30 - And Now I Know

121 17 1
                                    

Happy reading^^

•••


|Aeera|


Gue justru menggelengkan kepala. "Nggak apa-apa, itu keputusan paling tepat." Tersenyum lebar.

"Jangan merasa bersalah, jangan pernah menyesali hal ini. Ae justru senang Mama Ilona bisa sembuh. Jika dengan Ae menjauh dari kehidupan Mama Ilona bakal buat mama merasa lebih baik, maka akan Ae lakukan." Di bibir boleh saja gue menyengir, tapi dalam hati gue menjerit sakit. Tentu saja sakit, gue tanpa sengaja menjadi alasan mama depresi. Siapa yang tidak akan sakit hati?

"Kamu memang anak yang baik." Opa mengelus pipi gue, tersenyum sendu.

Sampai sekarang, mereka masih meminta maaf atas keputusan yang mereka buat tujuh belas tahun lalu. Saat itu gue baru lahir, tapi tidak bisa berada di pelukan mama, terpaksa harus dijauhkan. Ingatan tentang gue pun dihapus dari kepala mama. Eyang Sabrina, Opa Aldian, Oma Natasya, dan Opa Willian amat menyesali hal itu. Mereka sedih akan nasib gue yang harus tinggal bersama ayah Adrian dan mama Mella, bukan sebagai keponakan tapi sebagai anak. Meski gue tidak dianggap anak di sana.

Jika dipikir secara kilat, memang keputusan itu sangat egois, mereka mengabaikan perasaan gue, walaupun saat itu gue cuma bayi merah yang baru lahir. Tetap saja mereka seharusnya memikirkan perasaan gue. Tapi gue berpikir ulang, melihat dari sudut pandang yang lain dan akhirnya gue paham, keputusan itu sudah sangat tepat. Mama Ilona memang harus dijauhkan dari gue, semua itu memang harus terjadi. Dan gue sudah merelakan semuanya, memeluk erat semua masa lalu itu tanpa menuntut balas atas tujuh belas tahun hidup ini.

"Ae udah ikhlas, semua itu masa lalu yang tertinggal di belakang. Ae nggak masalah kalau harus terus seperti ini, tinggal di keluarga ayah Adrian. Setidaknya Ae bisa lega kalau mama Ilona baik-baik saja. Ah, sekarang Ae juga punya adik, kan?"

"Kamu tahu?" tanya oma.

"Tau, namanya Jerry, dia belajar karate di dojo yang sama kayak Ae. Dia anak yang ceria dan aktif." Sepertinya gue harus sedikit menjauh dari anak itu, paling tidak meminimalisir pertemuan dengan Jerry. Gue nggak mau anak itu semakin menganggap gue kakaknya, lalu bicara pada Mama Ilona dan membuat mama kepikiran. Gimanapun muka gue lumayan mirip sama mama meski sudah pakai lensa mata, Jerry saja menyadarinya. Gue takut mama juga menyadari dan kembali mengingat kejadian tujuh belas tahun lalu, gue nggak mau mama kembali murung dan depresi.

Obrolan kami masih berlanjut sampai makan siang tiba. Meja makan ramai oleh candaan dan kerecehan gue. Baru kali ini gue dikelilingi kakek dan nenek, untungnya mereka bisa diajak becanda. Mereka bukan tipe kakek dan nenek kaku, sih. Oma sesekali bertanya tentang kehidupan gue di keluarga ayah Adrian. Gue menjawab semua baik-baik saja. Eyang dan opa yang tahu gue berbohong hanya tersenyum maklum. Lalu opa William juga bertanya tentang keseharian gue, mulailah gue ceritakan soal tiga sahabat gue, soal Cakra, soal gue dan Sak yang menjadi buronan Bu Taya, juga soal kegemaran gue tentang karate.

"Jadi, kamu mau ikut pertandingan karate? Se-Jawa?" Gue mengangguk, menjawab pertanyaan opa William. Oma dan opa terlihat sangat takjub, mereka memuji-muji gue, membuat kepala gue jadi besar seketika. Kalau eyang dan opa sih sudah tidak aneh lagi jika gue ikut pertandingan karate, mereka selalu tahu.

"Kapan pertandingannya?" Pertanyaan oma sukses bikin gue terdiam seperti patung. Astaga, sepertinya gue melupakan sesuatu. Hari terus berganti, pertandingan semakin dekat tapi gue nggak berlatih dengan benar. Masalah akhir-akhir ini membuat gue hilang fokus.

"Nggak lama lagi, Oma, nanti kalian ikut nonton, yah. Biar Ae semangat."

"Pasti dong." Mereka menjawab kompak.

You Are Brave [END]Where stories live. Discover now