verhaal één;

222 22 19
                                    

Pelabuhan Tanjung Emas, Samarang 1930
09:12 Pagi

Haven Van Sander, berhasil menginjakkan kakinya kembali ke Kepulauan Hindia untuk yang ketiga kalinya. Kali ini, setelah ia singgah di wilayah Fort de Kock yang hampir selama lima bulan itu telah sampai di tujuan kesekiannya. Samarang. Salah satu kota yang menjadi titik besar kaum-kaumnya berada, merasa seperti petinggi-petinggi lain yang mampu sampai di tempat ini dan penuh kuasa.

Haven sendiri merupakan seorang bos besar dalam bidang industri perkebunan. Hasil kebun yang bisa ia hasilkan dapat melampaui industri lainnya di Netherland, yang Haven miliki sudah sangat maju bila dibandingkan dengan yang lain. Oleh karena itu, sebab ia mendengar bahwa Bumi Nusantara; Kepulauan Hindia ini memiliki kekayaan alam yang melimpah, termasuk segala macam rempah-rempahnya ia ingin segera mengunjungi negeri ini.

Namun kali ini Haven tidak sendirian, ia bersama dua putra kesayangannya. Si sulung yang gagah, tampan juga pemberani ini adalah Berend Van Sander. Sedang si bungsu yang tampan namun juga sangat cantik diwaktu yang bersamaan, juga merupakan pribadi yang ceria dan hangat adalah Verren Van Sander.

Dikala itu, saat Verren yang masih sangat muda harus mau mengikuti apa yang ingin ayahnya inginkan. Membawa dirinya, juga sang kakak ikut dengan ayahnya.

Sebenarnya Verren beberapa kali menolak ajakan sang ayah untuk ikut. Tapi Berend sang kakak justru terus menggoda dirinya bila Ver tidak ikut maka semua koleksi lukisannya akan Berend bakar. Kejam memang, dan itulah ajaran Haven kepada anak-anaknya. Dan alhasil, Verren mau ikut dan dengan satu syarat ia akan membawa beberapa lukisannya dan akan membuat rumah lukis untuk dirinya sendiri di Samarang.

[Percakapan dalam Bahasa Belanda]
"Hey Ver! Ayo bangun kita sudah sampai!" ujar Berend sedikit berteriak membangunkan Verren yang tengah terlelap.

"Sudah, nanti saja kalau sudah sampai. Biarkan adikmu tidur Berend!" Haven menimpali ucapan Berend barusan.

"Tapi tidak dengan tidur dibahuku. Bahuku mati rasa Vader!"

"Tahan sebentar lagi! Inlander itu akan segera sampai!"

Berend hanya berdecih mendengar penuturan sang ayah. Kalau saja dirinya tidak sayang dengan Verren, mungkin sudah ia lempar si adik sampai terjungkal.

Belum lama mereka mengakhiri obrolan, orang yang mereka tunggu sudah tiba membawa mobil yang akan mereka tumpangi.

"Meener, maaf terlambat. Sedikit ada masalah, saya bertemu penagih hutang Meneer jadi maaf saya terlambat menjemput Meneer." Tutur si pribumi sambil menundukkan kepalanya.

"Aku tidak terlalu peduli apa yang terjadi. Tapi ayo cepat antar aku, aku sudah terlalu letih!"

"Baik Meneer, mari saya antar."

Haven dan kedua anaknya pun masuk kedalam mobil. Verren yang masih sangat mengantuk kembali menutup matanya untuk kembali tidur. Tidak dengan berbantal bahu sang kakak, melainkan dengan boneka beruang hadiah dari nyai kesayangannya.

Seolah mengingatkan kembali dirinya di masa kecil, Verren terbangun dengan tergesa. Menatap dalam beruang dipelukannya seraya bertanya, "Vader? Apa nanti aku bisa bertemu moeder?"

Haven menoleh pada sang anak. Dahinya mengkerut, seolah bertanya kembali mengapa Varren menanyakan ibunya. Jelas-jelas Nyonya Sander masih berasa di Netherland. Istrinya itu tidak ia izinkan untuk ikut pergi dan tidak akan pernah ia izinkan.

"Kenapa bertanya moeder, manis? Moeder di Netherland tidak ikut dengan kita."

"Bukan moeder Sandra, Vader! Tapi Nyai! Nyai cantik!"

FALLING [JINV]Where stories live. Discover now