31

3.5K 287 12
                                    

Tentu saja Hana terkejut, sulit untuk tak terkejut pada situasi itu. Mengingat tak ada seorangpun yang mengetahui keberadaan mereka kecuali Hwan.

"Namjun?" Hana mengedar pandangannya ke sekitar, siapa tahu ada orang lain selain Namjun yang baru datang, "bagaimana kau bisa sampai kemari?" tanya Hana yang penuh selidik mamun suaranya pelan.

Pria tinggi itu tersenyum, manis sekali ketika kedua lesung pipinya terlihat. "Kenapa kau seterkejut itu? Kenapa harus terlihat panik begitu?"

"Ak--aku bertanya bagaimana kau bisa sampai kemari, Kim Namjun?" cicit Hana.

"Apa tidak boleh bagiku untuk mengetahui keberadaanmu? Menemuimu?" agaknya Namjun sedikit kecewa ketika Hana sedikitpun tak menampakkan raut wajah bahagia setelah mereka bertemu. Pria itu tersenyum sedikit canggung.

"Bukan begitu, Namjun. Aku hanya terkejut. Bukankah aku tidak pernah memberitahukanmu keberadaanku?"

"Aku melacak titik ponselmu," bohong Namjun, kemudian pria itu tertawa kecil, "bukan, kebetulan sekali aku kemari karena mendampingi seorang pasien yang meminta untuk di rawat dan melakukan operasi di tempat ini," terang Namjun.

Hana sedikit tak percaya. Memang benar jika Namjun seorang dokter. Tapi, untuk tahu Hana juga berada di rumah sakit yang sama itu sepertinya sedikit mustahil, "kau pasti berbohong kan?"

"Tidak. Mana pernah aku berbohong padamu?" benar juga. Namjun itu pria baik yang penuh kejujuran, Hana sangat mempercayainya.

"Tapi bagaimana kau bisa tahu ruangan ini?" selidik Hana lagi.

"Ah, it--itu karena kebetulan melihatmu sempat keluar dari ruangan ini, dan aku baru sempat berkunjung sekarang setelah mengurusi pasienku."

Hana mengangguk, yang dikatakan Namjun memang mungkin saja benar.

"Kau tidak merindukanku, Nona?" tanya Namjun penuh percaya diri, seperti ia yang biasanya.

Hana kembali memandangi arah luar jendela kaca, melihat cuaca yang cerah. Bohong jika Hana katakan ia tak merindukan Namjun, pria itu masih ada di hatinya, mengisi sebagian besar ruang hatinya. Tapi, Hana tak berani mengungkapkan betapa besar ia merindukan pria tinggi yang sekarang sudah berdiri tepat di sebelahnya, yang ikut memandang ke arah luar jendela. Hana seperti sedang membohongi dirinya sendiri, semua itu ia lakukan demi bisa melupakan Namjun, Hana tahu ia tidak pantas untuk pria di sampingnya itu.

***


Jimin hancur, benar-benar hancur, pikirannya kacau, banyak hal yang membuatnya sekacau itu. Pria itu baru saja datang dan kembali setelah ia pergi dibawa oleh polisi setempat untuk di periksa.

Tangan yang memiliki tato bertuliskan angka 13 pada pergelangannya itu mencoba untuk membuka pintu ruangan secara perlahan, belum sepenuhnya dibuka, Jimin bisa melihat Hana sedang berbicara pada seseorang, seseorang yang sudah pernah ia temui sebelumnya. Maka Jimin kembali menutup pintunya dengan rapat dan perlahan, hingga tak menimbulkan suara sedikitpun. Tampaknya Jimin semakin Hancur setelah melihat pemandangan itu.

***


Kembali ke rumah mereka, Jimin segera mencari sesuatu yang bisa mengurangi beban pikirannya. Minuman atau justru heroin? Jimin sangat membutuhkan kedua hal itu.

Jimin sempat terdiam ketika ia berhasil menemukan beberapa botol whiskey yang ia simpan di lemari dapur. Jimin sempat ragu, namun pada akhirnya ia tetap membawa beberapa botol di tangannya.

Matanya yang biasa menatap dengan tatapan tajam, kali ini terlihat kosong. Jimin merasakan kepalanya mulai pengar, ia sempat memijati keningnya sebentar, tetapi kemudian kembali menenggak minumannya. Banyak, banyak sekali, Jimin ingin minuman itu membuatnya melupakan banyak hal.

"Jimin? Apa yang kau lakukan?" Hana yang berniat kembali ke rumah untuk mengambil beberapa pakaian ganti anaknya justru menemukan Jimin yang mabuk berselonjor di lantai, kepalanya bersender pada sofa hitam, matanya terpejam namun masih menenggak minuman.

Jimin sempat membuka matanya sebentar, "kau pulang?" tanya Jimin dengan suaranya yang tak jelas terdengar, pria itu bicara seperti sambil berkumur.

"Kenapa kau bisa seperti ini?" Hana berjongkok di sebelah Jimin, sembari memunguti dua botol minuman yang sudah kosong.

"Apa pedulimu? Aku tanya apa pedulimu?" bentak Jimin.

Hana tidak tahu apa yang membuatnya sesakit itu. Mendengar Jimin meragukan perhatiannya membuat ia sakit. Sakit sekali, Hana bahkan hampir tak menyadari air matanya yang mulai mengalir tanpa permisi.

"Kenapa menangis, eumh? Bukankah kau harusnya senang dia bisa menemukanmu?" suara Jimin parau.

"Apa maksudmu?" bukan benar-benar tak tahu. Hana hanya ingin memastikan saja apa alasan dibalik Jimin yang mabuk.

"Pria itu. Dia tampan, kau bisa menikah dengannya. Pergilah!" racau Jimin di tengah mabuknya, pria itu menepis tangan Hana yang coba membantunya untuk duduk ke atas sofa, bagaimanapun lantai terasa dingin, pria itu bisa saja masuk angin.

"Sadarlah. Aku tidak ingin bicara pada pria yang mabuk."

Jimin terkekeh-kekeh kecil, "tak ingin bicara pada pria yang mabuk? Lalu pekerjaanmu sebelumbya adalah membuat orang mabuk," sindir Jimin yang menelak Hana, pun gadis itu akhirnya lebih memilih diam.

"Aku benar, kan? Kenapa kau diam?" racau Jimin lagi.

"Tidak. Aku tidak akan pergi bersamanya," ucap Hana dengan air matanya yang mulai tumpah, mengalir dengan deras.

"Kenapa?"

"Kau masih tanya kenapa, Jim?" Hana coba menghapus air matanya.

"Kau menangis lagi? Dasar wanita lemah," agaknya Jimin memang telah habis kendali akan dirinya, ia tak tahu jika kata-katanya banyak menyakiti Hana. Jimin benar-benar tak sadar.

"Iya. Kau benar, aku lemah, aku bodoh. Harusnya aku tidak ikut denganmu."



Love:
Ameera Limz

LIKE HEROIN [TAMAT - AKAN SEGERA CETAK]Onde histórias criam vida. Descubra agora