Bulan kelima

68 14 0
                                    

🎶The Usual - Sam Fischer🎶

And I said to myself, a couple months ago
That this time we'll be different
But man, I should have known
That I would mess this up
The best I've ever had
And just when I got used to thinking, this time it'll last

I can't believe I'm lettin' go
It's only for the best, you know
This is just the usual, the usual for me
Now baby, don't feel bad at all
I know you take it personal
This is just the usual, the usual for me

Sabia sudah sadar ketika ia mengizinkan Haikal mengantarnya pulang itu sama saja dengan mengisi perjalanan mereka dengan suasana canggung yang tak pernah sekalipun terbayangkan ketika mereka masih bersama dalam satu ikatan hubungan. Rasanya asing ketika hening menyelimuti keduanya. Berbagi udara dalam satu mobil dengan Haikal pun nyatanya justru menghadirkan sesak di dada Sabia.

Dulu, ia pernah begitu menyukai sosok di sampingnya kini. Dulu, ia pernah diam-diam mengaguminya dari jauh. Dulu, ia pernah diberi kesempatan Tuhan untuk sepenuhnya mencintainya. Dulu, juga ia berbagi seluruh dunianya untuk Haikal. Dulu, sebelum segala bentuk ketidakpercayaan menyelimuti hatinya dan menghancurkan semuanya.

Sayangnya ketidakpercayaan itu masih setia Sabia bawa hingga kini. Hingga kedua matanya sudah membuktikan sendiri bahwa tidak seharusnya ketidakpercayaan itu hadir. Ketika Haikal bersikekeh mengantarnya pulang, tidak membiarkan orang lain terutama Atsa menawarkan tumpangan, harusnya Sabia paham dimana posisinya, bahkan ketika nama Citra terdengar tidak lagi penting dalam perdebatan mereka barusan.

Harusnya Sabia bisa berbangga untuk itu semua. Tapi rasa percayanya pada Haikal sudah terlanjur kering seiring rindu yang juga sudah tak lagi menggebu seperti dulu.

Sabia kira dengan keikutsertaannya membantu Atsa membuat seorang Citra cemburu, ia juga bisa ikut merasa puas ketika menemukan kecemburuan senada hadir pada sosok Haikal. Sayangnya harapan Sabia tidak sejalan. Tidak ada kepuasan yang ia dapat bahkan setelah melihat kobar api tidak mau mengalah ketika ia berselisih dengan Atsa.

Harapnya hilang entah sejak kapan. Mungkin sejalan dengan rasa ikhlasnya yang mengalir seiring waktu ia kehilangan sosok Haikal dalam setiap harinya.

Lalu apa rasa cinta itu masih ada? tanya Sabia pada dirinya sendiri ketika sorotnya lurus-lurus menatap Haikal mencoba mencari getaran yang dulu kelewat sering ia rasakan setiap berbagi udara dengannya. Dan jawabnya belum juga hadir di menit-menit setelahnya.

"Kenapa?" tanya Haikal ketika sadar tatap Sabia tak kunjung lepas darinya.

Sabia tertawa pendek untuk selanjutnya melepas tatap itu dan mengalihkannya pada jalanan malam yang sudah mulai sepi.

"Harusnya Bia yang tanya 'kenapa?' ke Kakak. Kenapa harus repot-repot nganterin Sabia pulang, Bia udah bukan lagi tanggung jawab Kak Haikal tau"

Ada helaan nafas panjang keluar dari mulut Haikal. Sabia kelewat paham dengan arti helaan itu di saat seperti ini. Ia yakin kini Haikal tengah kerepotan menyusun kata dalam kepalanya untuk disuarakan menjawab tanya Sabia. Tapi setelah detik berganti dengan detik berikutinya, nyatanya jawab itu tak kunjung singgah di telinga Sabia. Membuat Sabisa sadar bagaimana kacau balaunya isi kepala Haikal saat ini.

"Kamu sama Atsa sejak kapan jadi sedeket itu?" Kini Haikal justru balik bertanya, sengaja mengabaikan tanya Sabia seolah hanya angin lalu.

Harusnya Sabia kini bisa meletupkan euforia bahagia ketika mencium aroma kecemburuan Haikal akan kedekatannya dengan Atsa sedari acara tadi seperti yang ia harapkan. Harusnya, tapi letupan itu bahkan tak lebih besar dari letupan permen karet yang meledak. Tidak sedikitpun memberi efek kejut maupun gemuruh di hati Sabia.

ERSTWHILEWhere stories live. Discover now