Multimedia: Mauria Mahardika Sadewa
*-----*
Dika terpejam dalam diam. Gadis tomboy itu tengah berada dalam keadaan yang tidak baik-baik saja dan Zahra tidak ada disampingnya. Beberapa menit yang lalu, Dika dipanggil oleh ketua silat untuk menghadap dan gadis itu memenuhinya dengan segera.
Dika sempat mengira bahwa semuanya baik-baik saja dan ia hanya mendapat panggilan pada umumnya sampai akhirnya ia melihat sosok lelaki berparas tegas itu menampilkan tatapan tidak suka terhadapnya.
Pembicaraan dimulai dengan nada tidak bersahabat dari ketuanya dan Dika tahu bahwa dirinya sedang dalam bahaya besar sampai akhirnya lelaki itu memberikan ultimatum kepada Dika bahwa dirinya sudah tidak bisa lagi mengajar di Perisai Diri karena terpergok mengencani salah satu dari muridnya sendiri.
Lebih parahnya lagi, Dika mengencani seorang perempuan dan itu adalah larangan tertulis pada setiap pelatih dimanapun dan kapanpun. Gadis tomboy itu secara resmi dikeluarkan dari pelatih silat dan ia tidak bisa melawan kehendak para tertua.
Dengan napas berat, Dika menarik rambutnya perlahan sambil menangis sesegukan "Sialaaan!!!" geram si gadis tomboy di antara gigi-giginya yang terkatup rapat.
Kesepuluh jemarinya yang panjang menarik paksa setiap helai rambut yang menempel di kepalanya bahkan sampai membuat beberapa dari surai hitam itu copot karenanya.
Napas milik Dika tercekat secara tiba-tiba di antara geraman kesal terhadap dirinya. Gadis tomboy itu kelimpungan dan butuh bantuan. Disaat seperti ini, Zahra justru tidak ada di sisinya dan Dika mulai meruntuk akan hal itu.
"Sialan!"
Suara derap langkah yang cepat terdengar di kedua gendang telinga milik Dika. Gadis tomboy itu menghiraukannya. Ia tidak peduli terhadap siapapun yang datang menghampirinya. Ia hanya ingin menghujat dirinya sendiri sekarang. Ia ingin menghancurkan dirinya sendiri kalau saja ia bisa.
Terdapat amarah yang sangat menggelora di dalam dadanya dan Dika hanya bisa mengeluarkannya terhadap tangisan penyesalan. Ia marah terhadap dirinya yang sudah berani bertingkah bodoh dan ceroboh. Ia marah terhadap dirinya dan terhadap Zahra yang sama-sama perempuan. Ia marah kepada Tuhan karena jalan hidupnya tidak pernah begitu mudah seperti yang lainnya. Ia marah terhadap semuanya.
"Mauria..." terdengar bisikan bernada khawatir dan takut dari seseorang yang sudah ia hapal suaranya. Gadis itu semakin mendekat sebelum akhirnya menempatkan diri di samping Dika dan membawanya kedalam pelukan.
"Ssh... semuanya akan baik-baik saja" ujar Zahra kemudian tanpa ingin menanyakan apa yang terjadi terhadap dirinya.
Akhirnya.
Dika menangis dalam pelukan wanitanya. Nyatanya, gadis itu hadir disaat Dika membutuhkannya dan Dika cukup lega karenanya. Yang dibutuhkan gadis tomboy itu sekarang hanyalah dirinya.
Ia butuh Zahra untuk menopang dirinya disaat dirinya sedang terpuruk seperti ini. "Aku dikeluarkan, Khumaira" dengan napas yang tersenggal, Dika berucap di antara tangisnya yang masih menggila.
Gadis tomboy itu tetap saja mengeluarkan runtukan kecil di setiap seling napasnya yang satu-dua "Aku diberhentikan" lanjutnya masih disertai senggukan dari tangis yang sepertinya akan sangat panjang.
"Tak apa. Kamu pasti kuat. Semuanya pasti baik-baik saja" dengan nada lembutnya, Zahra mengingatkan sambil disertai dengan usapan-usapan kecil di puncak kepala si tomboy yang menemplok di bahunya.
Nyatanya, melihat Dika dalam keadaan seperti ini mampu membuat Zahra merasa ingin sekali untuk melindungi Dika yang biasanya berdiri tegak untuk melindungi dirinya.
Tangisan yang tak biasanya diperlihatkan kepada Zahra, kini terpampang jelas di kedua matanya. Dan karena itulah Zahra ingin menggantikan posisi Dika dengan dirinya. Ia ingin menjadi sosok kuat bagi Dika yang sedang lemah seperti sebagaimana Dika yang selalu ada disaat Zahra sedang seperti sekarang.
*BIG SIN 2 by Riska Pramita Tobing*
Suasana terasa sepi, dingin dan kaku. Hanya ada empat orang di ruangan tertutup ini dan meskipun ruangannya luas, udara terasa sangat sesak karena suasana yang tercipta. Dika terduduk di samping Zahra sambil saling berpegangan tangan dan dihadapan keduanya, ada Tuan Mahardika serta Nyonya Mahardika sedang memerhatikan kedua bocah perempuan itu.
Sudah sekitar tiga menit mereka terdiam seperti ini dan suasana tidak pernah membaik meskipun di antara keempatnya itu terdapat kopi yang masih mengebul "Apa semuanya benar?" terdengar suara serak namun tegas milik Tuan Mahardika.
Lelaki berperawakan tinggi berisi itu duduk dengan badan tegap dan tangan terlipat. Menatap lurus sekaligus tegas terhadap Dika dan Zahra yang masih menundukkan kepala menatap pada tangan mereka yang berpegangan saling menguatkan.
"Betul" jawab Dika dengan bisikan.
"Sejak kapan?"
"Satu setengah tahun yang lalu"
Diam.
Suara denting dari cangkir yang diambil oleh Tuan Mahardika menggema di gendang telinga milik Zahra, dan gadis itu semakin takut karenanya "Siapa yang mencintai siapa lebih dulu?" ujar Tuan Mahardika dengan disertai cangkir di salah satu tangannya.
Dika mengangkat pandangan, menatap lurus dan tangguh terhadap Ayahnya yang sedang meniup asap dari cangkir lantas berucap tanpa ragu "Aku yang lebih dulu" meskipun nyatanya suara gadis tomboy itu masih sedikit gemetar, badan tegapnya tetap saja tidak bergetar ketakutan.
"Sudah sejauh apa?
"Sampai ke titik dimana aku rela meninggalkan siapapun demi Khumaira"
"Termasuk Ayah dan Ibumu?" alis tebal milik lelaki senja itu menukik tinggi.
Masih dengan badan yang tegap dan pandangan kukuh serta tegas, gadis itu mengangguk "Kalau saja aku harus, maka aku tidak memiliki pilihan" ujarnya.
"Yasudah" final sang Mahardika "Tinggalkan rumah ini" lanjut lelaki itu dengan nada tegas tak terbantahkan.
Zahra tersentak dari rasa takutnya dan mengangkat pandangan pada Dika yang masih tampak tegar "Baik kalau Ayah berkata demikian" ujar si tomboy sambil lalu membawa Zahra kedalam dekapan "Setidaknya, saat aku sedang bersama dengan Khumaira, aku merasa dicintai. Tidak seperti saat di sini" sambil mengusap punggung Zahra yang sedikit gemetar karena takut dan gamang, Dika membawa gadis itu pergi ke kamarnya.
Zahra menangis saat ia melihat Dika mengeluarkan dua koper berukuran besar dari lemarinya. Tangannya yang cekatan merapikan semua baju yang ada di deretan paling atas lemari sebelum akhirnya ia membuka brangkas dengan isi gepokan uang yang Zahra tidak tahu jumlahnya.
Tangan Zahra masih gemetar saat ia melihat semua pakaian milik Dika sudah terbungkus rapi oleh dua koper besar yang sekarang disandarkan di dekat pintu dan gadis tomboy itu masih mempertahankan wajah tegas tak tergoyahkan meskipun Zahra bisa melihat bahwa Dika meluncurkan air mata sesekali.
Tangan bergetar milik Zahra kini tengah digenggam oleh Dika. Gadis itu berlutut di hadapannya untuk menatap pada iris mata milik Zahra yang dikotori dengan air di pelipisnya "Aku tahu semuanya akan terasa sulit. Tapi, asal aku tetap bersama dengan kamu aku akan baik-baik saja. Aku punya rumah di daerah sini dan aku sudah membuka bisnis kecil-kecilan. Aku yakin aku bisa menghidupi kita berdua. Asal kamu bersamaku, aku yakin semuanya akan baik-baik saja"
*-----*
Riska Pramita Tobing.
KAMU SEDANG MEMBACA
BIG SIN 2 (COMPLETED)
Teen Fiction"Hukum kami nanti. Biarkan kami saling memiliki untuk saat ini" Riska Pramita Tobing 2020