TIGA

1.2K 108 8
                                    

Sinar matahari yang menyengat tak lantas membuat Anya malas untuk mendatangi rumah Sagara. Dengan menggunakan kacamata hitam dan sepatu boots andalannya, ia menyusuri jalanan kompleks yang tenang hingga kembali bertemu dengan petugas keamanan rumah pembalap itu.

"Siang, Pak. Saya Anya dari majalah 'HOT!'," sapa Anya ramah, sedikit mengagetkan Pak Asep, petugas keamanan yang sedang terkantuk-kantuk duduk di dalam pos jaganya.

"Maaf Mbak, kemarin kan sudah ketemu Mas Harris. Sekarang ada perlu apa lagi, ya?"

"Mau ketemu sama Sagara langsung, Pak."

Pak Asep menggaruk kepalanya meski tidak terasa gatal sedikit pun. Ia teringat akan bosnya yang galak dengan emosi yang selalu meledak-ledak, tapi ia juga tidak tega mengusir Anya begitu saja.

"Duh, Mbak. Kan kemarin saya sudah bilang, Mas Sagara nggak mengizinkan wartawan mana pun untuk datang ke rumahnya. Jadi sebaiknya Mbak pulang aja, ya? Saya bantu cariin taksi, deh."

Anya menggeleng cepat. "Pak, coba bantuin saya sedikit, Pak. Bapak telepon Mas Sagara terus coba bilang kalo saya bisa bantu Mas Sagara asalkan dia mau saya wawancara dengan majalah saya. Gimana?"

Pak Asep semakin dilema. Ia memperhatikan Anya yang sedang memasang ekspresi harap belas kasihan untuk beberapa saat sebelum menuruti permintaan perempuan itu. Pak Asep kembali ke dalam pos jaganya lalu menghubungi Sagara via telepon.

"Diusir aja, Pak."

"Tapi, Mas—"

"Usir aja, Pak."

Pak Asep menutup teleponnya setelah Sagara memutus percakapan singkat itu. Dilihatnya lagi Anya yang sedang menunggu dengan rasa bersalah karena tidak bisa menolong perempuan itu. "Maaf, Mbak. Beneran nggak bisa."

Anya menghela nafas pelan. Sebenarnya ia sudah yakin seratus persen Sagara akan menolaknya mentah-mentah, tapi bukan Anya namanya kalau ia tidak berusaha terlebih dahulu. Anya pun kemudian memperhatikan sekeliling rumah Sagara dan ia mendapati pohon rambutan tumbuh besar persis di seberang rumah Sagara, yang membuat ide baru muncul begitu saja di kepalanya.

"Oke, Pak. Nggak papa. Kalo gitu saya nunggu di seberang, ya!"

Tanpa memedulikan Pak Asep yang memanggil-manggil namanya, Anya berlari kecil menuju pohon rambutan itu. Dari situ, nampak jelas rumah Sagara yang dibangun dengan konsep minimalis tapi tetap memiliki kesan mewah. Pagar besi hitam kokoh menjulang tinggi dengan kombinasi cat dinding warna putih susu, abu-abu dan coklat kayu menjadi lapisan luar rumah itu. Kaca-kaca besar digunakan sebagai jendela, diyakini Anya bertujuan agar banyak sinar matahari masuk ke dalam rumah.

Mata Anya spontan menyipit saat mendapati sosok Sagara di antara jendela besar yang ia sedang lihat. Anya menebak lelaki itu sedang berdiri di jendela kamar tidurnya, memperhatikan dirinya yang tidak gentar hanya karena diusir oleh seorang petugas keamanan. Anya justru tersenyum lebar, lalu melambai-lambaikan tangannya ke arah Sagara yang langsung menutup rapat tirai jendela kamarnya.

***

"Gara-gara lo, wartawan yang kemarin lo temuin hari ini dateng lagi." Tanpa basa-basi Sagara segera menyalahkan Harris begitu hubungan teleponnya tersambung dengan sang manajer. "Lo di mana? Ke rumah gue, deh. Lo usir nih, wartawan."

"Gue lagi ada urusan, Ga. Nggak bisa ke rumah lo hari ini."

Sagara berdecak kesal. "Terus ini wartawan gimana dong?"

"Temuin aja sebentar. Lo bilang langsung ke dia kalo lo nggak mau diwawancara."

"Gue panggil polisi aja, deh."

FallenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang