Bab 8

876 88 30
                                    

💍 Pasca. 💍
•••

Berjam-jam mengurus persetujuan proposal antar divisi untuk pengarahan karyawan yang akan ikut pelatihan. Mingyu sejak tadi sudah menjadi penghuni tetap ruang kerjanya. Sebenarnya tidak ada libur untuk seorang Vice of President sepertinya, walau hari libur kerja pun dirinya harus menghadapi segala berkas-berkas yang tak kunjung rampung.

Kepalanya sudah pening sejak tiga jam lalu. Setelah sarapan dan membereskan rumah, ia memutuskan untuk menuntaskan semua tugas yang sudah tertumpuk di surelnya. Memang ini pekerjaan yang dia ingini, tapi ternyata bebannya sangat berat dibanding mengurus perusahaan cabang di Jogja. Ya tentu saja perusahaan pusat pasti memiliki afeksi besar untuk pemasaran dan kualitas karyawan.

Mingyu tidak ingin perannya sia-sia atau istilahnya makan gaji buta (gabut). Terlalu ambisius sudah menjadi gen di dalam tubuhnya. Bahkan di senja ini pun tidak ada yang berani mengusiknya bahkan sebuah alarm pengingat minum dari ponselnya. Akibat terlalu fokus bekerja kadang dirinya bisa lupa minum.

Mingyu pun membereskan beberapa berkas terakhir sebelum beranjak pergi ke dapur untuk mencari eksistensi penghilang dahaga. Namun yang dia dapatkan adalah sebuah tudung saji yang terbuka dan sebuah piring kotor seperti sudah digunakan oleh seseorang. Mingyu berpikir, siapa yang makan di jam segini bahkan makanannya tidak dihangatkan? Tapi dia tersenyum miring setelahnya saat mendengar suara bising di arah rak dapur. Eksistensi sang suami, Dinan Wonwoo yang entah sedang mencari apa sampai menundukkan tubuhnya.

Seketika saja tujuan awalnya untuk mengambil air putih pun hilang di ujung syaraf. Sekarang otaknya seakan memberikan impuls untuk dirinya mendekat ke arah sang suami. Dengan senyuman tipis dan tawa yang dia tahan, bisa dilihat Wonwoo sedang mengubrak-abrik isi rak bawah dan menggumamkan gelas yang ia cari.

Mingyu mendekat dan berhenti tepat di belakangnya. Baru saja ingin menyapa, tubuh Wonwoo sudah bangkit dan berbalik. Wajah kaget itu pun reflek membuat Mingyu juga ikut terkejut. Tanpa sadar ia memajukan tubuhnya untuk menahan gelas kaca yang goyah di pegangan tangan Wonwoo agar tidak jatuh. Keduanya terdiam, hingga suara Wonwoo membuyarkan lamunannya.

"L-lu ngapain disini?"

Mendengar suara gugup dan wajah Wonwoo itu tiba-tiba membuatnya tersenyum tipis. Apalagi ketika tangan kurus itu mendorongnya sekuat tenaga. Tapi Mingyu tidak bergeming sedikitpun. Lucu juga jika sekali-kali menjahili wajah dingin suaminya ini. Bagaimana teman-teman?

"Ngapain? Ini kan rumah saya. Dapur saya."

"M-maksudnya ngapain lu berdiri disini?"

Oh, kenapa suara Wonwoo terdengar imut di telinga Mingyu. Ia pun seakan ingin mendengar lebih jelas bagaimana bibir plum itu berbicara dan mengeluarkan suara bariton yang tiba-tiba menjadi candunya. Ia mendekatkan wajahnya namun Wonwoo malah menunduk. Kenapa? Apa segugup itu berhadapan dengan dirinya?

'Ayolah Nan, jangan nunduk.' gumam Mingyu dalam hati.

"Mau nangkep maling yang nyuri masakan saya."

Entah kenapa Mingyu ingin sekali menghidu harum tubuh Wonwoo yang terasa menenangkan. Namun matanya menangkap bibir suaminya yang belepotan sisa makanan. Ia terkekeh dan mengelap bibir plum itu dengan ibu jarinya.

"Enak ya makannya? Sampe belepotan begini."

Seketika Mingyu langsung mengulum senyumnya lantaran gemas dengan wajah Wonwoo yang memerah dan mata rubah yang melebar itu. Ternyata tindakannya membuat sang suami bereaksi lucu. Kalau saja dirinya tidak bisa menahan nafsu, dipastikan Mingyu sudah menciumi wajah merah lucu yang ada di hadapannya.

Pasca [Meanie Local AU]Where stories live. Discover now