08

6K 395 3
                                    

"Hayeon. Kau melihat Heejin?" Dengan wajah yang panik, dan peluh yang mulai membanjiri tubuh, nafas pun tersengal. Hana berlari dari ruang kamar menuju dapur di mana Hayeon sedang mempersiapkan makan malam untuk mereka nikmati bersama.

"Tidak. Bukankah ia sedang bersamamu?" Hayeon balik bertanya. Sejak ia didapur sama sekali tak ada Heejin yang menghampirinya. Panik pun mulai mendera Hayeon sama seperti Hana. Keduanya mulai kebingungan.

Ditengah kepanikan, baik Hana dan Hayeon keduanya bingung harus mencari kemana lagi keberadaan Heejin. Hingga pada akhirnya Hayeon yang menyadari jika pintu depan tak tertutup lagi. "Hana. Pintunya terbuka." Hayeon menunjuk arah daun pintu yang terbuka.

Pun Hana kemudian mengarahkan pandangannya pada daun pintu yang tak tertutup itu. Matanya membulat membayangkan Heejin yang keluar dari rumah sendirian.

Rumah yang terletak di sebuah gang itu kebetulan berdekatan dengan sebuah taman kecil.

Hana dan Hayeon berlarian menyusuri gang, hingga berakhir di taman. Disana mereka berdua menemukan Heejin kecil yang menangis ketakutan, berdiri di sebelah lampu taman yang sedikit temaram dalam kelam.

Gadis cilik dengan sweater cream bergambar panda itu terlihat bingung. Sesekali pula tangan mungilnya mengusap, menghapus jejak alir air mata di pipinya yang gembil.

Hana berlarian, berhambur memeluk putri kecilnya, mencoba untuk membuat putrinya tenang dan tidak menangis karena ketakutan lagi.

"Sayang. Kenapa kau bisa sampai disini? Sudah jangan menagis lagi! Ibu bersamamu. Sekarang kita pulang ya?" Sebelum ada orang-orang yang melihat keberadaan mereka bertiga. Semuanya dengan segera kembali ke rumah. Kembali menelusuri gang yang sempit dengan pencahayaan yang sedikit minim, hanya ada cahaya kuning sedikit temaram dari beberapa lampu jalan.

***
Di lain tempat.

Choi Jimin sedang menghindari pengawasan dan pengejaran orang-orang yang di perintahkan ayahnya. Saking tak inginnya dikejar-kejar Choi Jimin berjalan dengan cepat dan menutupi wajahnya dengan sempurna. Menyebrangi jalan tanpa melihat kiri-kanan lebih dulu. Dan naasnya tubuh kekar seorang Jimin harus terhempas setelah di tabrak oleh sebuah mobil yang melaju cukup kencang, menghantam trotoar di sisi jalan. Mobil hitam itu melaju begitu saja, mengabaikan Choi Jimin yang meringis kesakitan, seperti sedang berjuang dengan maut.

Jimin merasa kepalanya begitu pengar, hidungnya mampu menghirup amis darah yang mengalir di pelipis. Sakit teramat yang dirasakan seorang Jimin. Tetapi ia masih mampu melihat di seberang jalan orang suruhan ayahnya menyadari dirinya yang terkapar dan mulai menuju kearahnya.

Dengan sisah-sisah tenaga, Jimin coba bangkit. Berlari dengan sedikit terseok-seok. Mencari tempat yang sedikit sepi untuk bersembunyi. Kekeuh tak ingin dibawa kembali oleh orang-orang suruhan ayahnya.

Tetes darah dari luka yang ada di betis Jimin jatuh memberi jejak pada jalan yang ia lalui. Beruntung saat itu malam hari sehingga orang-orang yang mengejarnya tidak melihat bekas darah yang tercecer. Jika orang-orang itu menyadari, maka mereka dengan mudah menemukan Choi Jimin hanya dengan mengikuti tetesan darah yang berjejak di jalan.

Merasa tak mampu lagi untuk bertahan. Beriringan dengan pengelihatan yang mulai menggelap dan rasa pening yang teramat di kepala. Choi Jimin ambruk, Jimin pikir mungkin itu adalah ujung kehidupannya. Kesadaran Jimin mulai berkurang dengan air mata yang yang mengalir pelan, seolah air mata penyesalan karena dirinya belum sempat untuk merubah diri menjadi orang yang jauh lebih baik. Tubuh yang terlumur darah itu akhirnya terbujur bak mayat di tengah jalan yang sepi dan senyap. Bahkan di ujung kesadarannya beberapa detik lalu Choi Jimin masih mengutuk ayahnya yang kejam.

***
Setengah takut melihat sebuah tubuh yang terbujur dengan darah yang masih mengalir.

"Jangan. Kau tak mengenalnya!" Sebuah gelengan menjadi isyarat. Menghentikan langkah seorang yang baru saja berniat baik ingin membantu tubuh yang terbujur.

"Aku tidak tega. Aku tidak bisa melihat orang yang kesakitan seperti itu. Dia masih hidup. Lihatlah ia masih bernafas." memandang kearah perut dan dada yang bergerak naik turun. Jantung dan paru masih memompa.

"Tapi kau tak mengenalnya. Bagaimana jika nanti justru kau yang dituduh? Bagaimana jika itu hanya jebakan? Siapa tahu itu adalah orang jahat, mungkin saja ia pura-pura sekarat kemudian akan menyakitimu dan merampokmu."

Sejatinya hati yang lembut bak malaikat penolong itu tak akan pernah tega melihat orang lain kesusahan dan kesakitan, apalagi berhubungan dengan nyawa. Sesal di masalalu yang tak mampu melindungi seseorang membuatnya harus menyelamatkan tubuh yang terbujur itu. Memutuskan untuk membawa tubuh itu pulang dan diberi penanganan yang ia bisa.

LOVE
Author: Ameera Limz

LIKE HEROIN [TAMAT - AKAN SEGERA CETAK]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang