Gerimis Minggu Terakhir

14 3 4
                                    

Sejak malam tadi, kota Jakarta tak habis-habisnya diguyur hujan. Beraneka macam bunyi petir yang menakutkan sekitar jam tiga pagi. Hingga mulai reda pada jam lima shubuh. Hawa dingin nan sejuk membuatku tak mau beranjak dari kasur. Rasanya, bantalku menyuruh untuk tetap tidur dengan berbagai mimpi yang indah.

Tapi, alarm di handphoneku tak mau kalah dengan keadaaan. Dia berbunyi dengan nyaring membangunkan aku seperti biasanya. Aku menutup telingaku dengan guling, tapi Ummi mengambil guling itu dan menarik paksa selimutku, sehingga aku bisa merasakan hawa dingin yang melebihi hari-hari biasanya.

"Sayang bangun dong." Ummi menggoyangkan tubuhku.

"Rara masih ngantuk, Mi." Aku yang masih memejamkan mata.

"Ayo, Ra. Nanti pulang sekolah kita mau siap-siap holiday. Kalau kamu nggak berangkat sekolah, yaudah nggak jadi." Ummi menyibakkan gorden walaupun langit tak menunjukkan kecerahannya.

"Serius, Mi?" tanyaku dengan suara berat khas orang bangun tidur.

"Iya, Ra. Yaudah cepat mandi, nanti diantar sama Abi."

Langkah Ummi meninggalkan kamarku bisa terdengar dari hentakan sepatunya. Tanpa berlama-lama, kupaksakan mataku agar melek.

...

"Bi, emang nanti malam mau kemana, sih?" tanyaku penasaran pada Abi yang sedang fokus menyetir.

"Ke Puncak. Pasti kamu udah tau dari Ummi, ya?"

"Iya, Bi. Emangnya ada acara apa lagi, Bi?"

"Nggak ada acara apa-apa, kok. Abi mau ajak kalian liburan aja, udah lama juga Abi nggak liburan sama kamu, Ra."

"Kalau besok takut macet, sayang. Jadi kita berangkat malam supaya bisa istrirahat disana juga," jawab Abi sambil mempercepat perjalanan menuju sekolahku.

Gerimis masih membasahi area ibukota. Aku diantar Abi hingga masuk ke dalam halaman sekolah. Tepatnya berhenti di depan tiang bendera Segara High School. Tiang yang menjadi lagenda di setiap sekolah.

"Ra, nanti Abi dan Pak Adi nggak bisa jemput. Kamu naik ojek aja, ya." Cium Abi dikeningku.

"Siap, Bi."

Aku turun dari mobil dengan menengadah dibawah dua telapak tanganku agar tidak terkena gerimis. Untungnya, jarak lorong sekolah dengan mobil Abi tidak terlalu jauh. Jadi, baju sekolahku tidak terlalu basah.

Aku berjalan santai di sepanjang lorong, sambil melihat teman-teman merapikan serta mengeringkan jas hujan ataupun payung yang mereka bawa. Antisipasi mereka terhadap cuaca seperti ini cukup dibilang sangat antusias. Apalagi jika jalan menuju sekolah terhambat oleh genangan banjir, sudah pasti yang masuk rumahnya dekat dengan sekolah. Sehingga, orang yang seperti itu tak perlu memikirkan waktu dan jalan yang akan dilalui menuju sekolah.

"Manja banget diantar pakai mobil ke sekolah," ucap Kemal yang tiba-tiba ada disampingku.

Langkahnya menyamai langkahku. "Seterah Key, mau berpendapat seperti apa," jawabku mempercepat langkah kaki.

"Lo marah gue bilang manja?"

"Nggak."

"Ternyata Rara bisa marah, ya." Ledek Kemal memperhatikan wajahku.

Aku hanya diam dan terus berjalan menuju kelas.

"Ra, seriusan lo marah?"

Aku tetap diam, hingga sampai di salah satu anak tangga yang harus kulalui agar bisa naik ke lantai dua.

"Rara!" teriak Kemal memanggil namaku.

Semuanya yang sedang berada di tangga menoleh ke arahku. Kemal si manusia menyebalkan setelah kakaknya ternyata tak berbeda jauh. Sudah pasti aku malu setengah mati dilihatin oleh teman-teman.

KEY (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang