03.

101 14 0
                                    

Bersandar pada kepala ranjang, Ara menatap kelima manusia yang ada di hadapannya dengan senyum penuh. Menatap ketiga laki-laki dewasa dengan dua anak bayi yang baru saja lahir ke dunia. Hatinya terasa hangat ketika melihat Jisung dan Chenle yang sangat antusias dengan kehadiran adik barunya.

Berbicara tentang Jisung dan Chenle, mereka semua ikut dan tinggal bersama Ara dan Johnny. Kedua orang tua mereka juga sudah paham dan mengerti atas keinginan mereka. Sudah saling memahami dan memaafkan namun belum bisa untuk kembali utuh seperti semula. Biarlah, Ara dan Johnny sudah berjanji pada orang tua mereka untuk mengurusnya dengan baik. Dan mereka berhasil, keduanya tumbuh dengan baik dan sehat.

"Pa, kok itu bibirnya kecil gitu sih ? Mana muat buat makan" ucap Jisung yang sibuk menoel-noel pipi si kecil.

"Pikir aja sih cung, ini kan anak bayi, baru juga lahir kemarin masa iya bibirnya udah segede bibir orang dewasa ? Aneh-aneh aja kamu ah"

"Tapi pa, kok kepalanya ada putih-putih gitu, itu apaan ? Ga mungkin kan anak bayi ketombean ?" kali ini Chenle yang bertanya.

Belum sempat menjawab, Jisung sudah kembali heboh ketika melihat kepala sang bayi bergetar.

"PA ! MA ! ITU KEPALA DEDENYA GETER-GETER ! IHH PANGGIL DOKTER MA ! PA !" heboh banget.

Lagi-lagi Johnny menggeleng, Ara tersenyum kecil, "Gak apa-apa, itu namanya ubun-ubun. Waktu bayi juga kamu kaya gitu kok." jawab Ara yang membuat Jisung menatapnya secara utuh.

"Mama udah bangun ?"

Ara tersenyum. Hatinya lagi-lagi merasa hangat ketika panggilan 'mama' terucap dari mulut Jisung. Sejak bertahun-tahun lalu, mereka memilih memanggil Ara dan Johnny dengan sebutan papa dan mama. Ara dan Johnny jelas tidak keberatan, mereka justru senang. Tapi apa daya, mulut tetangga sangat tajam melebihi tajamnya silet. Minggu pertama Ara dan Johnny pindah di rumah besar yang sudah Johnny siapkan, tetangga mereka ada yang bertanya, "Itu anaknya ya, neng ? Udah gede banget."

Ara yang tidak ingin ambil pusing hanya menjawab, "Iya Bu, hehe."

Kemudian ada lagi yang berbicara, "Married by accident, ya ? Nikah pas masih sekolah ?"

"Apa itu suaminya duda ? Neng nikah sama duda ?"

"Bisa jadi ya, jeng ? Soalnya muka suami sama nengnya beda jauh banget. Suaminya keliatan tua banget"

"Betul. Kalo married by accident kayanya ga mungkin, anaknya aja udah sebesar itu. Masa iya nikah pas SD"

Istighfar. Saat itu Ara sangat ingin menampar mulut jahat mereka dengan segala fakta yang ia punya, tapi ia malas meladeninya, berakhir dengan Ara yang meninggalkan mereka yang masih sibuk mempermasalahkan hubungan Ara, Johnny, Jisung, dan juga Chenle.

"Ma ? Hellloooowwww ?"

Ara tersadar. Lamunannya sudah buyar ketuka Chenle menepuk pundaknya.

"Kenapa ?" tanyanya sedikit linglung.

"Mama yang kenapa ?! Ditanyain malah bengong. Heran, Icung"

Masih sama. Panggilannya belum berubah. Lele dan Icung.

"Apa sayang ? Mama tadi melamun, maaf ya . Icung tadi tanya apa ?" tanya Ara dengan lembut.

Yang ditanya malah mengerucutkan bibirnya.

"Mama mau makan apa ? Atau masih ada yang sakit ? Biar lele panggil dokter" tawar Chenle.

Ara menggeleng, "Ga ada apa-apa. Cuma masih sedikit nyeri aja, tapi gak apa-apa, mama bisa tahan."

"Kamu mau makan apa ? Biar aku beliin. Anak-anak juga pada belum sarapan."

"Kok bisa belum sarapan sih, mas ? Kan udah sering dibilangin kalo pagi tuh wajib sarapan. Jangan sampe lupa sarapan. Ga baik, mas."

aeternumWhere stories live. Discover now