#29 - Abdi Setia (1)

788 204 10
                                    

Hal pertama kali yang dilihat Vivi setelah membuka mata adalah langit-langit klinik berwarna putih kusam. Ia melirik tangannya yang terhubung selang infus karena perih yang menjalar di punggung tangan. Samar-samar, ia ingat kejadian tadi malam di mana ia meraung-raung kesakitan. Seperti yang bisa ia duga, penyakit lambungnya kambuh. Perutnya terasa ditusuk ribuan jarum. Sambil tersedu-sedu ia menelpon Mbok Sum, meminta pertolongan karena saat itu ia pikir ajalnya akan segera tiba.

Vivi seketika terbahak. Menertawai ketololannya sendiri. Ia kira tadi malam akan menjadi hari terakhirnya di dunia, tapi hanya karena penyakit lambungnya kambuh ia sudah menyerah. Bagaimana jika ia betul-betul merasakan sakitnya dicabut nyawa?

Tirai penyekat ruangan kemudian terbuka, menampakkan Nabila dengan raut khawatir sekaligus lega. "Ah, ah, syukurlah Neng Vivi sudah sadar. Mau Nabil panggil dokter?"

Ia menggeleng lalu memandangi bocah perempuan itu dari ujung kepala sampai ujung kaki. Nabila masih memakai seragam lengkap. Bahkan tas ransel miliknya masih tersampir di pundak.

Merasa diperhatikan, Nabila tersenyum canggung. "Neng Vivi, maafin Nabil, ya."

"Kenapa kamu minta maaf?"

Nabila meremat-remat tangannya sambil menunduk. "Karena makan nasi berkat dari Nabil, Neng Vivi jadi sakit begini."

Vivi mengisyaratkan Nabila untuk mendekat. "Bukan salah kamu. Saya yang ceroboh."

Bocah perempuan itu mendongak dengan senyum merekah. "Beneran?"

"Ya."

Nabila kemudian mengambil tangan kanan Vivi dan memijat-mijatnya lembut. "Neng Vivi lapar? Mau apa? Nanti Nabil beli ke kantin."

Vivi mencoba bangkit dari rebah dengan Nabila yang membantu. "Saya mau pulang."

Nabila menggeleng cepat. "Eh, ndak bisa. Neng Vivi kan masih sakit."

"Kamu lihat sendiri, kan? Saya sudah sehat."

Bocah itu bimbang, tapi juga tak berani membantah. Tiap kali ia melihat mata Vivi, seperti ada dorongan asing dalam dirinya yang memerintahkannya untuk terus patuh, seolah-olah ia berhutang sesuatu yang besar pada anak mantan majikan bibinya itu.

Setelah beberapa menit menimbang, ia menelpon Galih dan bibinya untuk meminta persetujuan.

Sempat terjadi perdebatan alot antara sepupunya dan Vivi. Galih jelas tak setuju dengan keputusan tersebut, tapi Vivi tetap bersikeras, terlebih lagi dokter yang merawatnya telah mengizinkan. Lelaki itu akhirnya menyerah dan membiarkannya pulang ditemani Nabila.

.

.

.

Keduanya tiba di kontrakan Vivi tepat pukul dua siang. Begitu masuk rumah, Vivi dengan segera mengunci dirinya di kamar, meninggalkan Nabila di ruang tengah sendirian.

Mungkin ia ingin beristirahat, begitu pikir Nabila. Di ruang tamu, bocah itu duduk merenung. Sekarang apa yang harus ia lakukan? Menunggui Vivi sampai Galih pulang kerja? Ia tak terbiasa menunggu tanpa melakukan apa-apa. Setelah menyisir tiap sudut kontrakan Vivi, ia memutuskan untuk bersih-bersih rumah saja.

Saat ia mengepel lantai, Vivi akhirnya keluar kamar. Anak mantan majikan bibinya itu berjalan lurus tanpa menyapanya menuju kamar mandi. Tak mau ambil pusing, Nabila melanjutkan pekerjaannya hingga selesai.

Ketika ia kembali dari belakang untuk meletakkan alat pel, Vivi belum keluar juga. Ia mendadak gelisah. Bagaimana kalau terjadi hal buruk dengan Vivi di dalam? Untungnya, kekhawatirannya tak terbukti karena Vivi akhirnya keluar dengan rambut yang masih meneteskan air.

"Neng Vivi, mau Nabil bantu keringkan rambutnya?" tawarnya sambil tersenyum lega. Ia akan senang sekali jika Vivi mengiyakan, tapi kalau Vivi tidak mau, ya, tak apa-apa.

Tanpa disangka, Vivi mengangguk lalu memberikan handuknya kepada Nabila. Ia kemudian memimpin jalan untuk kembali ke kamar, lalu duduk di depan meja rias tua yang sengaja ditinggalkan oleh si pemilik kontrakan. Nabila semringah. Pelan-pelan, gadis kecil itu mengusap lembut rambutnya yang basah.

Ia melihat tiap pergerakan Nabila melalui pantulan cermin. Ada kerinduan yang tak bisa ia jelaskan, terlebih saat ia melihat lengkungan bibir bocah itu. Rasanya dulu sekali ia seperti pernah melihat senyum itu, tapi ia tak tahu kapan pastinya.

"Neng Vivi, Nabil boleh sisir rambutnya?"

Vivi mengangguk lalu kembali mengamati tiap gerakan yang Nabila lakukan. Sesekali bocah perempuan itu bersenandung, atau memuji betapa tebal rambutnya, atau berceloteh menjelaskan macam-macam produk rambut yang bisa mengembalikan rambutnya seperti sedia kala. Tanpa sadar ujung bibirnya sedikit terangkat.

"Neng Vivi padahal cantik banget lho kalau lagi senyum."

Vivi terperanjat dan secara refleks ia memandang ke arah lain.

Nabila terkekeh kecil. Tangannya menyisir helaian rambut Vivi dengan jari sebelum mengepangnya. Rasanya menyenangkan saat helaian lembut rambut Vivi menyapu permukaan tangannya.

Senandung Nabila terdengar lagi dan Vivi tergelitik untuk melihat. Kali ini, ekspresi apa yang ditunjukkan bocah itu?

Ketika ia kembali melihat cermin, tubuhnya seketika menegang. Di hadapannya kini bukanlah Nabila, melainkan sosok asing dengan wajah serupa. Sosok itu berambut hitam panjang yang digerai. Setengah tubuh bagian atasnya tak ditutupi apapun. Sepasang kelat bahu perunggu menghasi lengan bagian atas.

"Apa kabar Paduka Sri Rajapatni?" tanya sosok itu sambil tersenyum—senyum yang sama dengan milik Nabila. "Maaf, hamba tak bisa menemanimu sampai akhir seperti janjiku padamu."

Vivi seperti mengenal dengan baik bocah itu tapi di saat yang bersamaan terasa sangat asing. Tiba-tiba, sekujur tubuhnya kaku tak bisa digerakkan. Ingatannya terdistorsi. Fragmen memori—yang ia yakini—tak pernah ia alami berkelebat di tiap kedipan mata.

Kedipan pertama, 'ia' tengah menyelamatkan bocah perempuan yang hanyut di sungai. Kedipan kedua, ia melihat bocah perempuan yang sama sibuk merias 'dirinya'. Kedipan ketiga, ia menyaksikan bagaimana bocah itu menangis tersedu-sedu dan berlutut seraya merapalkan kata maaf. Ia sekali lagi tersentak begitu menyadari wajah si bocah perempuan begitu mirip dengan Nabila!

Tiba-tiba, cahaya menyilaukan datang mendadak dari arah depan. Vivi refleks memejamkan mata. Detik berikutnya, ketika matanya membuka kembali, yang dilihatnya adalah pemandangan yang berhasil membuat kewarasannya terguncang.

"Nabila ... Nabila!" Vivi berteriak tak terkendali. Di hadapannya, bocah perempuan itu berlutut dengan tangan terikat di belakang. Di sampingnya, algojo bertubuh besar mengacungkan pedang, siap untuk memisahkan kepala dengan badan si bocah.

Vivi menjerit histeris saat pedang terayun, siap menebas.

"Neng Vivi, kenapa? Perutnya masih sakit?"

Kesadarannya kembali setelah mendengar suara Nabila. Ia menghela napas panjang. Saat melihat pantulan sosok Nabila di cermin, sebuah nama tak sengaja lolos dari bibirnya yang diiringi dengan setitik air mata.

"Kanti."

Nabila mengernyit bingung. "Kanti? Siapa Kanti, Neng Vivi?"

Ketika Cahaya Rembulan Mengecup LautanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang