1. Kangen Berujung Manten

27.5K 1.3K 26
                                    

1 bulan kemudian....

Sejak jam 3 subuh, aku sudah dipaksa Bunda untuk bangun lebih awal, karena akan dirias sama MUA yang udah disewa Bunda. Hatiku meradang, inikah akhirnya takdirku? Menikah bukan atas dasar cinta. Bahkan dengan kakakku sendiri. Meskipun dia bukan kakak kandungku.

Sejak awal pengurusan berkas-berkas syarat nikah, aku tak jarang melakukan berbagai hal menyebalkan. Berharap, Mas Aham membatalkan pernikahan kami. Tapi apa daya, dia yang begitu kenal aku sejak aku masih bayi, sama sekali nggak terganggu dengan hal itu.

Malahan dia bilang gini "Kamu makin banyak tingkah, makin buat saya tidak ingin melepaskanmu." Aku sudah akan menyela, dia langsung nyerocos lagi. "Tapi biar pun kamu diam saja, berubah jadi penurut, saya juga nggak akan membatalkan pernikahan kita."

Duh, potek hati ini.

Sama aja dong, intinya. Aku nggak bisa menolak menikah dengannya. Kenapa juga sih, Mas Aham itu nurut banget sama Ayah dan Bunda? Gitu terus dari dulu. Waktu disuruh sekolah ke luar negeri juga begitu. Padahal aku tau dia itu nggak bisa jauh-jauh dari Ayah dan Bunda.

"Bunda...." Seruku memanggil Bunda dengan nada nelangsa. Tapi Bunda cuma ngelirik aku sekilas, lalu pergi gitu aja keluar dari kamarku yang memang sudah didekor sedemikian rupa sejak kemarin lusa.

Ya Allah, apa ini hukuman untukku karena selama ini nggak jadi anak Ayah dan Bunda yang penurut? Tau nggak sih, Bundaku itu adalah wanita solehah bercadar, yang pakaiannya dari ujung kepala sampai ujung kaki, warna item mulu tiap hari. Sedangkan Ayahku adalah pria soleh yang rajin beramal dan beribadah kapan pun dan di mana pun.

Lah, aku? Boro-boro cadaran, pakaian aja masih suka yang mini-mini. Kadang aku juga nggak sungkan kalau ada temanku yang ngadain party di salah satu night club. Tanpa sepengetahuan siapa pun, tentunya. Bisa disleding aku, sama Bunda kalau samapai tau. Bunda kan, jago bela diri.

"Nah, sudah selesai. Duh, cantik banget pengantin kita hari ini. Auranya makin keluar kalau hijaban begini."  Seruan mbak MUA, membuyarkan lamunanku. Ah, tanpa sadar, aku sudah selesai dirias.

"Duh, panas Mbak. Nggak usah pakai ginian aja, bisa? Gerah, aku nggak terbiasa." Protesku, merasa nggak nyaman dengan apa yang aku pakai saat ini.

Walau kuakui, hasil kerja keras Mbak MUA nggak bisa dibilang remeh. Tapi tetap saja, aku merasa aneh. Ini tuh, bukan diriku banget. Bisa-bisa aku jadi bahan ledekan teman-temanku, kalau melihat penampilanku yang benar-benar berbeda dari biasanya.

"Sekali saja kamu berantakin riasan yang ada di badan kamu, Bunda nggak akan segan-segan buang semua koleksi album K-Pop kamu. Kalau perlu Bunda jual supaya uangnya bisa digunakan untuk hal yang lebih bermanfaat." Seru Bunda dari ambang pintu.

Suaranya terdengar tegas penuh dengan penekanan. Aku tuh heran banget sama Bunda. Perasaan dulu waktu aku kecil, Bunda nggak seperti itu. Dulu Bunda orangnya receh dan suka bertingkah absurd. Tapi semenjak aku umur 15 tahun, Bunda berubah jadi wanita yang kaku dan nggak lagi suka becanda.

Justru Ayah yang katanya dulu kaku malah berubah menjadi lebih kalem dan lembut.  Baru saat di hari aku kedapatan tidur di kamar Mas Aham, Ayah tiba-tiba berubah lagi jadi menyeramkan. Sedangkan Bunda malah anteng aja.

"Sebentar lagi acara akan dimulai. Tolong jangan berbuat ulah, yang akan merugikan diri kamu sendiri. Sebelum akad, kamu minta restu dulu sama Ayah, sebagai bentuk formalitas. Nanti didampingi bapak penghulu. Ingat! Jangan cemberut begitu. Senyum yang manis."

Sulit sekali untuk menunjukkan senyum tulus saat ini. Tapi aku harus berpura-pura baik-baik saja, karena pada akhirnya aku nggak bisa menghindar. Entah apa yang akan terjadi dengan hubungan rumah tanggaku dengan Mas Aham nanti.

Harapanku hanya satu, semoga pernikahan ini adalah pengalaman sekali dalam seumur hidupku. Meski pun aku belum cinta sama Mas Aham, aku nggak mau menjadi janda bagaimana pun caranya. Kalau dipikir-pikir juga, nggak ada ruginya aku nikah sama dia. Udah ganteng, mapan, jenius pula. Sumpah demi apa, di usianya yang baru ke 29 tahun, dia udah mendapat gelar profesor. Ngalahin rekor Ayah yang dulu dapat gelar profesor di umur 38 tahun.

Dengar-dengar sih, Mas Aham udah dapat banyak tawaran jadi dosen di beberapa perguruan tinggi dan instansi kesehatan ternama. Baik di luar negeri mau pun di Indonesia. Termasuk universitas tempat aku menimba ilmu saat ini, juga kampus Ayah mengajar. Enggak tau nanti keputusan akhirnya gimana.

Aku hanya berharap dia nggak ngajar di kampusku. Bisa repot nanti kalau aku harus main kucing-kucingan sama teman-temanku. Secara, mereka nggak ada yang tau kalau hari ini aku nikah. Sama kakakku sendiri, pula.

Ah, iya aku baru ingat. Salah satu sahabatku diam-diam udah suka sama Mas Aham sejak lama. Mudah-mudahan aja dia nggak benci sama aku karena udah nikung dia. Duh, Shikha! Ruwet amat sih, hidupmu.

Tak aku sadari, berselang beberapa menit setelah aku meminta restu pada Ayah, kata 'SAH' akhirnya bergema di penjuru ruang tamu rumah orangtuaku. Namun, yang menjadi beban pikiranku saat ini adalah aku baru teringat akan kata-kata seorang gadis kecil ketika ditanya tentang impian dan cita-citanya. Dan dengan polosnya gadis kecil itu mengatakan bahwa ia ingin menjadi istri seorang remaja laki-laki yang saat itu sering ia jahili.

Astaga! Kenapa hal sedetil itu bisa aku lupakan?

Tak aku sangka, ucapan seorang gadis kecil telah menjadi do'a yang mustajab.

Diam-diam aku merutuki diriku sendiri yang memang memiliki kebiasaan asal nyeletuk, tanpa dipikir dulu akibatnya.

♧♧♧

Istrinya Tuan JeniusWhere stories live. Discover now