Chapter 26 : P L A N

17 4 0
                                    

P L A N


Dengan kebingungan aku reflek hanya berkata 'hah?'

"Ya, aku akan membantumu," ucapnya lagi.

"Pertama, kita atur cara bicaramu dahulu, kau harus tegas dan ungkapkan semuanya dengan jelas, aku yakin kau memendam semuanya selama ini," ucap Joy tepat sasaran.

"Tapi itu susah, Joy," sahutku ragu.

"Tidak ada tapi tapi, untuk prakteknya nanti saja, yang penting materinya dahulu, ok?" tanyanya.

Aku menghela nafas, akhirnya akupun mengangguk pasrah.

"Baik, kalau begitu dengarkan baik-baik ya......" Joy mulai menjelaskan.

Aku mengangguk-angguk paham sambil mendengarkan. Lumayan lama Joy berbicara hingga tanpa sadar kami membahasnya hingga 1 jam lebih, dan setelah itu Joy menyelesaikan penjelasannya.

Aku tersenyum," Hiss! " Kini aku merasakan sakit di wajah kananku, aku menyentuhnya yang terbalut kain kasa steril.

"Sakit ya? Sini aku obati lagi, kata dokter kamu harus menggunakan salep 3x sehari, akan kuambil dahulu. " Joy lalu berdiri dan merogoh tasnya yang ada di sudut sofa lain.

Dia mengambil sebuah paper bag kecil dan membawanya kemari.

"Kamu diam saja ya," ucap Joy. Aku mengangguk nurut.

Perlahan dia membuka kasa steril, membersikan sedikit debu-debu yang menempel di sekitar wajahku lalu mengoleskan salep dengan telaten dan lembut, aku bahkan tidak merasa sakit yang begitu ketara, lalu Joy membalut wajahku lagi dengan kasa baru agar debu tidak mengenai wajahku. " Nah, selesai." Joy pun membereskan peralatannya.

"Ngomong-ngomong aku dirumah sakit berapa jam Joy?" tanyaku.

"Sekitar 5 Jam," jawabnya.

Aku pun mengangguk-angguk paham.

"Ngomong-ngomong, terimakasih Joy," ucapku lalu berniat ingin tersenyum tapi pipiku terasa nyeri yang malah membuatku meringis kembali.

Joy terkekeh, "Sama-sama, udah gak usah senyum-senyum, jelek," ucapnya.

Aku justru malah tersenyum, walau hanya senyum tipis. Karena akan sakit kalau aku tersenyum lebar-lebar.

"Aku tak habis pikir dengan mereka yang memakan bulat-bulat sebuah gosip tanpa mencari tahu kebenarannya, ditambah kau tidak pernah berbuat masalah pada mereka, bahkan aku yakin beberapa hanya tau kamu dari gosip dan tidak benar-benar mengenalmu sama sekali, " sindir Joy habis-habisan.

" Padahal mereka diajarkan tatakrama dan sopan santun dari orang tua mereka. Namun semua hal itu tak digunakan mereka dalam kehidupan. Dasar bodoh, " lanjut Joy.

" Yah, akupun tidak mengerti kenapa mereka terlihat begitu membenciku," ucapku lirih.

"Tapi sepertinya ada yang janggal disini," ucap Joy menggantung.

Aku menatapnya tanda tanya, "Apanya?" tanyaku.

"Orang Jerman bukanlah orang yang suka mencampuri urusan orang lain, aku yakin itu. Sepertinya ada yang memprovokasi mereka," Jelas Joy.

Ini mulai masuk akal, " Tapi, siapa dalang dibalik semua ini hingga mereka begitu percaya akan ucapannya?" tanyaku semakin penasaran.

" Apa... Apa pelakunya Diva?! " tebakku tapi langsung dijawab oleh gelengan Joy.

" Tidak mungkin, semua orang tau dia itu suka menindas orang, otomatis kata-katanya tak akan dipercaya oleh mereka sekalipun Diva berteriak, " jelas Joy.

" Ditambah, sudah pasti orang yang memprovokasi begitu pintar bicara dan berakting. Sedangkan Diva ataupun anak buahnya tidak pandai. Kalaupun Diva menyuruh seseorang tetap tak mungkin. Karena Diva hanya berani memerintah orang yang menurutnya lebih rendah darinya dan cupu, dia tidak akan berani menyuruh seorang profesional untuk hal sebesar ini, " Lanjut Joy dengan yakin.

Aku menatap Joy penasaran," Kok kamu bisa tahu semua tentang Diva? " tanyaku.

Joy menatapku sejenak," Dia sepupuku, " ucapnya membuatku terbelalak kaget.

Aku menutup mulutku dengan kedua tangan, aku tak percaya akan fakta ini.

Karena Joy dan Diva sangatlah bertolak belakang. Contohnya, Joy itu tomboy sedangkan Diva sangatlah feminim, Joy itu lebih suka menyendiri sedangkan Diva suka mencari keributan, maksudku, lebih suka berinteraksi dengan orang banyak.

"Ini kenapa aku malas mengakuimya sebagai sepupuku," ucap Joy setelah melihat reaksiku.

"Ahaha, tidak apa kok. Aku hanya sedikit terkejut bahwa Diva adalah sepupumu. Karena yang kutahu sifat kalian bertolak belakang," ucapku menengahkan.

Joy lalu hanya berdehem dan mengangguk paham, "Dulu dia sebenarnya tidak suka membuli seperti sekarang, dulu itu dia imut, lucu dan polos," cerita Joy. Aku sedikit ragu akan ucapan Joy.

"Tapi saat dia mulai mengenal Jayden, semuanya berubah. Segala macam usaha dia lakukan agar Jayden meliriknya. Walau saat itu usahanya masih terbilang normal. Awal mula semua ini terjadi adalah karena satu temannya yang mempengaruhi Diva begitu besar. Diva tidak sadar dia dimanfaatkan karena dibutakan oleh cinta. Dia sudah terjerumus lumayan dalam, " ucap Joy yang terlihat sedih.

" Apa kau sudah memberitahu Diva? " tanyaku.

Dia tersenyum," Sudah, lebih tepatnya sering bahkan sampai sekarang aku selalu mengingatkannya, tapi Diva keras kepala, dan satu teman sialannya itu selalu mengadu domba aku dengan Diva hingga hubungan kami renggang, " jelas Joy dengan emosi.

Kini aku mulai percaya dan paham semuanya, kesimpulannya Diva sebenarnya baik, tapi temannya lah yang tidak baik, ah!

" Joy! Jangan-jangan dalang di balik semua ini... "

" Dia! " ucapku dan Joy bersamaan.

Kami yakin," Si sialan itu! Sudah kuduga dia berulah begitu sadis!" Joy berucap menggebu-gebu.

"Oh iya, ngomong-ngomong siapa namanya?" tanyaku.

"Shofia."

Kini semua sudah mulai terlihat jelas, "Dan aku juga yakin yang membawa Rose dan Diva ke rumahmu adalah dia. Dengan sengaja dia menghancurkanmu di depan orang tuamu tanpa dia ikut beraksi, licik" Joy mengepalkan tangannya sambil menggeram.

Aku mengangguk setuju, sambil mengelus punggung Joy agar tetap tenang.

Tiba-tiba sebuah beo berbunyi menandakan seseorang datang, kami saling bertatapan, "Biar aku cek," ucap Joy.

Joy berjalan dan mengintip dari dalam siapa, Joy terlihat tersentak dan berlari kearahku.

"Gawat Joy! Mereka orang tuamu!" Joy berkata dengan panik.

"Bagaimana kau tau?" tanyaku.

Dia lalu menepuk jidatnya, "Kau lupa? Kau itu anak konglomerat, ditambah Ayah ibumu begitu terkenal di kalangan bisnis, otomatis semua tau wajah mereka. Sudah! Tak ada waktu lagi! Cepat sembunyi!" Setelah menjelaskan Joy mendorongku dengan cepat untuk berdiri.

Hal itu membuatku panik juga," Aduh gimana! Aku harus bersembunyi dimana?! " ucapku kebingungan semetara bel semakin berbunyi terus menerus.

Aku semakin kalang kabut saat melihat tak ada yang bisa dijadikan tempat yang pas untuk bersembunyi. "Di kamarku!" Usul Joy, aku pun langsung berlari masuk ke dalam kamar Joy.

Terdengar dari luar Joy membuka pintu, dan aku juga mendengar mereka membuat keributan dan seseorang terdengar masuk dengan paksa ke dalam apartemen Joy.

Mataku langsung membola, dengan cepat aku menatap semua yang bisa jadi tempat persembunyianku, saat ingin bersembunyi kini gagang pintu terlihat turun kebawah dan akan terbuka.

Aku spontan mundur perlahan dengan wajah yang sudah memucat.

To be Continue....

Inside Me [End] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang