Chapter 8

0 0 0
                                    

Henry's point of view...

Satu tahun yang lalu...

Kicauan burung-burung di dekat pohon membuatku hilang fokus dan aku jadi tergoda untuk melihat pemandangan luar melalui jendela kelas. Aku memandang salah satu induk burung yang sedang memberi makan anak-anaknya. Pemandangan yang sangat jarang.

Setelah beberapa menit, bel pulang langsung berbunyi. Tiba-tiba, seseorang menepuk bahuku. " Hen, ayo kita pulang." Kaito, sahabat semasa kecilku, langsung menyunggingkan senyumannya yang selalu ia paparkan kepada setiap orang yang ia temui. " Iya, sebentar."

Selesai aku merapikan buku-bukuku, aku berjalan keluar dan tiba-tiba saja, seorang perempuan dengan rambut diikat satu itu langsung menghampiriku. " Henry, apakah kamu punya waktu sebentar?"

Sebelum aku sempat menjawab, Kaito langsung berpamitan. " Kalau begitu, aku pulang duluan ya." Aku hanya mendesah. Ia pasti menginginkanku untuk meladeni perempuan satu ini yang tidak aku kenal.

Ketika di depan kelas hanya ada kami berdua, perempuan itu langsung memberikanku sebuah kotak hadiah dengan bungkus berwarna pink. " Mungkin kamu tidak mengenalku, tapi terimalah sebagai pemberianku."

" Untuk apa kamu memberikan hadiah itu?" tanyaku tanpa mengambil kotak hadiah itu. Ia tak berani menatapku. " Jujur saja, aku telah mempunyai perasaan padamu. Aku harap kamu mengerti."

Saat itu juga, aku langsung membuang mata. " Lain kali, tidak usah repot-repot memberikan hadiah. Lebih baik gunakan waktumu untuk melakukan hal yang lebih berguna dibanding menyiapkan sebuah hadiah."

" Lalu, bagaimana dengan perasaanku?" tanya perempuan itu yang membuatku sedikit kesal. " Bukannya sudah jelas? Aku tidak tertarik sama sekali. " Saat itu juga, aku langsung berjalan meninggalkannya. Tiba-tiba, ia mencegatku dengan menarik baju seragamku. " Kenapa kamu bersikap seperti itu kepada semua perempuan? Kenapa kamu tidak sekiranya menghargai usaha kami?"

Aku menoleh ke arahnya dengan tatapan tajam. " Itu bukan urusanmu." Seketika itu juga, ia akhirnya melepaskanku dan aku langsung berjalan meninggalkannya tanpa mempedulikan perasaan perempuan itu.

Sesampainya di depan gerbang sekolah, Kaito langsung menghampiriku lalu bertanya," Bagaimana? Kamu menolaknya?" Aku tak menjawab Kaito dan hanya memasang muka datar.

" Henry, sekali-sekali kasihlah kesempatan kepada mereka yang menaruh perasaan sama kamu. Kasihan mereka," ucap Kaito sambil berjalan pulang. Rumahku dan rumahnya tidak begitu jauh dari sekolah dan searah sehingga aku selalu berjalan pulang bersama dengan Kaito.

" Aku tak mempercayai mereka," tanggapku singkat. Kaito sepertinya sudah pasrah menghadapiku. Kami tidak berbicara selama beberapa lama hingga suara Kaito memecahkan suasana hening.

" Jangan samakan semua perempuan seperti ibumu, Henry. Ibumu juga mungkin pergi meninggalkanmu karena sebuah alasan. Tidak semua perempuan sejahat yang kamu kira. Asal kamu tahu, sudah menjadi tugas kita sebagai laki-laki untuk menjaga hati seorang wanita."

Aku tertawa mendengar pernyataan terakhir Kaito. Ia memang suka melebih-lebihkan sesuatu. " Memangnya apa yang kamu tahu tentang hati seorang wanita yang kamu sebut-sebut itu?" tanyaku seakan meremehkan. Kaito langsung tersenyum dan sebelum ia menjelaskan, ia berpura-pura berdeham seakan-akan ia akan menyampaikan sesuatu yang sangat serius.

" Hati seorang wanita itu seperti sebuah kaca cermin. Jika sekali kamu menyakitinya, kaca itu akan retak dan keretakkan itu tidak mudah untuk diperbaiki lagi serta akan menimbulkan bekas. Karena hal itu, mereka sangat sensitif. Kamu tidak mau kan menjadi orang yang memecahkan setiap kaca hati mereka?"

The HousekeeperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang