Huit

28 12 10
                                    

Suasana rumah itu tampak sepi. Kakinya mencoba melangkah sembari menata dan menguatkan hatinya. Di sana, ia merasa tak ada tanda-tanda kehidupan sama sekali. Reyna tercengang melihat dekorasi dan tata letak benda yang tak berubah sama sekali, persis seperti terakhir kali ia berada disana. Rumah kedua orang tuanya.

"Non Zira, pulang?" ucap seseorang yang tak asing di telinganya.

Sosok itu langsung memeluknya dengan erat, begitu sebaliknya. Mereka saling melepaskan rindu. Dulu, ditempat itu hanya bibinya yang sangat menyayanginya. Saat masih kecil hanya bibinya itu yang selalu ada disampingnya, menemaninya saat sendiri, kala orang tuanya pergi bersama, atau ketika ia mendapatkan hukuman dari papanya. Dari bibinya itu ia bisa mendapatkan kasih sayang sosok ibu dan juga ayah.

"Bibi apa kabar?" tanya Reyna.

"Baik, Non. Non Zira, sudah ke kamar Tuan?" Reyna menggelengkan kepala. Bibinya itu tahu betul bagaimana keadaan Reyna selama berada di rumah.

***
Setelah melepas rindu dengan bibinya itu, Reyna melangkahkan kakinya memasuki bilik tidur papanya. Saat Damar mengetuk pintu dihadapannya semua mata menatapnya dengan senyuman. Melihat itu semakin erat pula genggaman tangannya pada Damar. Reyna masih belum siap. Disana Reyna melihat papanya yang tampak sedikit lebih pucat, ada mama dan kakak-kakaknya juga.

"Kamu sudah pulang, sayang?" tanya lelaki setengah abad itu lemah.

Mendengar panggilan itu, bukannya terenyuh Reyna bahkan hampir saja tertawa. Jika, Damar tak meremas tangannya untuk menghentikannya. Siapapun takkan percaya melihat orang yang dulunya dengan mudah mengangkat tangan hanya untuk menghukumnya dan mengatainya 'anak sialan', kini memanggilnya dengan sebutan 'sayang'.

"Papa, apa kabar?" tanya Reyna, ia masih mencermati keadaan papanya itu.

"Papa, baik. Duduk sini, sayang," pinta sang papa, menepuk-nepuk kasur tempatnya terbaring.

"Nggak perlu, Pa. Rey kesini cuma mau mampir aja," ucapnya.

"Kamu mau balik tinggal disini lagi, kan?" tanya papanya. Reyna diam.

"Papa, rindu banget sama kamu, Ra."

"Abang harap kamu mau kembali tinggal disini lagi, Dek."

"Sorry, gue nggak bisa berasa di tempat yang nggak pernah menerima gue, Bang," ucapnya ketus.

Reyna tahu tidak seharusnya ia bersikap seperti ini saat papanya terbaring sakit. Tapi, ia tak peduli dengan itu. Bahkan, bagaimana pedapat orang yang melihat tingkah lakunya sekalipun. Karena, yang tak merasakan tak akan pernah paham dan yang tak mengalami tak akan pernah mengerti. Tak semudah itu mengobati luka yang berkali-kali ditetesi cuka.

Sudah cukup lama ia berada disana, mamanya telah menjelaskan bahwa ada tumor jinak di usus papanya dan harus segera dioperasi. Sayangnya, papanya itu selalu menolak untuk dioperasi sebelum bertemu semua anaknya dan meminta maaf atas segala salahnya.

"Novan, Papa harap kamu mau ambil tawanan Papa kemarin."

"Pa, Novan mohon. Sekarangkan sudah ada Zira, kenapa bukan dia aja?"

"Kamu tau sendiri bagaimana adikmu itu. Dia, tak bisa diandalkan untuk jadi pemimpin."

"Tapi—."

Reyna tak ingin mendengar kelanjutan dari percakapan itu lagi. Tak disangkah, papanya itu tak pernah berubah. Ia pikir dengan menjenguk papanya ia akan mendapatkan kehangatan keluarga atau setidaknya ketulusan keluarganya menerimanya. Nyatanya, semua adalah palsu. Dari dulu sampai sekarangpun papanya itu tak pernah menyayanginya ataupun merindukannya. Hanya ada nama kakak-kakaknya di hati dan kepala papanya. Entah, kemana namanya ditaruh.

Niatnya untuk kembali melihat keadaan papanya ia urungkan. Ia melipat tangan dan menenggelamkan kepalanya di meja makan. Ia belum siap terluka kembali.

"Kenapa ada disini, Zi?" tanya Damar mengejutkan Reyna.

Reyna mengangkat kepalanya. "Nggak papa."

"Hemm, melarikan diri?"

"Lo bener-bener mau bikin gue mati, ya?" tanya Reyna ketut.

"Maksud lo, Zi?"

"Lo tahu banget apa maksud gue, Mar. Lo yang bawah gue kesini. Lo bilang lo ngerti posisi gue, nyatanya nggak sama sekali. Lo sama sekali nggak ngerti itu," jelas Reyna lesu.

Awalnya, Reyna kira Damar akan mengerti bagaimana berada posisinya. Pada nyatanya, memang hanya dia sendiri yang tahu rasa sakit itu. Bangkit dari duduknya, Reyna melewati Damar begitu saja. Ia berjalan keluar dari rumah itu. Meninggalkan Damar dengan penuh tanya.

Kakinya melangkah begitu saja, tanpa tahu kemana arah tujuannya. Hatinya sedang kacau, tak berartikah dia untuk papanya?

***
"Kak, adek mau es krim," tunjuk gadis kecil itu ke penjual es krim di dekat mereka.

"Oke, kamu tunggu disini aja, ya," pinta sang kakak. Gadis kecil itu mengangguk dengan antusias.

Di taman, Reyna sedang duduk disebuah bangku taman. Ia melihat interaksi lucu kakak adik itu sedari tadi. Dulu, bundanya sering mengajak kedua kakaknya pergi ke taman. Setiap kali Reyna ingin ikut, ia tak pernah diperbolehkan. Harus rajin belajar, katanya. Jadi, sejak dari dulu ia tak pernah pergi ke taman, hingga ia dewasa sekalipun. Orang yang petama kali menyajaknya pergi ke taman adalah Dhanny.

Gadis kecil itu masih setia menunggu kakaknya selesai membeli es krim yang tampak ramai. Saat melihat kakak gadis kecil itu hendak menyebrang, ia melihat ada motor yang berjalan dengan kecepatan tinggi.

"AWAS, DEK!" teriak Reyna sambil berlari ke arah kakak gadis kecil itu yang tampak tak melihat jalan.

Ia memdorong tubuh kakak gadis kecil itu ke arah trotoar. Sayangnya, karena kurang hati-hati malah Reyna yang menjadi korban.

Cittt...

Brak...

Tubuhnya terpental ke sisi jalan. Ia merasa ada sesuatu yang mengalir dari kepala, seperti darah. Tiba-tiba pandangannya jadi mulai mengabur. Ia masih bisa mendengar suara-suara orang yang berada disekitarnya, hingga kesadarannya mulai habis dan semuanya menjadi gelap.

Tanpa RasaWhere stories live. Discover now