Bab 23

2.4K 411 47
                                    

Ini seperti bukan dirinya sendiri yang memaki kedua bocah menyebalkan itu, entah kenapa dirinya bersikap seperti itu dan melindungi Daffa. Dia tidak suka jika ada anak-anak seusia Daffa yang mengatakan kata-kata yang tidak pantas di ucapakan oleh anak-anak seusia mereka.

Akibat perbuatannya lah, Dara kini berdiri di ruang guru tengah di dakwa oleh para guru dan juga orangtua siswa yang dirinya maki.

"Jadi, apa yang bisa Anda jelaskan Nona, Dara?"

Dara mendengus melihat wali kelas Daffa yang bertanya padanya dengan wajah tidak bersahabat.

"Saya hanya membela anak saya dari dua bocah sialan itu," ujarnya dengan membela diri.

"Kau orangtua Daffa?" Tanya salah seorang guru yang sebaya dengan Dara.

Dara hanya mengangkat bahunya cuek.

"Aku tidak mempercayainya, bagaimana mungkin Daffa anaknya. Dia terlalu muda untuk menjadi orangtua," sahut seorang orangtua murid yang memandangi Dara dari atas ke bawah dengan tatapan merendahkan.

"Dia memang Ibu ku," sahut Daffa yang tidak suka ketika para orang dewasa di sana memojokan sang ibu.

"Daffa sayang, kamu tidak boleh berbohong oke? Ayo sekarang katakan dia siapa, kamu tidak perlu takut." Seru wali kelasnya lagi dengan manis.

Dara mendecih melihat wali kelas anaknya yang berbicara seperti itu kepadanya.

"Nona, Dara sebaiknya Anda cepat jelaskan. Alasan Anda mengaku-ngaku sebagai Ibu nya, dan mengapa Anda memaki kedua teman Daffa?" Kali ini pertanyaan dari kepala sekolah Daffa.

"Pak Beni, dia memang Ibu Daffa, Daffa tidak berbong." Bela sang anak.

"Dia tidak mungkin Ibunya, apalagi selama ini aku selalu melihat Daffa hanya di antar dan dijemput oleh ayahnya saja," tukas guru olahraga yang menatap sinis Dara.

"Iya benar, dia tidak mungkin ibu dari Daffa, lihat saja pakaiannya, ck sangat tidak sopan sekali." Seru ibu-ibu dengan dandanan yang begitu heboh.

Pakaian Dara berupa jeans berwarna biru navy dengan beberapa robekan dititik tertentu. Atasan Dara hanya kaos pendek biru langit yang freshbody, rambut Dara juga hanya di ikat ekor kuda serta kakinya dibalut dengan sepatu kets. Pakaian Dara memang kasual sekali dan jelas wanita itu tidak terlihat seperti wanita yang telah memiliki anak seusia Daffa. Dara lebih terlihat seperti anak remaja ditingkat akhir, dan wajar saja jika mereka tidak mempercayainya.

"Ck apa untungnya aku berbohong? Daffa coba telepon pada papa, mu. Katakan Mama di sini, menunggu." Titah Dara pada Daffa.

Dengan sigap Daffa membuka tasnya, dia lalu mengambil ponsel pemberian Rama. Ponsel itu digunakan hanya untuk menelepon ayahnya saja, tidak untuk yang lain-lain. Namun, ketika ponsel itu akan tersambung. Pintu ruangan itu terbuka bersamaan dengan Rama yang masuk ke dalam dengan wajah yang tidak bersahabat.

"Papa." Daffa berseru melihat sang papa yang sudah ada di sini.

Dara menoleh ke belakang melihat Rama yang berjalan menghampiri dirinya. Pria itu berdiri di sampingnya menatap beberapa orang yang berada di sini.

"Pak, Rama." Sahut wali kelas Daffa dengan senyum simpul.

Lagi dan lagi Dara mendengus, memang itu tidak sopan karena dengusannya terdengar oleh orang-orang di dalam ruangan. Tapi sungguh Dara tidak peduli, dia benar-benar muak di sini. Tidak percaya jika sekolah Daffa berisi orang-orang yang memuakan.

"Saya hanya berbicara sekali dan perkataan saya itu adalah kebenaran." Ujar Rama mengawali.

Mereka yang berada di sana terdiam, mendengarkan perkataan Rama.

"Dia memang ibu dari anak saya, dan saya berada di sana melihatnya. Melihat jika kedua anak kalian berdua mengatai anak saya, jadi sepertinya wajar jika istriku membalas perbuatan anak-anak nakal itu." Jelas Rama dengan suara dalam.

Kedua orangtua anak yang dijewer Dara tadi terdiam dengan meneguk ludahnya berat. Aura Rama benar-benar menakutkan, jadi mereka berdua hanya bisa mengangguk.

"Saya merasa menyesal telah memasukan anak saya ke sini, saya pikir kalian akan mendidik anak-anak lain dengan baik. Tapi rupanya saya keliru, beruntung ada istri saya di sana dan menjewer kedua bocah itu, jika tidak. Saya tidak tahu apa yang akan saya lakukan pada kedua anak kalian." Seru Rama lagi dengan mata yang berkilat tajam.

Rama masih marah dengan sikap kedua teman Daffa yang memperlakukan anaknya seperti itu. Orangtua mana yang rela melihat anaknya dijahati seperti itu, bukan soal luka fisik tapi luka mental. Daffa adalah anak yang cerdas, anak itu selalu bertanya dan mencari tahu sendiri jika dirinya merasa tidak mengetahui apa-apa. Maka dapat dipastikan juga jika Daffa mengetahui apa kata-kata 'anak haram' dan dia benar-benar tidak ingin anaknya itu terluka oleh perkataan teman-temannya.

"Maafkan kami, Pak. Kami lalai menjaga para murid." Ujar wali kelas Daffa dengan sesal.

Rama mendengus. "Kali ini saya maafkan, tapi saya tidak ingin anak-anak tadi bersekolah di sini, jika kalian keberatan untuk mengeluarkannya. Saya tidak akan lagi menjadi donatur di sekolah ini, dan satu lagi. Saya tidak suka kalian memandang remeh istri saya, apalagi sampai ke pakaian yang dikenakan istri saya. Saya sebagai suami pun tidak pernah menegur pakaian yang dikenakannya, tapi kenapa kalian dengan manisnya menegur seperti itu? Saya harap kalian sadar posisi kalian selama ini, permisi."

Perkataan Rama memukul telak orang-orang yang berada di sana, tidak termasuk Dara yang benar-benar tidak mempedulikan perkataan Rama. Ketika pria itu melenggang pergi bersama anaknya, Dara pun mengikuti dari belakang.

Istri? Ck yang benar saja!

"Tumben kau ke sekolah, tidak biasanya."

Rama berujar ketika mereka semua tengah berada di mobil. Dara tumben menurut tidak menolak ajakan Rama untuk semobil dengan mereka. Mungkin wanita itu lelah jika terus beragumen dengannya, apalagi ada Daffa di tengah-tengah mereka.

Ucapan Rama membuat Dara terdiam memikirkan, dia juga tidak tahu mengapa dirinya bisa ada di sekolah Daffa. Dia sendiri saja aneh, tiba-tiba berada di sana dan mendapati jika bocah kesayangan Daffa sedang dibully.

"Ntah lah," jawab Dara acuh tak acuh.

"Papa tadi Mama keren, dia menjewer kedua teman Daffa. Dan mereka berdua ketakutan karena di marahi Mama." Seruan Daffa membuat mereka berdua menoleh kebelakang melihat Daffa yang memandang Dara kagum. Jelas sekali jika anak itu bangga pada ibunya.

Dara kembali ke depan kemudian mendengus, sedangkan Rama ikut berkomentar dan mengatakan jika Dara memang hebat. Dara tidak menanggapi mereka berdua, wanita itu hanya memandang keluar.

"Daffa ingin seperti ini terus deh, kita bertiga di dalam mobil. Ada Mama dan Papa, kita bisa jalan-jalan setiap Papa dan Mama libur berkerja, mau jalan-jalan ke taman juga nggak apa-apa. Asal kita bertiga bisa pergi bersama, bisakah kita seperti ini terus, Ma, Pa?" Tanya Daffa dengan wajah yang benar-benar berharap.

Perkataan Daffa sebenarnya perkataan yang normal dan biasa saja, ya biasa saja jika keluarga yang dimiliki Daffa pun umum. Seperti keluarga kebanyakannya, sayangnya permintaan Daffa yang sederhana itu tidak lah sederhana bagi Dara dan Rama. Rama jelas akan mengabulkannya, tapi Dara? Hanya wanita itu yang tahu perasaannya dan kemauannya seperti apa.


🍃
🍃
🍃

Tbc

Yaaampun baru kali ini aku nulis cepet, cuman sejam setengah nulis cerita ini wkwkwk padahal pas buka ini work aku nggak ada ide sama sekali. Tapi begitu aku buka langsung BOM aku bisa juga kelarin bab ini dalam waktu singkat. Hehehe ...

Btw ketika nulis bagian akhir yang Daffa aku nyesek banget :( anak sekecil itu cuman pengen gitu doang. Karena dia tahu amat sangat memahami, jika kedua orangtuanya nggak seperti orangtua pada umumnya. Yaampun jahatnya aku selama ini ke Daffa :( minhaee... Semoga kalian suka yaaa dengan chapter ini besok cerita Alanis okee? Hehee

The BeginingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang