🌰JYM-06

15.4K 3.4K 251
                                    

"Saya gak pernah lupa siapa orang yang berbuat keributan di pesantren ini."

DEG

"Ukhuk! Ukhuk!" Meri tersedak ludahnya sendiri.

Wajah menantang yang tadi di tunjukkan berubah kisut. Apakah ini yang dinamakan batin terguncang? Jika memang benar saat ini otak, hati, dan pikiran Meri sedang terguncang.

Meri kembali melirik Haydar, raut nya sama sekali tak berubah dari detik pertama matanya menangkapnya. Sebisa mungkin ia menetralkan rasa gugupnya. "Mana Meri yang kemaren? Masa gitu doang udah tengsin. Sahabat Cita gak ada yang punya malu," batin Meri menguatkan mentalnya.

Sebuh cengiran ia tunjukkan. "Hehe, gue pikir udah lupa. Mau minta maap tapi malu. Gak usah minta maap deh ya, anggap aja gak pernah terjadi. Kita damai, oke."

"Memangnya siapa yang menyuruh kamu minta maaf?" tanya Haydar.

Pertanyaan yang mampu menohok mental Meri. "Setrok dah, setrok mental gue," gumamnya pelan.

Haydar kembali mengeluarkan suaranya, "Orang pemberani dan bertanggung jawab gak akan lari dari masalah. Tanpa di suruh akan meminta maaf dengan sendirinya."

Meri menghela napas. Jika tidak ingat siapa laki-laki ini, mungkin sudah di semprot dengan mulut lemesnya. Untung dia masih sadar kalau Haydar-lah tujuan dia ada disini. "Ya udah iya. Gue selagi perwakilan dari temen-temen gue, minta maap sebesar-besarnya. Kalau gak di maapin kebangetan."

Sebenarnya Haydar sudah lupa dengan wajah Meri si gadis paling nyolot di antara kawan lain. Namun karena hampir setiap hari Cita merekomendasikan temannya ini hingga mau tak mau ia kembali teringat akan kejadian tersebut.

Dan jika bukan karena Meri bilang mencari Cita, Haydar juga tidak akan tahu bahwa gadis itu-lah perempuan bersuara cempreng juga tak memiliki etika yang teriaknya paling kencang dari yang lain.

"Meri," teriak Cita mempercepat langkah kakinya.

Mendengar teriakan Cita, wajah Meri-pun kembali sumringah. Kedua tangannya terlentang lebar. Dalam hati ia bersyukur sebab, dengan kedatangan Cita, ia bisa menghindari Haydar untuk sementara ini.

Daripada dia disini, yang ada justru semakin kacau. Dan apabila urusannya dengan Haydar kacau, maka pupuslah harapannya untuk ber-PDKT dengan adik ipar Cita.

"Cita... Gue rinduu setengah hidup tau."

Mereka berpelukan, saling temu kangen. "Aaaa gue juga kangen."

"Cit, tarik gue pergi dari sini," bisiknya.

"Lah, kenapa?" tanya Cita dengan suara lantang.

Sontak tanpa sungkan bibir lemes Cita, di raup dengan telapak tangan Meri. "Bisa kecilin gak sih?! Itu mulut minta di ruqiyah!" kesalnya.

Cita terkekeh, lalu melirik adik iparnya. "Hay, gue masuk dulu. Assalamualaikum."

Kepala Haydar mengangguk. "Waalaikumussalam warohmatullah."

Meri mendorong Cita agar mempercepat langkah kakinya. "Mer, jan di dorong-dorong. Ntar kalau gue nyungsep gimana?"

"Ya makanya cepetan!"

"Ngapain sih cepet-cepet?"

"Bawa gue menjauh dari Haydar, cepet!"

"Lah, lo gimana sih? Gak ada di tanyain mulu, giliran udah ketemu sama orangnya malah di tinggal kabur."

"Yang jelas ceritanya sangat memalukan. Ntar gue ceritain." Cita hanya menanggapi dengan gelengan kepala.

Wanita satu anak itu membawa Meri ke rumah Kyai untuk sowan. Sowan, sama dengan menghadap orang yang harus di hormati seperti guru atau orang tua. "Sekarang lo harus sowan dulu ke Abah dan Umi."

Jodohku Yang Mana? [End]Where stories live. Discover now