🌰JYM-18

14.4K 3.4K 971
                                    

"Kalau gitu Gus Haydar aja yang nikah sama saya," ceplos Meri secara nyata.

Haydar sempat menahan napas sejenak, sebelum mengeluarkan suara. "Berdo'a saja."

Mulut Meri ternganga, tanpa sadar menatap Haydar penuh binar. Bahkan wajah gadis itu maju, otomatis Haydar mundur serta memalingkan wajah. "Dikasih lampu ijo nih ceritanya?"

"Bisakah jadi perempuan gak agresif? Saya takut loh ini."

Meri ngalah, ia semakin memperjelas tatapannya. Hanya saja di beri jarak, tak sedekat beberapa detik lalu.

"Takut kenapa?" Meri menaikkan satu alisnya, bibirnya tersenyum tipis. "Takut jatuh cinta?"

Mata Haydar terpejam, menghela napas berat. "Kamu benar. Memang itu yang saya takutkan," jawab Haydar tidak menyangkal sama sekali. Intonasi yang dikeluarkan sangat gagah, sebagai lelaki.

Hati Meri berdesir. Kaget? Tentu saja, mungkin jika dirinya memiliki riwayat penyakit jantung akan kambuh saat ini juga. Lidahnya sampai kelu, tak mampu berkutik.

Haydar kembali mengeluarkan suara, "Saya takut mencintai perempuan yang belum halal untuk saya. Saya takut, cinta itu akan lebih besar dari pada kecintaan saya kepada Allah."

"Gak pernah ada larangan seorang perempuan menyatakan cinta kepada laki-laki. Tapi bukan seperti ini caranya. Jangan turunkan harga dirimu sebagai perempuan, kamu jauh lebih berharga dari pada berlian."

"Apa yang membuat kamu sejatuh cinta ini terhadap saya?"

Meri menjawab dengan nada berbeda dari biasanya ia bicara. "Jujur, awalnya saya jatuh cinta karena ketampanan Gus Haydar. Tapi seiring berjalannya waktu, saya kagum dengan akhlak dan ilmu yang Gus Haydar terapkan."

"Itu hanya kelebihan yang kamu kagumi. Ketahuilah, semakin kamu mengenal saya. Maka kamu akan semakin menemukan banyaknya kekurangan yang sama miliki."

Laki-laki itu memberi jedak kalimatnya sejenak. "Oleh sebab itu, turunkan ekpektasimu sebelum kamu berakhir kecewa karena kenyatannya saya gak sesuai dengan apa yang membuatmu jatuh cinta kepada saya."

Lagi-lagi gadis itu menampakkan wajah penuh ketegasan. "Kata siapa? Lagian manusia gak ada yang sempuarna. Kesempurnaan cuma milik Allah. Saya pikir, sejauh ini semakin saya melihat kekurangan itu malah semakin cinta."

"Preerrrrrrrttttttttt."

Keduanya noleh, mencari sumber suara. Ternyata ada Haikal berdiri di belakang Haydar dengan wajah tanpa dosa. Laki-laki itu masuk kedalam dapur. "Minggir! Jangan ngalangin jalan!" serunya.

"Gak usah sok kenal, lo cuman tau gue di sosmed," sahut Meri melirik Haikal tak suka.

Haikal menghentikan langkahnya, satu kakinya mundur. "Dih. Sok amat lo, nama aja kagak tau."

"Ohh, gitu. Kalau mau minta kenalan ngomong aja kali, gak usah cari sensasi," cercah Meri.

"Tinggal bilang, Mbak namanya siapa?" Gadis itu bersuara seakan benar-benar tengah mengajak kenalan. "Gitu doang kok ribet. Hadeehhh, cowok jaman sekarang modusnya kebangetan."

"Gue modusin lo?" Haikal hampir terbahak. "Kepedean amat lo jadi cewek. Gak ada istilah modus dalam hidup gue."

"Ngaku aja kali, gak bakal hilang juga hidung lo kalau ngaku," seru Meri.

"Atau jangan-jangan lo sendiri yang pengen kenalan sama gue?" Sekarang justru Haikal yang menuding Meri.

"Jangan saling debat," tukas Haydar menengah-nengahi. Ia melihat sang adik. "Haikal. Belajar dewasa, jangan seperti anak kecil. Kamu seorang dokter, harus bijak."

Jodohku Yang Mana? [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang