Chapter 11. Apakah Harus Menghilang?

6.8K 1.3K 1.2K
                                    

Selamat membaca!

----

Tindak buntut dari mengikuti tawuran tidak hanya merasakan beberapa jam di lapas dan perang dingin dengan Mama, tetapi juga Nathan mendapat skors tiga hari dari sekolah. Ingin keluar pun tidak bisa karena Mama mengakali dengan tidak memberinya uang jajan. Hal yang bisa Nathan lakukan hanyalah mendekam di rumah sambil menonton misteri dua dunia di televisi tentang Nyi Blorong yang berselingkuh dengan manusia dan ikan koi yang menjadi istri dari pedagar kaya. "Dih, nih acara apaan sih, norak semua!" gerutunya jengkel.

Ponsel Nathan pun untuk sementara waktu disita oleh Papa. Jadi Nathan tidak bisa menghubungi teman-temannya sekadar menelepon atau haha-hihi belaka. Di tengah perasaannya yang luar bisa bosan, pintu rumahnya terbuka dan muncul seseorang di baliknya. Seli dengan senyum riang dan membawa banyak sekali jajanan sampai Nathan ternganga. "Haaaii!" sapanya dengan tawa lebar, "karena gue tahu lo bakal bosen, gue bakal nemenin lo selama di-skors," katanya seolah kedatangannya adalah sesuatu yang ditunggu.

Nathan melirik ke belakang punggung Seli dan menemukan Daniel sedang mengedikkan bahu seolah memberi isyarat kalau dia tidak tahu apa-apa. Bi Ijah datang menghampiri, menatap Seli dengan tatapan asing. "Halo Bi, kenalin aku Seli, pacarnya Nathan," katanya tanpa diduga dan membuat Nathan makin ternganga.

"Dih sejak kapan lo jadi pacar gue? Ngaco lo!" Nathan tidak terima. "Kalau ngimpi tuh jangan ketinggian, Sel, sakit nanti."

"Kok gitu sih? Jahat banget sama pacar sendiri." Seli semakin menjadi-jadi.

"Yah Bi Ijah patah hati dong, gimana nih, Bi?" Daniel setia memanas-manasi.

"Ya nggak apa-apa, Bibi doain langgeng, yowis Non Seli mau minum apa? Teh? Sirup?"

"Oh nggak usah repot-repot, Bi. Aku mandiri kok, bawa makanan dan minuman sendiri." Tangan Seli mengangkat bungkusan makanan di tangannya.

"Bibi ke dapur, ya, belum selesai masaknya."

"Oke siap!"

Bi Ijah kembali ke dapur meninggalkan ketiga orang itu di depan ruang televisi. "Lo ngapain ke sini?"

"Kan lo di-skors, gue tahu lo tuh bete di rumah, jadi gue temenin. Lagian nih ya ngapain sih tawuran kayak gitu? Apa gunanya coba? Lo tuh semenjak berteman sama Deni jadi berubah."

"Nggak usah bawa-bawa Deni, deh."

"Kan emang iya? Lo jadi nggak pernah gabung lagi sama gue dan Daniel."

"Harusnya intropeksi kenapa gue nggak pernah gabung sama kalian berdua." Nathan menjawab dengan tatapan mendelik tajam ke Daniel.

"Ya makanya kasih tahu, emangnya gue tuh Mama Lauren yang bisa ngeramal isi kepala lo?"

"Emang kenapa kalau gue berteman sama Deni? Hidup gue emangnya cuma berkutat sama kalian doang? Kan, nggak. Ada banyak hal seru yang gue jalanin kalau berteman sama Deni."

"Iya, termasuk jadi babak belur."

"Hidup lempeng-lempeng doang itu nggak asyik."

"Hidup banyak masalah tuh nggak tenang, Nath."

"Kata siapa?"

"Kata gue barusan."

"Sok tahu banget lo." Nathan mendengus. "Lagian kalau bumi ini isinya cuma orang yang lurus-lurus semua, Batman nggak bakal ada kerjaan."

Mereka berdua terus adu argumen sampai akhirnya Daniel menengahi dengan mengambil kaset yang dipinjam Seli di tempat peminjaman kaset. "Tadi tuh ada yang bilang katanya ke sini mau nonton, tapi kok sekarang malah adu ribut, ya?" Daniel berusaha memancing Seli supaya terdiam dan anteng.

GOODBYE DANIELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang