7

166 17 0
                                    

"Jangan pergi kemana-mana! Di rumah aja. Ayah pergi nggak lama," kata Deni sambil memakai sepatu. 

"Iya. Dea nggak akan pergi kemana-mana," jawab Dea sambil melihat aktivitas ayahnya memakai sepatu. 

Hari ini Deni akan pergi ke kota menjual hasil kebun. Ia akan pergi bersama Herman. Dea terpaksa ia tinggal sendirian di rumah, karena ia akan pergi menggunakan sepeda motor yang sarat akan hasil kebun. Kalau pakai mobil, pasti ia akan mengajak Dea. Tapi apalah daya, ia tak memiliki mobil.

Tak lama Deni pun berangkat. Ia akan mampir di rumah Herman terlebih dahulu. Lalu kemudian mereka akan berangkat ke kota mengendarai dua sepeda motor. 

"Dea sendirian di rumah, Tuk?" tanya Herman saat ia melihat Deni sendirian saja. 

"Iya," jawab Deni dengan raut datarnya. Lalu mereka pun berangkat ke kota. 

***

Sudah lima hari sejak tragedi penembakan di hutan, kaki Deni belum menampakkan perubahan signifikan, karena hanya diobati menggunakan obat merah dan ramuan tradisional saja. 

Dea menjadi sangat cemas memikirkan kesehatan sang ayah. Namun ia tak bisa berbuat banyak, karena ayahnya kekeuh tidak mau dibawa ke dokter.

"Permisiii!"

Itu adalah suara seorang perempuan di depan pintu rumah Dea. Ia sedang makan siang sendirian. Karena ayahnya masih di kota untuk menjual hasil kebun. 

Dengan langkah pelan, Dea menuju pintu. Setelah dibukannya, tampak sosok ibu-ibu paruh baya sambil membawa sesuatu dibungkus daun pisang. 

"Dea, kan?" tanya perempuan tersebut. 

"Iya," jawab Dea sambil tersenyum kecil. "Dengan Ibu siapa, ya?" tanya Dea sambil memegang daun pintu. 

"Retno. Panggil saja Mak Retno," jawab perempuan tersebut dan diangguki oleh Dea. "Ayahnya mana?" tanya Retno sambil melongok ke dalam rumah. 

Nggak sopan! batin Dea. 

Dalam hati Dea benar-benar merutuki Retno. Cara perempuan tua tersebut menatapnya dan melongok ke dalam rumah, membuatnya tidak nyaman. 

"Dimana Tuk Deni?" tanyanya lagi masih sambil melongok ke dalam rumah. 

"Ke kota," jawab Dea singkat. 

Retno mengangguk. Lalu ia berkata, "Ini ada pisang goreng." Ia menyodorkan bungkusan yang ada di tangannya. 

"Makasih," kata Dea sambil memasang senyum yang dipaksakan. Ia bahkan tidak sudi untuk memanggil Retno dengan gelar 'Mak'. 

"Ya udah kalau gitu, Mamak pulang dulu, ya. Masih ada kerjaan di rumah. Niatnya kesini mau ngasih makan siang ke Tuk Deni, malah orangnya nggak ada," kata Retno. "Salam buat Ayah kamu ya, Dea," katanya lagi. 

Ngasih makan siang? Titip salam? Iyuh! Najong, lyuh! 

Ingin sekali Dea berkata seperti itu, namun ia masih waras. Dan hanya bisa mengucapkan kata tersebut dalam hati saja. 

"Iya," jawab Dea masih dengan senyum yang dipaksakan. 

Setelah Retno pulang, Dea langsung melihat isi bungkusan pemberian Retno. Ia meletakkannya di atas meja makan lalu membukanya. Ternyata isinya hanya pisang goreng enam buah. 

"Ini buat makan siang? Nggak salah?" Dea bermonolog sambil melihat malas ke arah pisang goreng. "Ganjen banget, sih! Pasti itu perempuan naksir Ayah mati-matian, tapi Ayah nggak naksir dia," kata Dea lagi. 

Ia terus mengomel entah sampai beberapa kali. Untung saja ia sedang sendirian, jadi tak akan ada yang melihat wajah kesalnya. 

Tanpa pikir panjang, Dea langsung membuang pisang goreng tersebut ke dalam kloset. Entah mengapa hati kecilnya mengatakan kalau pisang goreng tersebut ada peletnya. 

Sebenarnya pemikiran Dea bukan tanpa alasan. Dilihat dari gelagat aneh Retno, dan juga kisah mistis yang masih kental di kampung ini, membuat Dea curiga. 

"Maafkan aku pisang, bukan maksud aku nggak sopan. Tapi aku takut ada sesuatu di gorengan ini," kata Dea sambil memasang wajah bersalah. Bagaimanapun juga, membuang makanan adalah hal tidak terpuji. Banyak orang di luar sana yang kelaparan. 

Setelah memotong pisang goreng tersebut menjadi kecil-kecil, lalu dimasukkan pisang tersebut ke dalam kloset, dan ia pun mulai menyiraminya. Tak lama pisang goreng mencurigakan tersebut telah lenyap. 

"Aman," gumam Dea sambil menepukkan tangannya di celana. 

***

"Menurut kau, Dea kayak mana?" tanya Deni sambil menghisap rokok dalam-dalam. Ia dan Herman sedang di warung kopi. 

"Baik, cantik, periang, pemberani," kata Herman sambil mengaduk kopinya yang masih panas. 

Mendengar jawaban tersebut, Deni tersenyum misterius. Dalam hati ia ingin menjodohkan Dea dan Herman. Tapi dalam artian tidak memaksa, kalau ada salah satu pihak yang tidak setuju, maka ia tak akan memaksa. 

"Kenapa, Tuk?" tanya Herman heran. Pasalnya ia bingung mengapa gurunya tersebut senyum-senyum sendiri. 

"Nggak papa," jawab Deni sambil kembali menghisap rokok. 

Mereka berdua telah selesai menjual hasil bumi, dan sudah berbelanja kebutuhan pokok juga. Lalu sekarang sedang istirahat sejenak melepas lelah. 

"Kamu nggak mau lanjut kuliah?" tanya Deni. Biar bagaimanapun, ia tak akan menjodohkan Dea dengan sembarang orang. Apalagi Dea sangat mementingkan pendidikan, maka jodohnya pun harus berpendidikan juga. 

"Mau, Tuk. Tahun ini aku udah daftar beasiswa, tapi gagal. Tahun depan aku mau daftar lagi. Semoga lulus," jawab Herman. Ia lalu menyeruput kopinya yang sudah menjadi hangat. 

Deni mengangguk sambil tersenyum misterius lagi. Ia lalu menyeruput kopi pahit miliknya. 

Pas. Kayaknya mereka beneran cocok. Sama-sama gagal beasiswa tahun ini. Semoga tahun depan lulus, batin Deni. 

Herman sendiri sudah berusia 25 tahun. Ia masuk SD berusia delapan tahun. Oleh karena itu, ketika usia hampir dua puluh tahun, ia baru lulus SMA. 

Biar bagaimana pun, Deni tak ingin anaknya hidup seperti dia. Jadi petani yang penghasilannya minim. 

Deni ingin, kelak anak dan menantunya hidup makmur. Kalaupun jadi petani, harus jadi petani yang berpendidikan. 

"Kita berangkat sekarang, Tuk?"

Kata-kata Herman membuat menolong di kepala Deni berhamburan. Dengan kaget ia menjawab 'iya'.

Sekarang memang sudah sore, kalau lama-lama di warkop, bisa-bisa mereka akan kemalaman di jalan. 

Sesampainya Deni di rumah, Dea sudah menyambutnya dengan berbagai macam hidangan. Ada menu berat dan juga dissert. Kata Dea, ia sedang gabut. Oleh karena itu ia masak banyak. 

Tanpa pikir panjang, Deni langsung menelepon Herman, lalu mengajaknya makan malam bersama. 

Herman tinggal sendirian. Kedua orang tuanya sudah tidak ada. Dan sekarang, ia telah diangkat anak oleh Deni. 

"Makan, Man. Makan yang banyak," kata Deni sambil menambah semur ayam ke piringnya. 

"Iya, Tuk," jawab Herman sambil menyendok nasi ke mulutnya. Ia sendiri sangat bersyukur memiliki guru sekaligus orang tua angkat seperti Deni. Walaupun cuek, tapi kadang-kadang bisa hangat. 

Sementara itu, Dea bingung melihat sikap aneh ayahnya. Pasalnya sang ayah berbicara sangat hangat kepada Herman. 

Dea memperhatikan Deni sambil menyendokkan nasi ke mulutnya. 

"Aduh!" Dea terpekik tertahan saat sendoknya bukan masuk mulut melainkan mengenai pipi. 

"Hati-hati, De," kata Deni. Ia sigap mengambil kain lap bersih lalu memberinya kepada Dea. Dan langsung diterima oleh Dea. 

***

My Father Is Cindaku (Selesai)Where stories live. Discover now