Alina | 10

612 100 6
                                    

Alina akhirnya harus dilarikan ke rumah sakit karena mengalami dehidrasi dan demam berdarah. Paket komplit, disaat rasa kehilangan Raya masih menyelimuti, Alina harus berjuang untuk dirinya sendiri yang terbaring sakit dengan cairan infus di tangan kirinya. Tubuh Alina juga masih terasa hangat, tubuhnya benar-benar lemah.

"Lin, minum yang banyak, buburnya dimakan. Ini bubur rumah sakit sengaja Ibu ganti dengan Bubur Manado kesukaan kamu, tapi nggak pakai sambal Roa, kata dokter belum boleh makan pedas. Yuk sedikit yuk," ucap Heaty. Alina masih bergeming dan menggeleng tipis. Ia menatap ke arah layar monitor televisi yang memberitakan mengenai penghormatan terakhir bagi awak kapal selam Nanggala 402 yang gugur di tengah laut yang dipimpin langsung oleh Kepala Staf TNI Angkatan Laut. Prosesi tabur bunga yang dilakukan oleh keluarga dari awak kapal selam yang gugur membuat Alina kembali menangis. Ingin rasanya dirinya berada ditempat itu, namun apa boleh buat, kondisinya tidak terlalu baik saat ini.

"Bang Raya," lirih nya. Heaty menatap sendu ke arah monitor televisi dan bergantian kembali menatap Alina yang nampak lemah diatas brangkar. Wanita setengah baya itu benar benar tidak tega menatap kondisi Alina yang lemah secara fisik dan juga psikis.

Heaty memilih memberikan ruang pada Alina untuk sendiri. Gadis itu benar-benar masih larut dalam duka yang mendalam.

"Gimana Alina, Bu?" tanya Rayan yang menunggui Alina di balkon kamar rumah sakit. Heaty menggelengkan kepalanya tipis dan memilih duduk di samping Rayan, suaminya. Rayan nampak menghela nafas panjang dan kembali menatap nanar ke depan.

"Kehilangan orang yang dicintai untuk selamanya itu memang pukulan paling berat yang harus dihadapi seseorang. Parah hati paling dalam adalah di tinggal oleh orang tercinta untuk selama-lamanya. Apalagi posisi Raya meninggal dalam tugas, " ucap Rayan. Heaty mengangguk paham. "Kondisi Alina bisa saja menjadi lebih buruk kalau dia bersikeras tidak mau makan dan minum, Pak. Tapi sudah berulang kali Ibu membujuknya, hanya saja anak itu ---- " Heaty menghentikan ucapannya saat nafasnya kembali tercekat. Wanita setengah baya itu menghapus jejak air mata yang mengalir di pipinya dan mencoba menghembuskan nafasnya untuk menetralkan rasa sedih yang masih terus mengganjal di dalam hatinya.

"Aku juga paham Alina masih bersedih. Tapi ---" lanjut Heaty yang kembali tidak sanggup untuk meneruskan ucapannya. Rayan kembali mengusap pundak Heaty lembut guna menenangkan wanita itu yang kembali menangis.

"Nanti kita bujuk lagi. Sekarang biarkan saja dulu, " ucap Rayan. Rayan menatap Alina dari luar jendela kamarnya dan kembali menghembuskan nafas pelan.

Malam menjelang, Karina kini sudah berada di samping brangkar Alina, menyuapi gadis itu dengan bubur manado yang baru saja kembali ia beli. "Tambah lagi makannya, Lin baru dua sendok," bujuk Karina entah sudah yang keberapa kali sesaat setelah Alina kembali menutup mulutnya dan tidak mau makan (lagi). Karina menatap Rayan dan juga Heaty yang ada di hadapannya, kedua orang tua itu pun mengangguk, memberikan isyarat pada Karina agar tidak lagi memaksa Alina untuk makan."Kar, kamu jadi mau pergi ke Bali?" tanya Alina memecah keheningan. Karina yang sedang sibuk membereskan tempat makan yang barusaja digunakan oleh Alina pun menoleh dan tersenyum tipis. "Jadi. Karena orang tuaku ada kerjasama dengan rekan kerja mereka disana untuk buka restoran baru. Tapi aku berangkat kalau kamu sudah baikan, Lin," jawab Karina seraya tersenyum. "Kuliahmu gimana?" tanya Alina kemudian. Karina menghela nafas panjang dan kembali duduk di atas bangku sebelah brangkar dan menggenggam tangan kanan Alina lembut.

"Setelah wisuda, aku baru akan pindah, jadi kamu tenang saja. Sahabatmu ini sudah lulus S1 Management dan Bisnis, nggak berniat kasih aku selamat, hm?" tanya Karina seraya menaikturunkan kedua alisnya. Alina menatap Karina dengan seksama, ia lalu mengerutkan dahinya, bingung, benarkan Karina lulus secepat itu?

"Kamu -- sudah lulus?" tanya Alina. Karina mengangguk tegas dengan senyum lebar di wajahnya. "Maafin aku nggak datang waktu kamu sidang skripsi, aku malah nggak tahu kalau skripsi kamu udah lolos dan langsung sidang. Ini beneran lulus?" tanya Alina masih tidak percaya. Karina berdecih dan menatap horor ke arah Alina. "Kamu pikir aku nyuap dosen pembimbingku supaya aku cepat lulus dan bebas sidang, begitu?" tanya Karina tidak percaya. Alina tersenyum jahil dan mengangguk tipis. "Ahh.. Aku nggak serendah itu, LIn!" geram Karina yang mampu membuat Alina kembali mengukir senyum  tipis.

"Kalau misal kamu lagi ngerjain sesuatu dan diawasi 1 kali 24 jam sama tentara baret ungu, kan mau nggak mau aku harus cepet-cepet nyelesaiin tugas akhirku itu,"kesal Karina. Alina membulatkan manik matanya. "Tentara Baret Ungu? Mas Aldan?" gumam Alina. 

"SIapa lagi?"

"Jadi beneran habis wisuda mau lanjut nikah?" Karina nampak tersipu malu terlebih pertanyaan itu dilontarkan Alina tepat dihadapan kedua orang tua Alina yang notabene adalah juga orang tua Aldan. Karina menatap Alina  dan tersenyum lebar. "Maunya Mas Aldan juga langsung pengajuan, tapi aku bilang ---- aku pengen lihat kamu baikan dulu," jawab Karina. Alina terdiam sejenak menatap Karina. "Lagipula pernikahan itu perkara komitmen seumur hidup, aku juga masih memantabkan hatiku, Lin. Jadi isteri tentara itu sama sekali nggak pernah terbayang dalam pikiranku," ucap Karina seraya menundukkan kepalanya. Heaty dan Rayan menatap Karina lalu tersenyum tipis.  Alina menatap sahabatnya dengan manik mata yang kembali berkaca-kaca. "Kenapa kamu harus nungguin aku baikan, Kar. Lukaku nggak akan bisa hilang dalam waktu dekat -- mungkin butuh seumur hidup untuk --- kembali pada hidupku sebelumnya -- atau --- " Alina menghela nafasnya sejenak dan kembali menatap Karina lekat. "...Atau hidupku tidak akan pernah sama lagi, jadi jika memang kamu dan Mas Aldan sudah saling bersepakat bersama, lebih baik maju, nggak usah pikirkan aku, Kar," ucap Alina seraya menyentuh dan menggenggam tangan Karina yang sejak tadi sudah menahan tangisnya.

"Aku nggak mungkin berbahagia kalau sahabatku masih berduka," lirih Karina. Alina kembali menitikkan air matanya dan merentangkan kedua tangannya untuk memeluk Karina dalam dekapannya. Kedua sahabat itu akhirnya saling meluapkan emosi masing-masing dan menangis bersama. "Aku akan sangat berbahagia jika kakakku bisa bersanding dengan sahabat terbaikku." (*)

______________________

Hai Alina update lagi.. Jangan lupa tinggalkan jejakmu dan komen yaah.. Maacih 🙏🤗

ALINAOnde histórias criam vida. Descubra agora