Lia membuka matanya perlahan. Langit-langit berwarna putih, dan bau obat-obatan yang menyengat hidungnya seolah memberitahu bahwa saat ini ia sedang terbaring di Rumah Sakit. Ia melihat sekitar dan menemukan Haechan dan Jeno di kedua sisinya.
Jeno menjadi orang pertama yang menyadari Lia sudah bangun.
"Li, lo udah bangun?"
Lia mengangguk dan ia berusaha untuk bangun.
Gadis itu terdiam sejenak. Ia merasakan sesuatu yang aneh. Kenapa tubuhnya begitu ringan?
Tangannya terulur untuk meraba perutnya, seketika itu ia langsung panik.
"Anak gue.. anak gue kemana?!"
Jeno dan Haechan terdiam.
"Jeno! Chan! Gue tanya kalian! Anak gue kemana?" Mata Lia mulai berkaca-kaca, "Jawab gue! Mana anak gue?! Kenapa perut gue rata? Lo kemanain anak gue? Jawab!!" Lia mulai berontak.
"Li, tenang dulu, okay?" Jeno mengusap-usap lembut tangan Lia yang tidak sekalipun ia lepaskan sejak saat Lia belum terbangun pasca operasi.
Untunglah pada saat itu seorang perawat datang, "Permisi. Mohon maaf Ibu, Bapak, saya membawa bayi Ibu, Ibu belum melihatnya sejak operasi."
Lia membelalakkan matanya. Harusnya kelahiran anaknya masih satu bulan setengah lagi.
"Li tenangin diri lo biar lo bisa gendong anak lo, okay?" Kali ini Haechan yang menenangkan.
Masih setengah percaya, Lia mengangguk. Kemudian perawat tersebut menyerahkan bayi itu agar bisa di gendong Lia.
Lia menatap bayi itu lama. Ia masih belum mempercayai jika itu anaknya.
"Dokter mengatakan jika ini adalah keajaiban karena keduanya bisa selamat. Meskipun bayinya lahir dengan prematur dengan berat badan yang kurang, kami akan memberikan pelayanan terbaik kami agar bayi tersebut bisa tumbuh dengan sehat."
Lia mulai meneteskan air matanya. Benar, ini anaknya. Manusia yang selama ini selalu ia nantikan kehadirannya di dunia ini. Sesuatu yang selalu Lia sayangi sepenuh hati walaupun ia tidak pernah tahu bentuk dan jenis kelaminnya.
"Bayi Ibu perempuan. Selamat atas kelahiran putri anda."
Lia mengangguk, matanya masih tak beralih dari bayi itu. Jeno dan Haechan ikut tersenyum melihatnya.
Pada saat bayi itu memegang jarinya tiba-tiba Lia teringat sesuatu. Ya, ia teringat pada seseorang yang sangat suka memegang dan memainkan tangannya. Orang itu bahkan tidak bisa tidur jika tidak memegang tangannya.
Lia mengedarkan pandangannya, namun orang itu tidak ada di sana membuat rasa cemas dan ketakutan tiba-tiba menghampirinya.
"J-jun.."
"Jun dimana? Kenapa dia gak ada disini?"
Jeno, Haechan dan perawat itu terdiam. Muka mereka serempak terlihat murung.
"Chan, lo bisa panggilin Jun?"
Haechan menundukkan pandangannya.
"Kenapa kalian diem aja? Buruan panggilin Jun, dia perlu ketemu anaknya. Dia pasti bakal seneng banget."
"Li-"
"Dia pasti bakal nangis saking senengnya. Jen, ayo tunggu apalagi. Panggilin Jun."
"......"
"Jen! Jangan bikin gue takut!" Lia mulai kehilangan kesabarannya, namun Jeno tetap membungkam mulutnya, "Oke! Biar gue yang cari dia sendiri." Lia menyibakkan selimut dengan sebelah tangannya.
"Lia lo gak bisa bangun dulu, lo belum pulih banget."
"Gue gak peduli!" Lia menaikkan suaranya membuat si bayi menangis karena terkejut.
Lia membeku saat pertama kali mendengar tangisan bayinya.
Jeno membuat isyarat pada perawat untuk membawa bayinya keluar. Dan Lia masih terdiam saat bayinya diambil. Ada rasa takut yang begitu besar yang tiba-tiba merayapi.
Lia kembali meneteskan air matanya, ia memegang erat selimutnya, "Chan.. Jeno.. gue-" Lia terisak, "Gue takut. Please bawa gue ketemu Jun. Gue perlu mastiin dia baik-baik aja."
Jeno dan Haechan bertatapan. Kemudian seolah berkomunikasi lewat pandangan, Haechan mengangguk mengerti.
"Li kita bakal bawa lo ketemu Jun. Tapi nggak sekarang."
"Gue harus ketemu dia sekarang, Chan. Cuma itu satu-satunya cara biar gue ngerasa tenang."
"Lo masih sakit, Karelia." Jeno menatap Lia dengan raut wajah khawatir yang terlihat jelas.
"Gue gak apa-apa. Please. Tolongin gue.. hmm?"
Karena sepertinya Lia tidak akan tenang. Jeno dan Haechan pun mengiyakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Find Your Home (✓)
RomanceApa arti rumah yang sebenarnya? Jeno tidak tahu. Dulu Jeno mempunyai 'rumah' yang begitu hangat yang hanya diisi oleh kebahagiaan dan tawa. Namun rumah itu hilang dalam sekejap. Menghancurkan hatinya bahkan dunianya kini tidak seindah dulu. Jeno keh...