⌧ 𝟎 𝟔 . 𝟎 𝟎

173 32 6
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

▬ ▬

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

▬ ▬

Apakah tempat memandang yang sama akan menghasilkan penglihatan yang sama?

Pupil matanya meremang tatkala kenyataan menelan fantasi manis yang berhinggap pada lingkup benak. Logika berdebat hebat hingga hati mungil tak lagi berkilau gemintang. Akar akasia dibiarkan merambat menuju jantung, pula melilit hingga nadi berdenyut tak normal.

Kegelapan telah mengambil alih jiwanya, maka sirna-lah segala asa yang berdalih dalam memorial semata.

Kala itu, di umur delapan tahun, ketika Hirohito [Name] memakan permen kapas berona merah muda, ia tak lagi menyesapi manisnya gula dalam lidah.

Melainkan pahit. Semakin lama irisnya menjelma kelabu. Hingga kebahagiaan tak lagi menuntun hidupnya, jiwa [Name] terpecah berkeping-keping, pun terbawa arus kegelapan yang dibuatnya dirinya sendiri.

[Name] selalu meringkuk dalam permainannya sendiri. Ia akan tertawa puas, ketika gumpalan darah berserakan bebas di dinding kamarnya. Ia akan tersenyum hingga netranya terkatup, ketika jurang gelapnya kembali menelan habis seonggok jiwa tak berdosa. Wajah manisnya akan berbunga-bunga, ketika para manusia bersujud menghadap dirinya dengan darah yang bersimbah di masing-masing dada.

Namun, semuanya seakan sirna. Lantaran, tiba-tiba saja, drama gelapnya dilahap habis oleh kobaran api yang disulut oleh sosok tak dikenal.

Sang adiwangsa tak mengerti harus bagaimana ia memasang raut di eloknya paras. Betapa bisa kurva masam ia sematkan, kala ribuan kuntum bunga tak segan bermekaran di denyut nadinya? Pula, rasa ego sedikit berkecamuk di relung gelapnya, tatkala lengkungan senyum semanis permen kapas hendak dihamburkan secara sengaja.

Ada banyak pilihan yang berputar-putar di imajinasinya. Sekali lagi, hanya pilihan. Terus berputar tak tahu arah. Dirinya akan selalu enggan tuk menganalogikan banyak pilihan di dunia nyata.

[Name] resah. Bimbang. Sekali lagi, tak tahu harus bagaimana ia memasang raut di eloknya paras, yang telah terselimut sempurna oleh gaun semurni gumpalan cakrawala.

Hingga Oikawa Tooru menyibak dunia [Name]. Kelopak cantiknya terbuka lebar. Menyambut figur rupawan yang pasangkan aset berjuta harga pada jemari manisnya.

"Senyumlah."

Dan, kala itu, untuk pertama kali sang adiwangsa menganalogikan pilihan tuk mengurva tipis di hari pernikahannya. Secara jujur, kendati hanya berdurasi empat detik. Namun cukup berarti untuk hatinya yang selalu main angin.

▬ ▬

Jujur, [Name] tak pernah setabah ini dalam hidupnya.

Sudut mulutnya telah lama mengurva ke atas membentuk senyum gula. Kelopak mengatup anggun. Deret gigi terpandang cantik dipadukan dengan merahnya bibir ranum. Dalam kurun tiga jam, sikap manisnya telah terlaksana sempurna. Kendati hati menahan amarah selama berhari-hari. Kendati urat di pelipis sudah tak dapat lagi menahan segala kekesalan.

[Name] memutar pandang, mencari kehadiran sang suami di ruang dansa kastil utama. Meski puluhan bangsawan tengah menyesakkan atmosfer di kubik terluas istana, iris emasnya masih sigap mengedar.

Dan akhirnya, mata mereka bertemu. Terlalu mudah bagi [Name] untuk melacak pria seistimewa dewa agung. Seolah benang tipis menuntun dirinya pada Oikawa, mulutnya kembali menarik kurva cantik. Mendapati sang pelaku kekesalan hati, tengah melambai sembari menunjukkan satu cincin emas yang terpasang apik di jari manisnya.

Idiot. Satu kata yang terlintas usai melihat tingkah sang suami yang terlampau konyol. Bagaimana bisa ia tersenyum sebahagia itu setelah mencumbui gadis bersurai pirang di pinggiran jalan? Seseorang tolong cepat tusuk dadanya sesekali, agar dia tahu betapa perihnya ketika [Name] mendapati nuraninya kembali terbelah menjadi dua bagian.

Lengan menarik paksa figur Oikawa yang tengah asyik bercengkerama. Kepalanya sudah terlanjur mengeras sekeras batu, bahkan ketika para adiwangsa telah mengalihkan atensi sepenuhnya pada dirinya dan sang kasih, insting [Name] tak kunjung memberhentikan segala kelakuannya.

"H-hei! [Name]! Tunggu! Hei! Lenganku! Lepaskan dulu! Kenapa seenaknya menarikku?!"

Masih dengan lengkungan senyum yang terpampang eloknya di paras, [Name] bertutur dramatis tepat di telinga kanan sang suami,

"Sini. Kupatahkan lenganmu sekarang juga."

▬ ▬

(n.) main angin = plin plan, selalu berubah ucapannya, selalu berubah pendiriannya.

) main angin = plin plan, selalu berubah ucapannya, selalu berubah pendiriannya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
𝐌𝐈𝐓𝐀𝐌𝐀𝐌𝐀𝐓𝐒𝐔𝐑𝐈Where stories live. Discover now