[4] MENGHAPUS RASA SAKIT

63.9K 6.3K 595
                                    

Jika Tuhan mendengar doaku sekali lagi. Boleh aku meminta untuk menghapus semua rasa sakit ini.
•••
••

Lelaki tampan ber-alis tebal itu suamiku. Dia juga suami dari sahabatku.

Lelaki yang sukses dibidang kosmetik itu imamku. Dia juga imam dari sahabatku.

Lelaki berbibir tipis itu seseorang yang kusayangi. Dia, juga menyayangi sahabatku.

I K H L A S
•••

"Din, bunda menyuruh berkumpul di rumahnya setelah sholat isya," ucap Adnan sambil memasuki kamar mandi mengambil air wudhu.

Namun Adinda tertegun, ia terus berpikir bagaimana jika mereka membahas kehamilan lagi di sana. Bagaimana caranya bersikap baik-baik saja diseluruh keluarga yang semakin bertambah.

"Din kok bengong? Gak sholat?" tanya Adnan mendayu.

"Sholat mas," jawabnya. "Mau kemana?" Dinda menghentikan langkah Adnan dengan cepat kala lelaki itu ingin keluar dari kamar.

"Memanggil Nisa, kita sholat bertiga di luar ya?" Dinda mengangguk. Ia lupa, sekarang mereka telah bertiga.

***

"Masya Allah, pengantin baru kita sudah datang."

"Anisa, kamu cantik sekali nak."

Dinda yang semula berdiri di sisi kiri Adnan perlahan-lahan memundurkan tubuhnya. Menatap mertua dan Bunda Nisa tengah memeluk mereka secara bergantian.

Mereka tertawa tanpa Adinda. Wanita itu menunduk lesu di halaman depan, dia diam tak ingin bersuara.

"Dinda," lembut tangan Rani menyentuh bahu putrinya. "Bunda bangga sama kamu Nak," ucapnya.

Dinda melengos, tatapan nanar dari Dinda sama sekali tak ketara di mata sang Bunda.

"Kamu sudah membuat Anisa tersenyum lagi, kamu tahu?" tanyanya. "Ketika kamu membuat seseorang tertawa, Allah akan melipat gandakan pahala kamu," Rani tersenyum sambil mengusap punggung Dinda dengan lembut.

"Bunda, apa bisa Allah menggantikan pahala itu dengan hal lain?" Dinda menatap sendu wajah Bundanya.

"Apa maksud kamu Dinda?"

"Tolong gantikan semua rasa sakit yang mengurung hati Dinda dengan rasa ikhlas yang sesungguhnya," ia menepuk dengan kuat dadanya, air mata Dinda meleleh lagi.

"Sayang. Dinda bilang Dinda sudah ikhlas, kan? Dinda harus memberi tanpa pamrih Nak."

"Putri Bunda bukan wanita hebat. Putri Bunda bukan wanita kuat. Dinda bukan wanita sholeha yang bisa menyembunyikan lukanya dengan senyuman." tekannya.

"Adinda," tangan lemah Rani meluruh hingga terjatuh di jemari Dinda, ia menggenggamnya dengan sangat erat.

"Kenapa menyuruh Dinda membujuk Mas Adnan untuk menikah lagi Bunda? Apa yang salah dengan wanita yang belum bisa hamil? Sehina itukah wanita yang tak bisa memiliki keturunan?" bibir Dinda bergetar, ia tak mampu menatap mata Bundanya.

IKHLAS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang