Bulan kesepuluh

43 12 0
                                    

🎶Empty space - James Arthur🎶

I'm alone in my head
Looking for love in a stranger's bed
But I don't think I'll find it
'Cause only you could fill this empty space

I wanna tell all my friends
But I don't think they would understand
It's something l've decided
'Cause only you could fill this empty space

Haikal tersenyum tipis kala telinganya terus dihujani cerita menggebu dari gadis dihadapannya. Sesekali ia juga ikut bersuara ketika tanya ditodongkan padanya. Tapi sejauh waktu bergulir sedari tadi mata Haikal tidak bisa terlepas dari jam di pergelangan tangannya. Mata Hailal terus mencari waktu yang tepat untuknya segera mengajak gadis yang baru ditemuinya dalam dua kali kesempatan ini untuk bergegas pulang, mematahkan semangatnya untuk menghabiskan waktu lebih lama dengan Haikal.

Disepenjang perjalanan pulangpun gadis yang jauh lebih muda darinya ini tak henti mencari topik pembahasan, masih seperti tadi, sesekali Haikal menanggapinya, namun lebih sering hanya bergumam lirih. Haikal tau perangainya cukup membuat gadis ini sadar bahwa minat tak lagi ada pada dirinya. Bagaimana mungkin ada kalau kondisinya Haikal terus memikirkan orang lain.

Setelah mengantarkan gadis yang malam itu menjadi tanggung jawabnya sampai ke rumah, Haikal bergegas untuk segera beranjak, menolak dengan lembut ajakan untuk mampir dan berbicara dengan kedua orang tua gadis itu dengan wajah menyesal.

Sekali lagi Haikal melirik jam di pergelangan tangannya ketika melewati jalanan yang tidak asing baginya. Harapnya memberi sedikit keegoisan bahwa jarum jam yang menunjuk pukul sepuluh malam masih menjadi waktu yang wajar untuk sekedar bertamu. Membawa roda empatnya terparkir di hadapan rumah dengan dua lantai yang kelewat sering ia kunjungi sedari kuliah.

Kening Haikal berkerut. Nyalinya terkikis secara perlahan ketika didapati tak ada temaram di jendela kamar orang yang ia tuju. Harapan Haikal untuk menjumpai seseorang mendadak sirna saat bayangan orang itu sudah jatuh terlelap masuk ke relungnya.

Baru saja Haikal hendak melangkahkan kaki masuk kembali ke roda empatnya ketika sebuah mobil asing ikut berhenti tak jauh dari tempatnya. Beberapa detik berikutnya turunlah orang yang sedari tadi bayangan wajahnya memenuhi kepala Haikal.

Sabia turun dan berjalan ke arah Haikal setelah berpamitan dengan seorang pria tinggi tegap entah siapa yang melemparkam senyum dipaksakan ketika sorotnya bertemu dengan Haikal.

"Dia bukan cowok yang dua bulan lalu nemenin kamu ke nikahan Jonas?" tanya Haikal begitu Sabia menyejajarkan diri di hadapannya.

"Well, emang bukan, kalau yang kakak maksud Sean, Bia udah putus dari dia sebulan lalu. Kalau yang tadi namanya Juan, anak baru di kantor Bia" balas Bia dengan rinci demi memenuhi keingintahuan Haikal.

Sabia tau meski tidak bertanya panjang lebar, seorang Haikal tetap akan menaruh curiga pada hal-hal kecil seperti ini, membuat Sabia dengan sadar memilih untuk menjelaskannya dengan terperinci entah untuk memenuhi keingintahuan Haikal atau keinginannya sendiri dalam menunjukan gambaran kehidupannya sekarang di depan mantan kekasihnya ini.

"Jadi, hari ini dijodohin sama siapa lagi?" tanya Sabia sambil beranjak membuka pagar rumah kosnya. Sebuah tanya yang akhir-akhir ini kelewat sering disuarakannya untuk menebak maksud hadir Haikal di huniannya.

"Anak temen SMA mama. Temen sekantor Dany juga"

"Terus gimana? Mau lanjut?" tanya Sabia yang dibalas gelengan kepala Haikal.

"Jangan terlalu keras, Kak. Hatinya dicairin sedikit-sedikit. Kasian tante lama-lama capek ngejodohin kakak mulu" balas Sabia bercanda sambil melangkah masuk tentu di ekori Haikal di belakangnya. Sebelum itu telapak tangan Sabia sempat mengusap pelan lengan Haikal, menghadirkan hangat dan tenang memenuhi hatinya.

"Aku maunya cuma kamu yang nyairin hatiku, Bi" ucap Haikal dalam hati, menolak disuarakan karena sadar seorang Sabia pasti sudah kelewat muak mendengarkan kata yang sama keluar dari mulutnya. Apalagi kalau kalimat itu selalu Haikal suarakan setiap langkah menuntunnya kembali berdiri dihadapan Sabia setiap ia mencoba melangkah pergi demi untuk mencari arah tujuan lain dari perjalanannya.

"Aku bawa layers cake oreo kesukaan kamu, tadi kebetulan lewat kafe langganan kita" ucap Haikal menyadarkan Sabia akan sebuah kotak putih familiar dalam genggamannya.

Tadinya ketika Haikal memutuskan memutar arah jauh-jauh hanya demi membelikan Sabia sepotong kue, harap Haikal bergemuruh akan menemukan senyum lebar di wajah Sabia ketika manis kue itu bertamu di lidahnya.

Tadinya ketika kata memohon terus Haikal ucapkan kepada pemilik toko untuk memberikan potongan terakhir kue hari itu padanya melawan beberapa pasang pelanggan yang ikut memperebutkan, harap Haikal menjadi satu-satunya kekuatan hanya untuk menemukan mata Sabia berbinar penuh syukur ke arahnya.

Sayangnya malam itu yang ditemukam Haikal adalah sorot penuh rasa bersalah yang jauh dari harapannya.

"Sorry, Kak. Bia udah makan malem, masih kenyang"

"Simpen kulkas aja, bisa di makan besok pagi" balas Haikal mencoba berlapang dada.

"Oke, makasih ya" balas Sabia pendek sambil mempersilahkan Haikal masuk ke kamarnya, ruang yang kini mulai terasa asing bagi Haikal.

Dulu, Haikal biasa menghabiskan waktu berjam-jam disana, melewati banyak kenangan disana, ada sentuh Sabia di setiap sudut ruang dan itu selalu bisa membuat Haikal merasa nyaman.

Dulu, ketika Haikal lelah yang ia butuhkan hanya bertemu Sabia dan membiarkan eksistensi gadis itu mengisi ulang tenaganya.

Dulu, ketika dunia menunjukan sisi dirinya yang begitu jahat, tempat Sabia menjadi satu-satunya tujuannya untuk bersembunyi.

Dulu, ditempat itu Haikal menemukan nyamannya untuk menjadi dirinya sendiri, menjadi sosok yang hanya mampu diterima seorang Sabia.

Kini ruang itu sudah jauh berbeda, bukan hanya warna dinding, bentuk almari, kursi dan meja belajarnya yang sudah berubah, tapi juga bentuk kehadiran Haikal yang tidak lagi disana.

Di bulan pertama ketika perpisaan menjadi bom yang mengancurkan hubungannya dengan Sabia, Haikal masih bisa menemukan aroma tubuhnya masih tertinggal disana. Begitupun di bulan ketiga ketika potret wajahnya dan Sabia masih tergantung di sisi tempat tidur Sabia. Tapi semuanya mulai menghilang menginjak bulan ke enam, ketika Sabia memilih untuk lebih berani melangkah, meninggalkan Haikal yang masih kebingungan menatap punggung Sabia yang menjauh dengan sosok lain di sampingnya.

Hingga kini di bulan ke sepuluh dan kamar Sabia menjadi tempat yang begitu asing baginya. Tak ada rengkuh hangat dan suasana nyaman mampu dirasakan. Haikal merasa asing, Haikal merasa sendirian disaat Sabia sudah menemukan dunianya yang baru, Haikal tertinggal jauh, membiarkan dirinya tenggelam dalam rawa penyesalan dan masa lalu.

Haikal seolah berada di tempat yang tak sedikitpun menginginkan kehadirannya. Haikal merasa dia hanya sebagian kecil dari kisah yang mungkin sebentar lagi sepenuhnya Sabia lupakan. Ketika itu Haikal sadari yang bisa ia rasakan hanyalah takut, sedih dan rapuh. Tubuhnya menolak menerima pesan yang dikirimkan oleh hati dan pikirannya hingga tanpa sadar bergerak tanpa perintah Haikal.

Tubuhnya berhambur pada tubuh Sabia yang tengah membelakanginya. Haikal merengkuhnya erat-erat sebagai wujud takut kehilangan. Harap Haikal bersuara, ia ingin Sabia membalas rengkuhannya, ia ingin Sabia merasakan ketakutannya, ia ingin mengulang dan memperbaiki segala kerusakan yang diciptakan kebodohannya, ia ingin Sabia memberi kesempatan.

"Kak, kita nggak boleh kayak gini terus" ucap  Sabia jauh dari harapan Haikal.

Rengkuh Haikal melonggar membiarkan tubuh Sabia menjauh dari jangkauannya. Haikal tau bagaimana kini sorot mata Sabia tengah memandangnya prihatin, mungkin juga sedikit berbalut takut dan marah. Ingin Haikal lari saja, menjauh agar Sabia tak memandangnya dengan rasa kasian maupun kecewa, tapi kemana? Haikal tak sedikitpun punya tujuan setelah ia melepaskan Sabia. Haikal kehilangan arahnya. Haikal tersesat dalam kebutaannya. Haikal tak mampu melakukan apapun selain mengharap kehadiran Sabia yang mau kembali padanya.

ERSTWHILEजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें