verhaal twee;

113 14 46
                                    

terjemahan bisa dilihat dikolom komentar, terima kasih :)

Kraton Kerajaan Argowiro, Fort Willem I, 1921

"Bapa! Adhi tumut kalih Pakdhe Semprong kala-wau, kula kengken kangge wangsul mboten purun Bapa!"

"Biarken. Adhimu pasti ingin bermain, ya setidaknya dia mau belajar menjadi Raden! Kamu tahu?"

"Nggih Bapa, nanging piyambakipun dolanan cekap tebih. Sanes kebon gadhahipun Pakdhe Semprong kathah ularipun? Kados pundi menawi Dirja mboten atos-atos, Bapa?"

"Bapa tahu Darun! Tapi Adhimu pasti bisa mawas diri. Memangnya kamu!? Kamu bisa jaga adhimu? Bisa ajak main adhimu? Wes. Saiki kowe pergi ke tempat Meneer Hans, bilang kalau besok kamu sudah bisa masuk sekolah!"

Mendengar penuturan sang ayah yang seakan selalu menyepelekan dirinya membuat Darun sakit hati. Diumurnya yang sudah 15 tahun, ia bahkan jarang mendapat pujian seperti adiknya Dirja.

Lantas Darun hanya menganggukkan kepalanya, tapi untuk kalimat perintah yang terakhir sang ayah sampaikan Darun mendongakkan kepalanya. Dirinya tidak sudi untuk bersekolah, yang Darun inginkan adalah kebebasan. Bebas menjadi penguasa layaknya meneer-meneer itu. Lagi pula, ayahnya pun tak ingin wilayah Argowiro ini berubah menjadi seperti kerajaan lainnya yang harus tunduk pada penguasa dari Belanda. Maka Darun pun juga akan seperti ayahnya yang terus mempertahankan wilayahnya.

Sudah berkali-kali Darun menolak disekolahkan namun sang ayah kekeh ingin Darun mendapat pendidikan. Dengan janji setelah ayahnya berumur 55 tahun, maka tahta akan langsung diberikan pada Darun tanpa syarat ia harus meminang gadis pilihan orang tuanya.

"Kula estu mboten sapinter Dirja, nanging kula mboten ajeng kajeng napakaken suku kula dhateng papan londo-londo kere puniku Bapa!" ujarnya penuh dengan penekanan juga amarah yang ingin sekali Darun luapkan.

"Londo-londo kere?! Kamu pikir selama ini– Selama ini siapa orang pendatang itu kalau bukan londo-londo kere itu yang membeli hasil perkebunan Bapa?! Londo-londo yang kamu sebut kere itu, mereka yang melahap habis membeli mahal juga menjual dengan harga setinggi langit hingga Bapa punya ini semua. Bocah ratau diuntung, BOCAH GEMBLUNG!"

"Nanging kula tetep mboten ajeng kesah dhateng papan puniku napa mawon alesan lan janji ingkang ajeng Bapa sukakaken!"

Satu tamparan keras Darun dapatkan setelah ia dengan berani menjawab sang ayah. Dan dengan tegas tidak mau disekolahkan.

Darun masih berdiam di tempatnya, tak bergerak sedikit pun. Bukan karena sakit pada pipinya namun perihal niat ayahnya yang sama dengan menjual dirinya pada Olanda sialan itu.

Lantas sang ibu datang memeluk raganya. Tangan yang menganggur pun menepuk-nepuk pundaknya, memberi ketenangan. Hingga Darun menyenderkan kepalanya pada tulang selangka sang ibu.

"Sudah ndak pa-pa le, Bapamu mungkin sedang kesal dengan hasil bumi akhir-akhir ini. Sudah yo, sudah sekarang masuk saja kamu istirahat. Urusan Meneer Hans biar ibu yang kirim pesan le"

««»»

Dirja, anak laki-laki tampan dan pemberani. Namun sangat disayangkan ia lebih memilih untuk dipanggil Darman ketimbang Dirja. Katanya nama Darman tak seberat dengan apa yang ia miliki saat ini.

Anak itu terus berlari kesana kemari, mengejar beberapa ayam juga bebek yang ada. Tawanya mengiring setiap langkah ia berlari juga dengan para teman-teman sebayanya.

Hingga matahari sudah ingin sekali tenggelam ke dalam rumahnya, mereka baik yang bermain ataupun bekerja telah menyelesaikan apa yang mereka lakukan. Sembari menunggu datangnya petang, suasana yang tercipta begitu hangat. Dengan guci-guci tanah berisikan teh juga piring daun pisang berisikan singkong rebus. Cukup membuat mereka senang dan bahagia.

FALLING [JINV]Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin