Side Story #1

837 139 11
                                    


Ini bukan lanjutan. Hanya side story

=====

"Sekarang Agustus--kalau kuhitung dari penanggalan yang berjalan  sekarang. " Si hantu tiba-tiba berkata.

Vivi melirik, mendengus karena kegiatan memandangi laut terganggu ocehan si hantu. "Kau tahu banyak."

Si hantu tertawa lepas. "Aku tinggal di sini selama berabad-abad. Mulai dari adikku, Sri Kameswara, berkuasa sampai ... Siapa nama lelaki itu? Oh Joko Widodo. Kalau aku tidak tahu, aku pasti dungu. "

Tak ada jawaban. Vivi yakin ucapan yang keluar berikutnya hanya kata-kata kosong.

"Sebentar lagi peringatan Indonesia merdeka. Orang-orang di sini akan berpesta, menari, menyanyi, membakar kembang api, bahkan mereka akan memainkan drama peperangan. Kau datang, kan?

"Nggak," Kata Vivi spontan. Sudah cukup dengan festival ulang tahun kota yang ia hadiri tempo lalu. Ia tak ingin mengalami serangan panik lagi.

Si hantu nampak kecewa. "Padahal aku ingin melihat drama itu denganmu."

Vivi tidak memberi respons, tapi ia sadar kalau dirinya tertarik dengan ucapan so hantu barusan. "Memangnya drama apa?" tanyanya skeptis. Apa sih yang bagus dari drama yang dimainkan ora amatir? Ia dulu sering menonton operasi jadi ia tahu drama itu akan memalukan.

"Peperangan. Darah, debu, dan kotorna menjadi satu. Mayat bergelimpangan sambil memegang senjata-senjata mereka."

Vivi mengerutkan wajah, jijik. " Apa yang bagus dari itu? Mendengarnya saja saya ingin muntah."

Si hantu terkekeh lembut sambil memandang horizon yang berada di depan matanya. "Perang tak selalu menjijikan dan menakutkan. Perang terjadi karena salah satu dari mereka ingin melindungi sesuatu."

"Itu kan hanya menurut kamu." Vivi berdecak seraya merapikan tas selempangngya. Rasanya ia ingin pulang. Tak ada gunanya mendengar ucapan melantur si hantu.

Melihat Vivi yang ingin pergi, si hantu langsung menarik lengannya. "Jangan  pergi." Suaranya terdengar sangat memohon, meski wajahnya tak terlihat ingin Vivi tetap tinggal.

"Apa lagi? Udah mau malam!"

"Besok datanglah. Ada yang ingin kuceritakan  padamu."

"Nggak. Saya sibuk!" Vivi melepaskan tangan si hantu dengan paksa. Kulit si hantu terasa anagat dingin dan menggigit. Diam-diam Vivi meremas telapak tangannya.

Si hantu tersenyum. "Aku adalah korban sekaligus penjahat perang. Aku hanya ingin berbagi kisah masa kelamku padamu. Bolehkah?"

Vivi tak menjawab. Dengan langkah tergesa ia beranjak pulang. Kepalanya memerintahkannya tak perlu datang, tapi mengapa hatinya menyerukan sebaliknya?

=====
.

.

.

.

.

Halo semuanya. Maaf ya baru update. Beberapa bulan belakangan saya sakit. Jadi nggak sanggup untuk menulis.

Btw, keep save and healthy ya kalian. Semoga pandemi ini cepat berlalu. Btw maafin ya kalau ada typo. Langsung ngebut ngetik pas kepikiran hahaha

Ketika Cahaya Rembulan Mengecup LautanWhere stories live. Discover now