Sebuah Sajak

157 28 7
                                    

Perhatian: Gambar di atas kalian swipe ke kiri  untuk kalian yang ingin mendengarkan lagu sambil membaca chapter ini.

Gilang keluar dari kamar Fajri. Sebelumnya, ia telah memberikan janji kepada anak itu untuk menyelesaikan persoalan secepatnya. Ia bertekad, esok ia sudah tak terbebani dan menemukan jalan keluar yang akan ia perhitungkan dalam jangka beberapa jam ke depan. Gilang kini benar-benar tak habis pikir dengan dirinya, ia bahkan tak bisa menemukan alasan untuk dirinya sendiri tentang bagaimana bisa ia tak menyesali dirinya bersusah payah sampai sejauh ini membantu anak yang bahkan keras kepala seperti Fajri.

Raga itu kemudian keluar dari lorong sebelumnya berbelok ke koridor luar. Hingga ketika melewati dua tiang raksasa pembatas lantai dua tersebut, ia bertemu Fenly yang memasang senyum pada wajah lelahnya dan iapun turut tersenyum, mulutnya secara otomatis mengeluarkan sapaan.

"Fen!"

"Bang Gilang..."

Senyuman Fenly sedikit demi sedikit memudar ketika ia berjalan semakin mendekat ke arah Gilang dan mendapati beberapa lebam dan bekas luka di wajah rekan kamarnya tersebut. Di sisi lain, Gilang curiga pada benda yang seperti berada di belakang punggung Fenly, ia yakin, itu merupakan sebuah kotak biola.

"Itu mukanya kenapa bang?"

"Cuman kecelakaan kerja," jawab Gilang, lalu tertawa dalam bungkam.

Fenly ternganga sedikit, matanya melebar, ekspresi itu kemudian pelan-pelan berubah menjadi perhatian.

"Terus Bang Gilang mau kemana?"

"Ke kantor ornan pusat."

"Nggak, nggak, nggak, istirahat dulu di kamar!"

Fenly secara paksa menarik tangan Gilang dan menggenggam lengan itu dengan lembut, membawa raga sang empunya entah kemana. Derap langkah mereka disusul suara bedug di Masjid di suatu tempat, beberapa saat, disusul lagi dengan suara adzan.

*****

Fiki berjalan terburu-buru menyusuri koridor seakan mencoba membalap suara adzan yang menembus sampai ke ruangan itu. Ia telah berpakaian rapi khas pemuda muslim lokal yang hendak menunaikkan ibadah lima waktunya, hanya saja pecinya terpasang miring di atas kepalanya. Di koridor tersebut, ia kemudian bertemu Zweitson, namun Zweitson hanya menyebut kata "Loh...", dan hanya di senyumi Fiki yang melaluinya. Anak berkacamata itu, tiba-tiba turut terburu-buru mempercepat jalannya, seperti menuju kamarnya.

*****

Laboratorium kesehatan telah lama sunyi, menyisakan dua pasien yang brankarnya berjarak berjauhan. Adli sebagai salah satunya, sebenarnya di beberapa menit lalu telah sadarkan diri, hanya merasa pusing dan berdenyut di beberapa lebam dan luka yang ia miliki. Pintu ruangan yang luas tersebut tiba-tiba berbunyi "klik" yang menggema dan kemudian terbuka menampilkan Arlex dengan mimik yang tak terdefinisikan, kedatangannya seorang diri. Langkah kaki Arlex terdengar oleh Adli semakin mendekat ke arahnya.

"Gimana keadaanmu?"

Adli tak menjawab, nafasnya keluar masuk penuh nafsu dan emosi.

"Keluar! Apa gua perlu ngabisin lo sekarang!" ancam Adli kemudian.

"Padahal dari segi pandanganku, kamu itu sudah terlalu menyedihkan."

Suara baritone Arlex membalik keadaan hingga menjadikan lawan bicaranya kian merasa balik tersudutkan.

"Lex, kita harus berangkat sekarang!"

Itu suara milik Shandy, ia tiba-tiba saja muncul di ambang pintu.

Guardian in My RoomWhere stories live. Discover now