11. Rindu itu tidak berat, yang berat itu harapan

842 123 11
                                    

Televisi di rumahku menyala entah menayangkan tayangan apa. Aku tadi asal memencet remote saja agar suasana rumah terasa ramai.

Aku tengah meringkuk di kursi ruang tengah dengan selimut menyelimuti badanku. Sejak pagi kepalaku pusing, tidak enak badan. Mbak Tita yang biasanya hanya merawat kebun dan mengerjakan beberapa pekerjaan rumah, jadi memasak untukku. Meski makanan yang kumakan kembali kumuntahkan akibat mual.

Sepertinya pikiranku terlalu banyak akhir-akhir ini hingga aku stress.

Abel mengirimiku pesan, katanya dia akan pulang malam ini. Ada rasa rindu membuncah di dadaku atas kabar kepulangan Abel. Aku benar-benar merindukan Abel. Terlepas dari perasaan yang mungkin Abel miliki untuk Lisa masih ada.

"Neng, makan lagi dong. Dari pagi enggak masuk makanan sama sekali. Enggak pake nasi juga gak papa. Sup nya aja makan, ya." Mbak Tita datang dari arah dapur membawa nampan berisi nasi dan sup ayam hangat buatannya. Kemudian menyimpannya di atas meja di hadapanku.

"Gak nafsu, Mbak." Aku memejamkan mataku. "Yang ada malah keluar lagi. Kayaknya penyakit lambungku kumat."

"Ke dokter aja kalo gitu, yuk. Atau mau saya telfon Ibu sama Bapak?"

Aku menggeleng. "Gak papa. Aku cuma butuh istirahat aja."

Mbak Tita menghampiriku. Mengelus rambutku pelan. "Kalo gitu tidurnya jangan disini. Saya jadi khawatir. Nanti kalo tambah gak enak badan gimana?"

Aku menatap Mbak Tita lembut. "Makasih, Mbak. Tapi ini sofa nya nyaman kok. Sama aku minta tolong, Mbak jangan bilang Abel kalo aku gak enak badan ya. Nanti aja."

Raut wajah Mbak Tita terlihat tak setuju dengan ideku. Meski begitu, ia tetap mengangguk. "Kalau neng butuh apa-apa, panggil aja ya."

Aku mengangguk, seraya dengan Mbak Tita yang kembali ke belakang. Mengurus pekerjaan rumah yang lain. Aku kembali memejamkan mata, mencoba untuk tidur. Tapi, ternyata lambung dan mataku tidak dapat bekerja sama karena aku kembali mual dan langsung bangkit berjalan cepat ke kamar mandi.

Begitu sampai di kamar mandi aku mengarahkan wajahku ke kloset. Memuntahkan isi perutku yang tidak ada apa-apanya karena jelas saja aku belum mengisi perutku. Aku terduduk di lantai kamar mandi. Tubuhku lelah sekali. Padahal seharian ini aku hanya berbaring.

Aku bangkit perlahan dan kembali ke sofa dan bergelung dalam selimut. Baru saja aku akan memejamkan mataku, sebuah suara mobil di depan garasi membuatku terjaga. Aku bangkit dan berjalan perlahan ke jendela ruang tamu untuk mengintip siapa yang datang.

"Abel?" gumamku begitu melihat siapa yang datang.

Kukira Abel akan pulang malam. Ini masih jam 2 siang. Kenapa Abel datang cepat sekali. Aku berbalik dan berjalan cepat ke arah meja di ruang tengah. Membereskan nampan berisi nasi dan semangkuk sup yang masih utuh ke dapur. Lalu kembali lagi untuk membawa selimut ke dalam kamar.

Aku memoles lip tint pada bibirku dan segera keluar dari kamar. Bersamaan dengan pintu depan yang terbuka dan menampilkan Abel membawa satu koper dan tas kerjanya.

Aku menarik kedua sudut bibirku hingga menampilkan senyum yang biasanya aku tampilkan pada Abel. Berjalan mendekati Abel dengan langkah yang kuusahakan terlihat normal. Aku merentangkan kedua tangan begitu sudah ada di depan Abel. Memeluk suamiku itu erat-erat. Mengendus aroma khas Abel yang jadi favoritku.

"Kangen," bisikku di tengah pelukan kami.

Abel terkekeh. "Aku juga." Sembari kedua tangannya mengeratkan pelukan kami.

Entah karena aku yang terlalu lemas dan tidak bertenaga atau bagaimana, hingga aku kehilangan keseimbangan dan pandanganku menghitam. Aku tak sadarkan diri.

𝑺𝒐𝒍𝒅 𝑶𝒖𝒕 | Jaerose Where stories live. Discover now