22. Aku, Kamu, dan Snowball

838 126 20
                                    

happy reading!

><

Dalam tiga minggu ini, Abel masih sering datang ke rumah. Mencoba mendekatkan diri kembali pada Abang meski yang dia dapat hanya keterdiaman Abang yang seperti mencoba menganggap Abel tak ada. Tidak lagi dengan delikan atau tatapan tajamnya. Abel juga banyak mengobrol dengan Ayah dan Bunda. Meski selama seminggu pertama Abel sempat absen. Dia tidak datang ke rumah dan tiba-tiba datang kembali dengan beberapa bagian wajah memakai plester. Aku tentu menanyakan alasannya. Dia hanya menjawab kalau ada preman mabuk yang memukul wajahnya saat dia pulang dari supermarket tengah malam.

Aku agak ragu untuk mempercayainya. Tapi, Abel meyakinkanku kalau dia tidak apa-apa. Dan masalahnya sudah beres. Aku pun menurutinya saja. Toh, mungkin memang itu yang terjadi. Lagipula lebam bekas pukulannya pun sudah mulai pudar.

Abel tak pernah absen berbicara dengan perutku. Dan durasi pembicaraan Abel pada perutku semakin bertambah.

Dia sering membicarakan apa yang dilakukannya selama seharian tidak bertemu aku dan si bayi yang ada dalam perutku. Tiap hal itu terjadi, aku hanya diam mendengarkan Abel berceloteh tanpa henti. Sikapnya jadi lebih santai. Abel bahkan lebih berani melarangku untuk tidak terlalu banyak bergerak ketika bekerja. Karena memang sudah dua minggu ini Aku kembali ke sanggar.

Memberikan asupan vitamin, menerorku ketika waktu jam makan, bahkan terus mengirimiku pesan ketika kami sama-sama sibuk dengan pekerjaan hanya untuk memeriksa keadaanku selama 5 menit sekali.

Aku agak kelimpungan sebenarnya dengan perubahan sikap Abel ini. Tapi, ada hal yang aku syukuri akhir-akhir ini. Mualku sudah membaik. Meski mual itu masih ada, tapi siklusnya tidak sering. Hanya di pagi hari atau kalau aku mencium bau parfum yang jarang aku alami karena semua orang di rumah tidak ada yang memakai parfum. Namun, jika ketika di luar rumahlah hal itu tidak dapat dihindari.

Keberadaan Abel di sampingku pun lama-lama membuatku kembali terbiasa. Apalagi ketika dia berada di sampingku hingga bau khas tubuhnya dapat tercium olehku, aku sering merasa tenang. Seperti saat ini. Ketika dia baru selesai membersihkan diri dan kini sedang duduk dibawah. Menghadapku yang duduk menyamping di kursi kamarku sambil menonton drama.

"Hari ini Ayah kedatangan klien rese. Permintaannya banyak banget, mana ribet, dan galak lagi." Abel mulai bercerita sambil mengelus perutku. "Tapi, karena Ayah profesional, Ayah melayani dengan baik. Nanti, kalau Ayah kebawa emosi, kerjaan Ayah gak lancar. Kalo kerjaan Ayah gak lancar nanti Ayah gak bisa ngasih uang makan ke Bunda sama kamu."

Aku sekuat tenaga menahan senyumku. Suara Abel ketika berbicara pada perutku itu sangat menggemaskan. Entah dia sadar atau tidak. Selama berbicara pada perutku pun, mulut Abel selalu ikut bergerak, entah itu mencebik, cemberut, atau pun tiba-tiba tersenyum hingga lesung pipitnya terlihat.

"Snowball, kalau kamu makan dan kamu gak suka, tolong diusahakan makan ya. Supaya Bunda kamu gak mual-mual. Kalau bisa, ketika kamu dan Bundamu lagi di luar rumah, terus kamu cium bau menyengat, tolong tahan sebentar sampai Bunda kamu sampai rumah, okey? Nanti, kalau kamu jadi bayi yang baik, Ayah bakal kasih hadiah pas kamu lahir nanti. Apapun itu, nanti Ayah belikan."

Ah dan satu lagi, Abel kini sudah punya panggilan sayang. Yup, Snowball. Aku pernah tanya, kenapa dia menamai janinya itu. Katanya, biar bayinya lucu kayak karakter Snowball di film kartun The Secrets Life of Pets. Terserah Abel saja. Meski aku tidak menyangkal kalau Snowball memang menggemaskan.

"Oh iya, Ayah hari ini pulang ke rumah Nenek dan Kakek. Mereka pengen banget ketemu kamu secepatnya. Nenek, Kakek sama Tante Adhis juga katanya mau kesini besok. Kamu siap-siap aja dicerewetin Tante kamu itu." Abel merapatkan pipinya ke atas perutku. "Snowball, sehat-sehat ya di dalem perut Bundanya. Biar nanti bisa ketemu Ayah dan Bunda. Ayah udah gak sabar pengen ketemu kamu."

𝑺𝒐𝒍𝒅 𝑶𝒖𝒕 | Jaerose Where stories live. Discover now