22

343 60 18
                                    

-Blank Space-

Fokus semua orang tertuju kepada pengacara dan kliennya yang masih bercengkeraman di tengah courtroom dalam posisi terduduk. Keheningan yang tercipta di langit-langit ruangan terasa mencekik. Semua orang tampak sabar menanti apa yang akan terjadi pada mereka.

Sementara di sana, meski di bawah gertakan Seokjin, Namjoon sama sekali tidak terlihat terpengaruh. Sejak awal, ia sudah menduga pasti ada sesuatu yang membuat perilaku Seokjin sering berubah, bukan hanya karena emosi atau sikapnya yang sulit ditebak, melainkan lebih dari itu. Karena jika benar disebabkan oleh ancaman seseorang, mestinya sekarang pun Seokjin masih sekeras kepala dulu. Tetapi, tidak. Pria tak jelas ini justru terlihat bingung. Apa pun yang mendorongnya bersikap plin-plan, Namjoon harus tetap memanfaatkan situasi.

"Jangan munafik, Seokjin," bisiknya. "Aku masih membiarkan Yura hidup saat itu. Kaulah pembunuhnya—"

Tangan Namjoon refleks menumpu tubuhnya yang hampir ambruk ke lantai oleh cekalan Seokjin di kerah leher, alisnya bertekuk ketika meninjau setiap inci wajah Seokjin yang sudah diseret menjauh oleh security sebelum terjadi baku hantam. Sebagian audiens sempat teriak melihat reaksi tiba-tiba dari terdakwa. Mereka memperhatikan bagaimana si pengacara akhirnya berdiri sambil menarik napas panjang sebelum meminta kepada hakim untuk jeda sejenak dikarenakan kliennya tidak terlihat baik-baik saja.

Di tengah kebisuan menanti ketua hakim selesai berbagi pendapat dengan hakim pembantu di kanan-kirinya, Seokjin tersentak oleh sakit kepala tiba-tiba saat berusaha lepas dari genggaman security di kedua lengannya. Pandangan Seokjin terus berputar menyeret fokusnya ke ingatan-ingatan semu.

Malam itu, Yura sempat memeluknya sebelum kepalanya dipukul dari belakang. Lalu apa?

Seokjin meringis. Ia yakin tidak membunuh siapa pun selain fakta bahwa jantung Yura telah diambil untuk Jungkook. Sungguh, rasanya, firasat Seokjin lebih baik daripada apa pun di memori kepala. Ia menyaksikan sendiri mayat Yura sebelum dikremasi. Namun, untuk apa Namjoon di sana? Apa saja yang terlewatkan?

Kebimbangan menarik jiwa Seokjin dari realita. Hampa masih terasa bahkan sehabis berhadapan langsung dengan netra Namjoon yang tampak lebih berempati daripada sebelumnya.

"Yang Mulia," panggil Namjoon, berdiri tegak ke arah ketua hakim. "Seperti yang Anda saksikan, kondisi klien saya tidak memungkinkan untuk melanjutkan sidang."

Umpatan samar keluar dari mulut Seokjin sewaktu kembali berusaha kabur, berjalan terseok untuk menggeser Namjoon yang tengah bicara. Bagaimana pun, kebenaran harus terungkap meskipun ingatannya tidak memberikan informasi akutat. Tetapi, belum sempat sepatah kata pun keluar dari mulut Seokjin, Namjoon sudah menarik lengannya agar bisa berbisik, "Kau akan merugikan dirimu sendiri jika tetap seperti ini."

Security tersebut diam setelah melihat tatapan "bukan apa-apa" dari pengacara itu sebelum menjaga jarak mundur.

"Aku hanya memperingatkan," lanjut Namjoon sedikit menunduk guna bertatapan langsung dengan sang klien.

Tidak.

Seokjin tidak percaya siapa pun termasuk diri sendiri. Kekacauan ini terlalu mendadak. Bohong kalau Seokjin enggan memberi ruang bagi kepalanya yang berantakan, mempertanyakan garis besarnya saja sudah cukup buat ubun-ubun hampir meledak. Lelah bukan main. Tidak ada pilihan selain diam melihat apa yang akan semesta bawa padanya.

"Terdakwa Jeon Seokjin," tegas Hakim Ketua, tersadar gelagat pemuda itu sangat bersikeras demi ucapan selanjutnya. "Setelah Anda menyampaikan kesaksian, sidang akan dijeda. Anda bisa menjernihkan pikiran selama kami berdiskusi dengan jaksa dan pembela."

[M] CRIMSONWhere stories live. Discover now