Part 18: Pergi (✓)

8.2K 245 3
                                    


"Sebaik apa pun usaha saya agar terlihat terbaik di matamu. Akan kalah dengan dia yang menjadi idaman ibumu."

🥀🥀🥀

🥀🥀🥀

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

🥀🥀🥀

Helena segera bersiap ketika menjelang malam. Dia tak akan melewatkan kesempatan bahagia ini. Entah rencana apa yang akan dilakukannya, yang pasti itu tak akan baik.

Ketika berada di ruang tamu, wanita licik itu menarik sudut bibirnya ke atas saat melihat Nisa yang tengah asyik menatap ponselnya seraya senyum-senyum sendiri. Lihat saja, setelah ini tak akan lagi ada senyum di wajah itu. Hal yang paling Helena sukai adalah saat perempuan itu berteriak meraung kesakitan. Lebih parah lagi, tak ada seseorang pun yang bisa menolongnya.

Helena berjalan dengan angkuh seraya tersenyum dengan seringai menyebalkan. Dia mulai melajukan mobilnya ke arah pusat kota.

Wanita tua itu berhenti di depan butik terkenal di kota ini, tetapi sesampainya di sana, Helena belum melihat keberadaan anak semata wayangnya.

Beberapa menit menunggu, akhirnya Nathan tiba bersama dengan Hilda. Mereka membawa buah tangan karena Helena menyuruhnya datang mengunjungi butik.

"Halo, Tante!" sapa Hilda sangat antusias, tetapi tidak dengan Nathan. Mimik mukanya rata bagaikan tembok.

"Hilda! Ya ampun, sudah lama tidak bertemu." Helena menyapa tak kalah antusias.

"Ini untuk Tante," ucap Hilda, dia menyodorkan buah tangan yang dia beli dengan Nathan tadi.

"Ah. Merepotkan sekali, Hilda. Kamu memang menantu idaman saya," sindir Helena.

Helena membelikan sepasang drees dan kemeja untuk Nathan dan Hilda. Dia sengaja melakukan itu agar mereka berdua tampak serasi. Nathan mengernyit. Apa-apaan ini? Nathan berjanji dalam hatinya bahwa tidak akan memakai pakaian ini, apa pun alasannya. Dia tidak akan mengecewakan Nisa lagi.

Nathan menolak ketika Helena menyodorkan baju kemeja itu.

"Aku enggak mau, Ma. Lagian kenapa bajunya harus serasi dengan wanita ini?" kesal Nathan.

"Ini adalah baju untuk hari kebahagiaan kalian nantinya. Ambil saja. Ini perintah dari Mama!"

"Huh? Are you kidding me?"

"Ambil atau—"

"Oke." Dengan terpaksa, Nathan mengambil baju itu. Dia menerimanya dengan raut wajah datar. Tak ada sedikitpun kebahagiaan di sana.

Hari sudah mulai larut, seketika Nathan tersadar memiliki janji dengan Nisa.

"Mah, ini sudah hampir malam. Saya takut Nisa menunggu saya terlalu lama. Saya ada janji makan malam di rumah dengan dia," ujar Nathan.

A Way to Forget You (Completed)Where stories live. Discover now