pertemuan dua saudara

413 42 0
                                    

Suasana pertemuan itu tak diliputi keharuan dan kerinduan layaknya saudara yang telah lama tak berjumpa. Dingin, seperti hembusan AC yang menerpa wajah Eza. Kaku seperti sambutan Rey kepada orang yang dipanggil Kakak. Kebekuan tak kunjung mencair, karena mereka sama-sama bungkam. Tenggelam dalam pemikiran masing-masing.

"Kamu kaku sekali sekarang Rey, kayak kanebo." Eza Eka Atmaja buka suara, berusaha menggulung jarak melihat perubahan sikap adiknya. Tak ada tawa dan senyum seperti beberapa tahun sebelum ia menghilang. Lelaki dengan tubuh kekar itu terus saja menatap adiknya yang menunduk.

"Aku sudah lama mencarimu, Rey. Dan sepertinya kamu sehat."

Rey tak berniat menanggapi basa-basi kakaknya. Ia tak pernah menyangka akan berpapasan. Apalagi rumahnya dahulu jauh dari tempatnya sekarang. "Sepertinya Kakak berbeda dengan Ayah yang terang-terangan menunjukkan emosi. Kakakku menjadi seorang pembual."

Eza menatap sendu mendengar pertanyaan Rey, ada pilu yang menggores hati. Meski Rey memanggilnya Kakak, ia merasa seperti orang lain. "Aku tidak membual, Rey. Aku selalu mencarimu karena kamu adalah adikku." Rey tersentak mendengar pernyataan kakaknya. Pengakuan tentang siapa dirinya dalam keluarga, sebagai seorang adik.

Rey berusaha tenang meski enggan menatap bola mata penyesalan Kakaknya. "Sebenarnya apa maksud Kakak mengajakku bicara?" Rey menatap minuman yang baru saja di antarkan. Jus tomat kesukaan lalu tersenyum sinis mengetahui bahwa Kakaknya masih ingat.

Eza mengembuskan napas panjang dan menyandarkan punggung ke kursi. Bingung, bagaimana merangkai semua kata juga tanya setelah sekian lama tak ada perjumpaan. Bibirnya kelu seperti membeku.

"Apa kamu tidak kangen dengan Kakakmu ini? Jujur, sejak kamu pergi, aku tak bisa berhenti memikirkan semuanya. Aku ingin mengakui tapi dari lubuk hati menginginkanmu kembali ke rumah. Pulanglah Rey." Dengan segenap keberanian, ia mengatakan maksud kedatangannya.

Wajah Rey mengeras. Bayangan masa silam melintas. Semua bertabrakan. Kenangan indah yang penuh kepura- puraan, menggores lara semakin dalam.

"Kenapa kamu tiba-tiba pergi Rey?" Eza menyeruput minumannya. Matanya menangkap ketidaksukaan dari pertanyaannya.

Hening. Rey menaikkan sudut bibir. Hatinya ingin memaki lelaki yang berada di depannya. Namun semua diurungkan.

"Apa kamu sudah ingat semuanya, Rey?" Wajah Eza berubah sendu. Tak berani menatap adik yang ingin sekali dipeluknya.

"Kalau tak ada hal penting yang ingin Kakak katakan, aku pergi dulu." Rey beranjak pergi tetapi Eza menahan dan memintanya kembali duduk. Mau tak mau Rey mematuhinya setelah menepis tangan Eza dengan kasar.

"Rey, Kakak salah selama ini mengabaikanmu. Bisakah kita--"

"Anggap hari ini kita tidak pernah bertemu atau kalau perlu tidak usah menganggapku sebagai adikmu," potong Rey dengan penuh penekanan dan nada kebencian. Eza tersentak kemudian menunduk. Gurat penyesalan tergambar jelas membuatnya tak bisa menyangkal.

"Semua hanya masa lalu Rey. Semua sudah berubah, termasuk Ayah." Eza terus saja membujuk.

"Berubah?" Rey tersenyum, sinis. "Empat tahun apa mungkin mengubah kebencian yang sejak aku lahir sudah tertanam dalam diri Ayah. Sangat lucu."

Ayah memang pernah melakukan kesalahan, Rey. Tapi semua orang bisa berubah." Eza tidak menyerah untuk meyakinkan. Namun, tak ada kebaikan yang terlihat di mata Rey tentang ayahnya. Hanya kebencian dan amarah. Tentu ia maklum, mengingat semua yang pernah terjadi. Dialah saksi dari segala penderitaan adiknya. Hati kecil terus bertanya, seandainya, dulu ia menepati janji kepada ibu akankan semua ini terjadi. Janji untuk menjaga Adik satu-satunya.

Buah kebencian untuk ayah END (Versi revisi)Where stories live. Discover now