum mengerti apa yang terjadi.

Ane dan Bibik Menik, duduk di bangku besi halaman panti, wanita beusia 28 tahun itu memangku sepiring bolu kukus, angin berdesir lembut, penerangan cukup syadu, berasal dari sinar bulan bercampur lampu taman.

"Setelah mengepak baju Teh Ane, esoknya  Bibik dan Mang Deden pulang kampung, atas perintah Om Tirta. Bibik Menik tidak di beritahu, jika Ane di bawa ke panti. Malam itu Bibik punya perasaan tidak enak, waktu Om Tirta menyuruh memasukan semua baju Teh Ane," cerita Bibik  Menik.

"Om Tirta tidak ajak Ane ke Dufan, tapi ke panti." Suara Ane lirih.

"Bersamaan Teh Ane pergi, Bibik dan Mang Deden pulang ke desa. Sebulan kemudian Bibik ke Bekasi lagi ada pekerjaan baru di Jakarta, Bibik mampir ke rumah Teh Ane, ada Om Tirta dan Pak Dayat sedang akad jual beli rumah. Bibik tanya, di mana Ane, Om Tirta tidak memberi tahu, kemudian  Bibik  minta izin nembawa barang-barang yang Bibik tahu Teh Ane butuh, Album foto, bibik bawa semua, sudah Bibik letakan di lemari Ane dan Bonny ..."

"Bonny?" tanya Ane melihat Bibiknya  berhanti bicara.

"Bibik titip Andra, minta tolong jaga Bonny sampai Teh Ane pulang liburan."

"Ane sudah lihat Bik," kata Ane, netra mereka saling menatap.

'Satu tahun, Bibik kerja di Jakarta lalu pulang ke Kampung karena ibu Bibik sakit. Sebelum pulang kampung, Bibik menyempatkan diri  mampir ke rumah Andra, di sana Bibik ketemu Pak Dayat, Bibik tanya apakah tahu  Teh Ane di mana, Pak Dayat memberikan alamat Panti, Bibik bingung mau ajak  Teh Ane ke kampung Bibik, tapi Bibik kepikiran, jika Bibik ajak khawatir tidak bisa memberi yang terbaik buat Ane. Kampung Bibik itu tanahnya tandus, pemudanya banyak kerja di kota karena di Kampung tidak ada yang bisa dikerjakan, hanya  ada para orang tua. Pak Dayat juga bilang, jika suatu saat Teh Ane ingin membeli rumah itu, Pak Dayat akan berikan dengan harga yang dulu dibeli tidak dinaikan lagi, beliau minta maaf tidak  bisa berbuat banyak  buat  Teh Ane." Bibik Menik mengusap air matanya.

"Bik, boleh Ane ikut Bibik?" Ane pun ikut menangis.

"Ane cantik, tinggalah di panti ini beberapa saat, Bibik akan jadi TKW di Arab Saudi, jika uang Bibik sudah cukup, kita akan beli kembali rumah Teh Ane, kita tinggal bersama." Bibik Menik menatap dalam Ane.

"Bibik tidak akan bohong, kan, seperti Om Tirta, nanti Bibik juga pergi hanya meninggakan janji." Ane memgusap air matanya.

"Ane, percaya bibik, kan?"

Ane diam tak menjawab, untuk sekarang rasanya Ane sulit mempercayai orang. Kejadian omnya meninggalkan di panti membuat trauma tersendiri.

"Percaya Bibik," ucap Bibik Menik meyakinkan Ane, dan gadis itu pun mengangguk mencoba percaya.

Senyum terbit di bibir perempuan 28 tahun, lalu menyodorkan bolu kukus, Ane pun mengambilnya, seperti biasa sebelum dimakam hidung Ane mengendus untuk membaui.

"Tidak berubah, saru makanan dicium dulu sebelum makan." Bibik Menik mengusap pucuk kepala Ane yang terlapisi jilbab kaos.

***

Malam itu Bibik menik tidur seranjang dengan Ane, di kasur 120 kali 200 meter. Ane memeluk erat Bibik Menik seakan tidak ingin ditinggal, Bibik Menik membalas dengan mengusap punggung Ane.

Flash back

"Besok lagi Bik, cuci piringnya sekarang tidur saja, sudah malam." Suara Heni terdengar di balik punggung Menik.

"Tanggung Bu, besok biar tidak banyak kerjaan."

Setelah mengelap tangannya dengan serbet Menik melangkah ke kanarnya, kakinya terhenti, heran melihat Heni memandang Ane di  bingkai pintu kamar memandangnya lekat, lalu mengusap pipinya yang basah oleh air mata.

"Ibu, kenapa?" tanya Bibik Menik.

"Eh, Bibik." Heni  menoleh lalu tersenyum.

Bibik Menik pun ikut berdiri di samping Heni, memandang Ane yang tertidur di bawah selimutnya.

"Rasanya baru kemarin ya, Bik,Ane tiap malam menangis. Kita bergadang gantian jaga." Mata Heni kembali kepada Ane yang tertidur.

"Iya, bu, Menik masih inget. Ibu pulang dari rumah sakit menangis, karena Teh Ane belum diizinkan pulang, dokter bilang  biliurubbin." Bibik Menik ikut memandang Ane.

"Bik, jika saya dan Bapak tidak ada, jagain Ane, ya?" Kali ini mata Heni menatap Menik penuh harap.

"Ibu ini aneh, bukannya tiap Ibu dan Bapak ke luar kota saya selalu jagain Ane."Bibik Menik tertawa.

"Bukan gitu Bik, jika saya dan Bapak pergi selamanya, saya titip Ane, saya dan Bapak tidak punya keluarga lain selain Tirta, bukan saya tidak percaya Tirta, saya percaya. Ini bukan permintaan Bik, tetapi permohonan kepada Bibik Menik." Mata Heni berkaca-kaca, jelas saja membuat Menik bingung bercampur heran.

"InshaAllah Bu," jawab Bibik Menik.

Keesokannya, tungkai Menik terasa lemas nafasnya sesak setelah menerima telpon dari Tirta,mengabarkan Heni dan Dimitri meninggal dalam kecelakaan.

Setiap kelahiran pasti ada kematian, kematian tidak  bisa dihindari, tidak bisa ditunda dan tidak bisa ditawar sesuai keinginan kita

Setiap jiwa yang hidup pasti akan mati. Siapa yang menyangka, malam setelah bicara menitipkan Ane, siangnya Heni dan Dimitri mengalami kecelakaan, saat akan meninjau lokasi agen LPG-nya yang terbakar. Ucapan Heni adalah permohonan terakhirnya,  dan selalu terngiang di telinga Bibik Menik dan membayangi hidupnya, penyesalan Menik adalah membiarkan Ane dibawa pergi Tirta,  ia begitu saja percaya dengan perkataan lelaki itu, andai saja waktu bisa berputar kembali. Menik akan menahan Tirta membawa Ane,  setalah kematian orang tuanya. Mungkin sekarang Ane tidak tinggal di panti, walaupun tidak tahu pasti mereka akan tinggal di mana, setidaknya Bik Menik bisa menjalankan amanah yang sudah dijanjikannya.

Kematian bukan bencana besar, bencana terbesar kita adalah jika ketakutan kita kepada Allah sudah mati, seperti Om Tirta, bagaimana bisa lelaki itu tega meninggalkan keponakan satu-satunya di sebuah panti,  dan memilih pergi setelah menjual semua aset orang tua keponakannya, seakan hatinya sudah mati.

👉Terimakasih yang sudah mampir dan memberi vote dan komen lopyiu❤

TAKDIR CINTAWhere stories live. Discover now