Chapter 15

4.5K 817 77
                                    

Note :
Saya baru kembali dari akun ketiga saya. Saat sedang lihat-lihat wall wattpad saya sendiri, ada yang tulis kepengen nih cerita update. Mumpung lagi mood, saya gas 'kan :)

=========

"Akhir-akhir ini kamu jadi sering pergi ke istana, (Nama). Kamu yakin tidak lelah?"

An menyeruput teh sembari memfokuskan pandangannya pada (Nama) yang tengah menyapu di lantai bawah. (Nama) tidak menjawab dan ekspresi wajahnya tampak masam.

"(Nama), (Nama), (Nama)," panggil An berkali-kali yang berhasil membuat (Nama) semakin bertambah kesal.

"Ugh, berhentilah membuatku marah!" (Nama) mendengus dan mengarahkan ujung gagang sapunya ke arah An yang berdiri di lantai 2, "lebih baik kau turun dan bantu aku menyapu!"

"Hmm... baiklah."

Dalam sekali sapuan tangan, lantai tempat (Nama) berpijak dibersihkan dari debu dan kotoran. Namun, bukannya senang, ekspresi (Nama) malah bertambah gelap.

An meletakkan cangkir yang ia miliki di atas meja yang terletak di sampingnya. Tangannya bersedekap dan senyum polos tersungging di bibirnya, "Aku sudah membantumu. Mengapa kamu masih cemberut?"

(Nama) menggeram, "Kalau begitu kenapa kau tidak bantu bersih-bersih sejak tadi?!"

"Sengaja agar kamu tidak perlu pergi terlalu awal ke istana. Tinggallah di rumah sebentar dan jangan pergi ke manapun."

(Nama) mendengus. Memang dia ingin libur sejenak dan tidak datang ke istana untuk sehari saja. Namun, jika teringat wajah Athanasia, perasaan enggan itu lenyap seketika.

Saat melihat tawa dan senyum Athanasia, rasa-rasanya hati (Nama) menghangat dan wanita itu merasa sangat senang. Athanasia adalah gadis yang sangat baik bagi (Nama).

(Nama) berandai, jika saja (Nama) memiliki anak yang sifatnya mirip dengan Athanasia, (Nama) yakin dirinya akan bahagia.

"Kau tahu, aku sangat kesepian di rumah semenjak kau tidak ada di sini."

An melangkah turun. (Nama) terus menatap ke arahnya hingga An berdiri tepat di depannya. An memegangi kedua bahu (Nama) dan menatap lamat-lamat iris merah muda milik wanita itu.

Iris mata milik sang pria mengeluarkan sinar berwana kemerahan. (Nama) yang kaget memekik dan langsung memegangi wajah An.

"Matamu iritasi?! Kau sakit?"

An terdiam. (Nama) juga terdiam. Ekspresi keterkejutan sama-sama terlihat jelas pada wajah mereka.

Mata sang pria mengerjap beberapa kali sebelum kemudian terkekeh pelan. Ia memegangi kedua tangan (Nama) yang tengah memegangi kedua pipinya.

"Iya, aku sakit. Oleh karena itu, kau tetap di rumah saja, ya?"

(Nama) berjengit, lalu cepat-cepat melepaskan tangannya dari wajah An. Telinganya memerah, pertanda wanita itu sedikit malu.

"Kau berbohong."

"Sejak kapan aku pernah berbohong?"

(Nama) cemberut, "Kau selalu berbohong, An."

"Jadi, kau mau pergi ke istana lagi?"

"Tidak."

"Eh?"

(Nama) berbalik membelakangi An, melempar sapu ke sudut ruangan, lalu membuka apron yang ia kenakan.

"Kau memintaku untuk tinggal. Mungkin tidak pergi ke istana selama beberapa waktu bukan hal yang buruk." (Nama) berjongkok di lantai. An mau tak mau harus menunduk untuk melihat sosok (Nama). "Lagipula, aku baru teringat jika hari ini Putri Athanasia mengadakan pesta minum teh dengan gadis-gadis bangsawan lainnya. Aku tidak ingin mengganggu."

I' Am Not DianaNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ