Multimedia: Rafael Mahardika Pratama.
*-----*
Hujan turun ke bumi tidak lama dari saat terakhir kali Dika dan Zahra mengusap batu nisan milik Ibunda si tomboy yang kini sedang mengusap pipi tembam milik Zahra yang sempat di aliri oleh air mata "Udah, jangan nangis. Kata Ibu, kamu jelek kalau ingusan" canda Dika sambil tetap mengusapi tiap air mata yang jatuh dari kelopak mata milik si cantik yang akhirnya terkekeh dengan candaan kekasihnya.
"Kamu benar-benar wanita yang kuat, Mauria" ujar Zahra sambil lalu merengkuh tubuh tinggi milik si tomboy kedalam pelukan hangatnya. "Sekarang aku tahu kenapa kamu bersikap angkuh pada setiap orang. Karena kamu memang berhak untuk bertingkah seangkuh mungkin mengingat jika kamu berjuang sendiri selama ini tanpa seorang Ibu meskipun memang kamu memiliki sosok pengganti yang akan tetap memperdulikan kamu seperti sebagaimana seorang Ibu pada umumnya" ricau si cantik yang bahkan kesana-kemari.
"Keluargaku sempurna, Khumaira. Ayah dengan kekayaan yang cukup, ditambah dengan ketampanan yang luar biasa, belum lagi dengan kepedulian dan tanggung jawab beliau kepada siapapun yang sudah masuk kedalam keluarganya. Di sisi lain, ada Mama yang memiliki karir meroket dan kesibukan yang sangat padat. Meskipun begitu, Mama selalu saja menyempatkan diri untuk bertanya ini itu baik itu padaku ataupun pada Abang. Dan satu lagi, lelaki yang sudah membuatku merasa bagaikan aku memang berhak untuk menyandang nama Mahardika meskipun aku seharusnya tak bisa adalah Abang semata" gadis tomboy itu menerawang jauh kedalam ingatannya sambil menatap pada rintik hujan yang berjatuhan dari payung.
"Sejak saat aku tahu kalau aku bukan anak kandung dari Mama, aku mulai menjauh dari beliau. Usiaku masih sangat belia untuk memahami apa yang terjadi di antara indahnya kelurga yang kupunya, tapi aku benar-benar memahami apa yang terjadi pada masa lalu meskipun aku belum lahir ke dunia, sehingga membuat aku merasa kalau aku merupakan anak haram belaka. Satu-satunya orang yang bisa membuat aku 'setidaknya' berhenti memikirkan kalau aku merupakan anak haram adalah Rafael, lelaki berwajah konyol itu selalu saja bisa membuatku merasa kalau aku adik yang memang sangat ia inginkan sehingga membuat aku merasa hidup meskipun hanya sedikit" gadis tomboy itu kini menutup mata seolah menghitung dari satu sampai sepuluh sebelum akhirnya mengalihkan pandangan pada Zahra semata.
"Meskipun kita memang sering sekali bertengkar karena hal bodoh, tapi ia merupakan Kakak terbaik yang bisa kudapat. Maka meskipun berat, aku tetap bertahan setelah mencoba beberapa kali kabur dari rumah atau hengkang dari atas muka bumi dengan cara yang lebih mudah. Setelah sekian lama aku bertopang pada Rafa, aku mencoba menopang tubuhku sendiri dan melarikan diri dengan alasan ingin pergi mondok di pesantren meskipun memang itu merupakan salah satu keinginan Ibu yang sempat aku dengar dari Ayah beberapa saat lalu"
"Ternyata, pilihan Ibu memang tidak pernah salah. Ternyata beliau mengirimku ke pesantren agar aku bisa melihat sisi lain dari Ibuku yang ditampakkan Tuhan pada wujud kamu, Khumaira. Aku memang tidak pernah bertemu dengan Ibu, tapi aku merasakan rasa cintanya setiap kali kamu menatap padaku. Aku memang tidak ingat jika aku pernah dipeluk oleh Ibu, tapi pelukan hangatmu sudah cukup untuk menggantikan rasa hangat yang sempat diberikan oleh Ibu saat aku dipeluk untuk pertama dan terakhir kalinya oleh beliau. Maka, aku berterimakasih kepada Ibu dan kepada kamu karena kalian bekerja sama entah dengan bagaimana caranya hingga bisa membuat aku kembali merasa berharga dan merasa layak untuk hidup lantas berjuang sampai kemudian menutup mata untuk terakhir kalinya"
*BIG SIN 2 by Riska Pramita Tobing*
Hujan masih saja turun ke atas muka bumi saat Dika dan Zahra sudah sampai di kediaman si tomboy. Sisa libur tinggal beberapa hari lagi dan mereka tidak berniat untuk kembali bepergian setelah memutuskan untuk pergi memuncak beberapa saat yang lalu. Disebabkan Zahra sakit dan kesehatannya belum bisa benar-benar pulih bahkan hingga saat ini, Dika bersikeras untuk tidak membawa gadis cantiknya ke pantai sesuai dengan keinginan si chubby beberapa saat lalu.
Kini, keduanya tengah menonton televisi sambil menikmati secangkir kopi yang masih mengeluarkan asap dari air panasnya. Tidak ada pembicaraan di antara keduanya tapi baik Dika maupun Zahra merasa baik-baik saja meskipun suasana terasa sangat canggung sejak mereka kembali dari peristirahatan terakhir Ibunda Dika.
Dika tidak memeluk Zahra seperti biasanya. Gadis tomboy yang tengah mengenakan kaos oblong kebesaran itu lebih memilih untuk memeluk lututnya sendiri yang tidak tertutupi oleh celananya yang pendek. Lain Dika lain juga dengan Zahra yang lebih memilih untuk memeluk bantalan sofa yang tengah keduanya duduki.
Sedari tadi, tidak ada yang berubah. Keduanya hanya fokus menatap layar televisi yang sedang menampilkan film The maze runner yang sudah mencapai pada titik seru sampai akhirnya secara tiba-tiba listrik padam dan membuat Zahra berteriak kaget lantas mendekat pada Dika yang justru terkekeh karenanya "Kenapa?" ujar Dika sambil lalu mengambil Zahra kedalam pelukan karena tubuh milik Zahra nyatanya bergetar ketakutan.
"Takut" bisik Zahra sambil merengkuh Dika sedekat mungkin bahkan sampai membuat si tomboy hampir kehilangan napas karenanya "Shhh.. jangan takut. Aku di sini" bisik Dika mencoba membuat Zahra lebih tenang karena gadis itu tetap saja menggigil karena takut. Saat Dika meraba bagian pipi milik Zahra, nyatanya gadis cantik itu menangis dalam diam dan hal itu tentu saja membuat Dika jadi khawatir kepadanya "Shh, hey. Jangan nangis. Nggak papa kok. Sebentar lagi Mbok datang bawa senter"
Sambil mencoba menenangkan Zahra dalam pelukan dan usapannya, Dika terus-terusan memanggil Mbok untuk segera datang ke ruang keluarga untuk membawakan sedikit cahaya terutama untuk Zahra yang tampak makin meringkuk di dalam pelukan Dika "Ayah..." bisik Zahra dalam suara serak dalam dan ditambah dengan isakan lembut di akhir ucapannya.
"Shhh, Mbok sampai tuh bawa senter" ujar Dika sambil lalu menunjuk secercah cahaya dari kejauhan. Saat cahaya kecil itu semakin mendekat, Dika akhirnya bisa melihat bahwa yang menyerahkan satu buah senter berukuran besar itu bukanlah Mbok melainkan Ayahnya yang sedang tersenyum kepada dua gadis yang saling berpelukan dalam gelap.
"Terimakasih" ujar Dika sebelum akhirnya menyalakan senter dan membuat Zahra setidaknya lebih tenang daripada sebelumnya. Pipi tembam milik si cantik tampak mengkilap karena air mata masih saja berjatuhan di sana dan Dika segera mengusapnya dengan perlahan "Nggakpapa kan?" seru Dika sambil lalu menyerahkan senter kepada Zahra agar gadis cantik itu menggenggam cahaya darinya untuk dia seorang.
Setelah menyeka sisa air matanya, Zahra mengangguk sambil memeluk senter berukuran cukup besar itu diantara kedua tangannya "Nggak papa" ujar Zahra masih sesenggukan. "Aku takut gelap karena aku bisa lihat Ayah dalam keadaan seperti itu"
*-----*
Riska Pramita Tobing.
KAMU SEDANG MEMBACA
BIG SIN 2 (COMPLETED)
Teen Fiction"Hukum kami nanti. Biarkan kami saling memiliki untuk saat ini" Riska Pramita Tobing 2020