𝐀𝐅𝐓𝐄𝐑𝐋𝐔𝐃𝐄 ⌫

235 32 11
                                    

BEST READ IN DARK MODE


©LAVCDCSWEET PRESENT :

𝐌𝐈𝐓𝐀𝐌𝐀𝐌𝐀𝐓𝐒𝐔𝐑𝐈 — 𝐀𝐅𝐓𝐄𝐑𝐋𝐔𝐃𝐄
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬













Sembilan belas tahun telah berlalu.

Meski kerutan dan uban telah terpampang nyata di paras, wanita ini kerap setia memancarkan kilauan bintang bersemerbak ribuan bunga. Davodil dan aster adalah favoritnya. Motif eksentrik dari bebungaan tersebut juga telah terlukis apik pada taplak meja yang tengah dirajut dirinya sendiri.

Ah, tentu tak sepenuhnya sendiri. Walau menyenangkan hati, merajut berjam-jam bukanlah aktivitas mudah bagi seorang [Name] yang telah menginjak usia 54 tahun.

"Okaā-san!"

Dua pasang manik emas saling bertatapan. Kurva yang terpoles di pigura pemuda ini seringkali membuat [Name] melepas gembok kotak berisi nostalgia yang terlampau indah.

Satu-satunya penerus keluarga Oikawa yang berkelamin laki-laki ingin ikut serta meramaikan kemenangan negerinya.

"Aku akan pergi! Dan, tenang saja, sekarang—akan kubawa Ayah pulang ke istana ini!" deret gigi terlihat elok bersama kelopak yang mengatup. Alis coklat sedikit terangkat, rona merah merekah samar bak bunga mawar yang tumbuh dan mekar di pipi bulatnya.

"... Jangan pergi jauh-jauh," adalah balasan yang [Name] lontarkan kala bunyi tapal puluhan kuda menyapa gendang telinga.

Atensi teralihkan sejenak. Pandangan sang wanita sibuk memindai puluhan perwira yang masuki pekarangan kastil kediaman Oikawa. Busana resmi yang berpadu dengan sepatu bots terpampang jelas. Pun satu senapan tersampir apik di masing-masing bahu para perwira.

Namun ...

Dia tak ada disana.

"NYONYA! NYONYA OIKAWA!"

Angan-angan sontak memudar usai teriakan mendengung di seisi ruangan. Jantung wanita ini pun nyaris keluar dari tempatnya kala pintu kamar didobrak paksa.

... [Name] menyadari, pemudi yang mendobrak pintu kamarnya ini membawa kenangan buruk.

"M-maafkan saya—ah, tidak! S-saya datang membawa banyak kabar yang harus Anda ketahui!"

Ketidak-teraturan pada lontaran Hideko Fuyumi jelas membuat [Name] kepanikan. Ditambah lagi dengan kondisi mukanya yang cukup berantakan: keringat yang bercecer, napas yang tersenggal-senggal, pula rambut kuningnya yang tak terikat sempurna.

"Sebentar—jelaskan pelan-pelan saja. Bisa tidak?" alis berkerut, pelipis yang sempat mengeras pun dipijat perlahan.

Ada pula, sang remaja di samping [Name] yang malah bertutur antusias, "Ceritakan kabar baiknya dahulu, Hideko-san!"

"Kabar baiknya ... Insiden Mukden di Tiongkok berhasil dilenyapkan. Empat puluh satu prajurit berhasil pulang dengan keadaan selamat."

"Lalu, kabar buruknya ..."

Arus darah mengalir deras. Kendatipun denyut jantung berdetak dua kali lebih laju—wanita ini kerap berusaha menyiapkan mental jika perkiraan berujung fakta mengenaskan.

"Oikawa Tooru ... dia—"

▬ ▬

Derap langkah yang beradu dengan lantai marmer terdengar lantang. Gaun bernuansa biru muda yang terpakai siang ini telah lama dijinjing ke atas olehnya. Sangkalan yang saling berbenturan di benak pikirnya telah lama dibiarkan oleh wanita ini.

Lalu, begitulah.

Tuhan yang turut andil dalam menggerakkan kuas kromatik di langit musim gugur kerap membuat [Name] bernostalgia. Tentang bagaimana cara pria itu menatapnya. Pula tentang bagaimana cara pria itu mengilustrasikan senyum seteduh daun yang berguguran.

[Name] menyukainya.

Oikawa [Name] menyukai sosok pria —yang tengah bersemayam di kursi roda— dengan jarak sebelas langkah lebih jauh dari dirinya berada.

Bulir tangis yang menjerit-jerit untuk dikeluarkan berakhir pecah dikala mereka saling bertatapan. Meski keriput yang bersarang di bawah mata terlihat begitu kentara—panah amor yang menusuk jantung sudah jelas mengartikan: betapa indahnya kotak masa remaja yang telah dikunci rapat-rapat sejak dulu.

Dan Oikawa Tooru membukanya.

Perasaan yang digembok paksa selama 19 tahun kini telah terlepas bebas. Hanya bermodal dengan senyum spesial dari sosok istimewa di depan mata.

"Aku pulang."

Sempat terbatuk, lengan yang tak sekekar masa remaja pun buru-buru menggerakkan dua roda nan terpasang di samping kursi.

Suara khas monoton yang terdengar lebih lembut telah mengalir kembali, "Maaf ... Sepertinya, janji yang kubuat sembilan belas tahun lalu—tidak kutepati, ya?"

Tata surya yang terletak di dua pundaknya terasa sangat berat. Asamnya permen jahe yang digigit kemarin malam terasa sangat pahit tatkala mata melihat Oikawa tengah menitikkan gerimis di wajah.

Napas dihirup pelan. Sudut bibir yang jarang mengurva telah dikulum lemas sembari mengeluarkan tawa gula.

"Selamat datang kembali,"

[Name] dan Oikawa tak dapat menghitung seberapa banyak sel dopamin yang meletup-letup dalam tubuh.

"dan selamat atas pelepasan jabatan jenderalmu, Tooru-kun."

Kini, kisah panjang yang tercatat singkat telah berakhir.

━━━━━━━

ᴇɴᴅ

𝐌𝐈𝐓𝐀𝐌𝐀𝐌𝐀𝐓𝐒𝐔𝐑𝐈Where stories live. Discover now