#16 - Kebenaran Tak Akan Pernah Pudar (1)

1.5K 299 10
                                    

Vivi sudah tak tahu apa lagi yang harus ia katakan pada manusia keras kepala macam Galih. Sejak pemuda itu menengoknya sore tadi sampai kini hari menjelang malam, nyaris sudah puluhan kali ia mengatakan kalau dirinya baik-baik saja, tapi pemuda itu masih bersikeras untuk tetap tinggal dengan dalih ingin merawatnya. "Mas Galih, ini udah mau malam. Mending Mas Galih pulang dan bantu Mbok Sum buat acara alun-alun besok."

"Tapi ...."

Gadis itu menghela napas lemah sambil memijit kepala. "Mas Galih, untuk terakhir kali saya minta, tolong pulang sekarang. Kepala saya jadi makin sakit kalau Mas di sini terus!" hardiknya. Sesungguhnya ia tak ingin melakukan itu, tapi Galih seakan memaksanya.

Galih terdiam selama beberapa saat. Gurat kekecewaan tampak jelas di wajahnya, tapi meski begitu ia pandai menutupi. Pemuda itu pun menghela napas dalam-dalam dan bangkit dari kursi. "Ya, sudah kalau begitu. Saya pulang dulu. Tapi, kalau nanti Neng Vivi butuh apa-apa, langsung aja telepon saya atau si Mbok."

Vivi menggerung sebagai jawaban. Gadis itu lalu menggulingkan tubuhnya ke kiri, memunggungi Galih.

Sebelum beranjak, Galih menyempatkan diri untuk menyelimuti tubuh Vivi yang rebah di atas ranjang. Sebelah tangannya kemudian meraih surat sakit yang tergeletak di nakas lalu melangkah gontai keluar kamar.

Baru beberapa langkah ia menjauh dari kamar Vivi, tiba-tiba saja tubuhnya merosot jatuh, seakan-akan tulang-belulangnya tak mampu lagi menopang berat tubuh. Dengan susah payah ia menyeret tubuhnya menuju sofa butut di ruang tamu lalu menumpahkan segala emosi yang sedari tadi ia pendam. Ia menangis dan memaki tanpa suara, menyalahkan diri sendiri karena ketidakbecusannya menjaga Vivi. Kekehan sumbangnya mengalun samar. Ia yakin sekali kalau saat ini ibunda Vivi tengah murka di alam baka sana.

Di tengah keputusasaan yang membuat tiap inci tubuhnya mati rasa, ponselnya tiba-tiba bergetar. Dilihatnya sekilas, nama ibunya tertera di layar. Terpaksa ia harus menjawab panggilan itu.

"Ya, Neng Vivi udah nggak apa-apa. Ya, Galih pulang sekarang," katanya sambil memutuskan sambungan telepon. Dengan segenap tenaga yang masih tersisa, pemuda itu bergegas bangkit dan pulang, menuruti pesan ibunya tadi.

.

.

.

Galih menghela napas lelah. Sejauh ini, ketika mimpi-mimpi buruk itu datang, ia mampu mengatasinya. Namun, mimpi semalam sungguh membuatnya tak berdaya. Ia terjaga sepanjang malam karena sosok ibunda Vivi yang bangkit dari kubur meneror alam bawah sadarnya. Tiap ia memejamkan mata, wanita itu akan muncul sambil menagih janji-janji yang tak bisa ia tepati. Pemuda itu memijat pelipisnya pelan. Kantung matanya menghitam. Bagaimana ia bisa menyembunyikan ini? Di kantor nanti pasti teman-temannya akan ribut menanyainya ini-itu.

"Mas Galih jangan berangkat kayak gitu!" Nabila berteriak dari belakangnya. Dengan tergopoh-gopoh adik sepupunya itu berlari lalu memaksa Galih untuk duduk di kursi rias milik ibunya. "Mas Galih begadang, ya? Serem banget ini!" seru gadis itu sambil meraba kantung mata Galih yang menebal.

Galih tersenyum dan sengaja tak memberi jawaban yang jelas. Kesal karena tak mendapatkan jawaban yang diinginkan, Nabila memukul pundak kakak sepupunya, kemudian dengan cekatan gadis itu mengambil alat rias yang ia pinjam dari ibu salah satu temannya.

"Kamu nggak usah repot-repot, Nabil. Nanti kalau temen kamu datang dan kamu belum siap, gimana?" ucap Galih sambil terkekeh.

"Mas Galih nggak lihat aku udah pakai kostum lengkap? Kalau soal rambut, nanti bakal dihias di sekolah," sahut Nabila, setengah ketus. Tangannya dengan tangkas merias bagian bawah mata Galih agar kantung yang tebal dan hitam itu bisa tersamarkan.

Galih tersenyum memandangi kostum penari tradisional Jawa yang dipakai Nabila. Hari ini adalah hari peringatan ulang tahun kota yang ditinggalinya. Sudah menjadi tradisi tiap tahun kotanya itu akan menyelenggarakan festival yang dimeriahkan oleh pawai-pawai yang akan diikuti oleh berbagai kalangan, termasuk sekolah Nabila. Kemudian malamnya puncak acara akan diadakan dengan menggelar pasar malam dan berbagai macam pertunjukkan seni daerah khas kota mereka.

"Kamu nggak mau coba ikut latihan tari, Nabila?" tanya Galih. Tangannya tanpa sadar mengelus dan memainkan selendang hijau yang melingkar di pinggang adik sepupunya.

Nabila terkikik geli. "Aku ndak ada bakat, Mas. Kalau aku punya bakat kayak Neng Vivi mungkin aku bakal ikut di sanggarnya Bu Lina. Nah, sudah selesai. Kalau begini kan Mas Galih kelihatan ganteng."

Mendengar nama Vivi, raut wajah Galih berubah mendung, tapi meski begitu ia tetap memaksakan senyum. "Terima kasih, Nabil." Pemuda itu pun berdiri sambil melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Sudah hampir pukul enam. Ia harus melihat keadaan Vivi dulu sebelum berangkat kerja. Sayangnya, sang ibu buru-buru mencegah ketika mengetahui niatnya itu.

"Kamu berangkat kerja aja, Le. Biar Mbok yang urus Neng Vivi."

Tadinya Galih ingin mengajukan protes, tapi melihat kesungguhan di mata sang ibu, Galih jadi merasa tak enak. Akhirnya ia menuruti perintah ibunya itu tanpa banyak bicara.

.

.

.

Setelah mengantarkan surat sakit Vivi, Galih melanjutkan perjalanannya menuju kantornya sendiri. Setelah sampai Galih langsung memarkirkan motornya. Tak berapa lama berselang mobil milik Bu Silvi berhenti tepat di depan kantornya. Galih tersenyum kecil dan mengangguk saat atasannya itu membuka kaca jendela kursi penumpang.

Pintu penumpang kemudian terbuka, tapi Bu Silvia tak langsung keluar. Galih memandang bingung. Seujurnya ia ingin masuk ke dalam terlebih dulu, tapi akan sangat tidak sopan jika ia mendahului atasannya itu. Maka, ia pun memutuskan untuk menunggu.

"Kris, Kris, denger mama, mama kerja dulu, Kris sama Om Jodi, oke?"

Suara Bu Silvia terdengar. Galih berpikir mungkin atasannya itu sedang berbicara dengan anaknya. Namun kemudian, terdengar bunyi berisik dari dalam mobil yang disertai dengan suara lelaki dewasa yang menggerung-gerung marah. Panik akan terjadi sesuatu, Galih pun mendekat.

"Ada apa ya, Bu?" Napas Galih seketika tercekat saat melihat paras pemuda yang duduk dengan tidak tenang di samping Bu Silvia.

Wajah itu ...

Galih mundur beberapa langkah sambil mendunduk. Seperti ada potongan balok kayu yang menghantam telak kepalanya. Berbagai potongan gambar kejadian seketika berputar-putar memenuhi otaknya; tandu emas, iring-iringan kuda dengan panji-panji serta umbul-umbul yang berkibar, para penari yang tampak gemulai. Ketika ia mendongakkan kepala, sebuah adegan terputar seperti kaset rusak di depan matanya. Puluhan pandita dan brahmana berbaris rapi, di belakang mereka sebaris gadis berjalan sambil menyebarkan bunga berwarna-warni. Sorak-sorai rakyat terdengar menyatu dengan alunan gamelan. Galih nyaris terjatuh, tapi untungnya ia bisa meraih ujung pintu mobil sehingga ia dapat mempertahankan keseimbangan. Dalam sekejap adegan aneh yang ia lihat tadi memudar.

"Galih, kamu kenapa?" tanya Bu Silvia khawatir saat mendapati wajah Galih yang pucat.

Galih menggeleng samar. "Saya nggak apa-apa, Bu." Fokusnya kemudian berpindah kepada Kris, pemuda di samping Bu Silvia. Awalnya Kris terlihat sangat agresif. Ia bahkan tak segan untuk memukul-mukulkan kepalanya ke jendela mobil. Akan tetapi, ketika pandangannya dan Galih bertemu, tingkah agresifnya perlahan hilang. Dengan napas tersengal-sengal Kris menggumamkan sesuatu sambil menjulur-julurkan tangan ke arah Galih.

Bu Silvia yang menyaksikan itu benar-benar tak mengerti. Ini pertama kali baginya melihat Kris yang histeris bisa tenang secepat itu. Sementara di lain sisi, Galih yang bingung pun spontan menyambut uluran tangan dari Kris. Ketika kulit mereka bersentuhan, entah mengapa Galih merasa menemukan sesuatu yang hilang dari jiwanya. Seakan-akan ia telah menemukan salah satu tujuannya terlahir ke dunia.

"Rakamas Rawisrengga," gumam Galih tanpa sadar.

======

Halo ketemu lagi dengan saya, hehe... Akhirnya, setelah sekian lama Kris muncul juga di sini, yeay!

Terima kasih bagi yang sudah membaca sampai sini. Sampai berjumpa di bab berikutnya~

Ketika Cahaya Rembulan Mengecup LautanWhere stories live. Discover now