Part 2

38 6 0
                                    

Tangis menyingsing dari ujung mata untuk aku jatuhkan di atas garis telapak tangan. Setiap garis itu basah bercampur keringat dan pecahan rindu yang terburai sesudah dibuang. Aku melemparkan rindu itu pada mereka, tidak satu pun yang ingin menerima. Senyum yang aku sampaikan dibalas dengan kecut benci dan hinaan bahwasanya aku tidak berguna. Mungkin aku bersalah dengan tragedi itu, bukankah aku juga manusia yang bisa berubah? Ataukah aku kini sudah dianggap sebagai binatang yang tidak sengaja mampir untuk sementara?

Ada banyak kenangan yang aku buat di dalam rumah ini. Sedari kecil aku ditimang oleh mereka, bermain dengan riang bersama, serta keluh kesah yang tertampung penuh kerelaan. Rumah bukan mengenai besar dan kemewahan, tetapi seluruh aspek kenangan dan rindu-rindu yang pernah tercipta. Semua itu tertulis dalam ingatan dan tergambar pada cerita malam yang terkadang kami gunakan untuk mengenang kembali. Aku berada di sana, menjadi salah satu kenangan itu.

Namun, ia ingin aku tidak ada. Ia ingin aku seperti abu-abu yang tidak jelas apakah hitam dan putih, memudar, dan pergi. Ucapan bengis dari Ayah telah menyayat hatiku sebagai anak. Aku tidak berguna? Lalu, apa gunanya aku ada selama ini? Seakan, tidak ada satu pun hal yang pernah memberikan manfaat selama aku hidup di sini. Hanya karena satu kesalahan dariku, menghancurkan harapan-harapan yang aku gantungkan kepada mereka. Hilang sudah tidak bersisa, selayaknya abu bakaran yang dihembus oleh angin senja.

Sungguh hatiku tidak menerima dibegitukan. Cukup lama bagiku menunggu untuk momen kebersamaan, tetapi yang aku dapat hanyalah cacian dan hinaan. Satu pilihan jika aku tidak diterima, yaitu pergi. Bukankah aku sudah terbiasa untuk sendiri? Mereka yang menginginkan itu tatkala tidak ada satu pun kata dari keluarga tatkala aku membutuhkan tuaian rindu. Aku rasa, mereka mengesengajakan diriku untuk memudar, hingga momentum itu tiba. Inilah momentum itu. Aku akan pergi dari rumah ini.

“Jika itu yang Ayah inginkan, aku akan pergi. Aku bukan anakmu, kan?” Aku datang kepadanya yang masih bertahan di meja makan.

Harap-harap Ibu akan melarangku, tetapi ia sama sekali tidak peduli. Ia sama saja tidak menganggapku sebagai keluarg lagi.

“Iya, pergilah kau. Kau cuma pengacau, sedari dulu memang begitu. Biarlah Laila yang akan kami urus. Kau tidak pergi ….”

“Ada kata-kata terakhir?” tanyaku. “Setelah ini kita benar-benar tidak akan bertemu. Selama ini kalian memang tidak menginginkanku, kan? Menunggu aku datang untuk mengatakannya, kenapa tidak sedari dulu?”

“Kau ini!” Ayah menghentak meja makan. “Pergi kau sekarang!”

Aku berbalik diri, lalu melangkah menuju pintu. Sungguh aku ingat kalimat itu untuk aku kenang sebagai kenangan pahit keluarga. Tidak akan lagi hubungan antara aku dan mereka, terputus sudah setelah aku menginjakkan kaki ketika keluar. Keputusan ini sudah bulat dan menjadi titik terendah yang sedang aku ambil setelah tragei beberapa bulan yang lalu.

“Kak Arkan!” panggi seorang wanita dari belakang.

Laila berlari ke arahku dengan tangis yang mengekang wajahnya. Suram aku rasakan getaran pada rengkuh peluk yang Lalia tarik dariku. Terasa seperti menindih kesedihan yang sangat berat, sekaligus kurasa hangat. Mataku terbuka, hatiku mencair seketika. Ia adik yang dulu selalu aku banggakan di depan teman-temanku, kini ia benar-benar peduli.

“Kakak jangan pergi ….”

“Aku tidak pergi, hanya berpindah tempat. Kau tetap di sini bersama Ayah dan Ibu. Mereka membutuhkanmu,” balasku.

“Aku tidak mau kakak pergi! Kakak harusnya ada di rumah!” Ia menepuk dadaku berkali-kali.

“Tidak … sudah waktunya juga Kakak keluar dari rumah. Kakak sudah dewasa, lagi pula teman seumuran Kakak sudah tinggal sendirian.” Aku mengelus rambut adikku tersebut. “Nanti, setiap bulan Kakak kirimkan uang untuk jajan.”

DIOGENESWhere stories live. Discover now