percakapan dan kopi pahit

194 13 0
                                    

Pagi menjelang, saat terbangun Rey heran sudah memakai pendingin ruangan juga selimut. Ia beranggapan kakaknya yang melakukan semua itu. Jiwanya diserbu perasaan aneh dan ia tidak tahu itu apa. Apakah benar semua kepedulian dan perhatian kakaknya adalah bukti cinta atau hanya bentuk penyesalan.

Ia beranjak mandi dan berganti pakaian. Cukup lama ia duduk di tepi ranjang, memperhatikan selembar kenangan, waktu bersama Ray.

"Rasanya aneh, tak melihat dirimu beberapa hari ini, Kak." Rey langsung menyambar ponsel dan melihat begitu banyak pesan dan telepon dari Ray. Semalam ia begitu ngantuk akibat efek obat, tentu saja ia lupa mengabarkan keadaannya.

Sudah beberapa hari di Jakarta dan aku mulai kangen dengan candaanmu, Kak. Aku ingin secepatnya kembali ke Batam.

Begitu pesan terkirim, suara ketukan membuatnya tersentak kaget. Meletakkan ponsel di nakas, Rey membuka pintu kamar dan melihat Eza tengah tersenyum padanya. Bukannya memakai baju kerja, kakaknya justru masih menggunakan kaos juga celana pendek santai.

"Apa tidurmu nyenyak, Rey?"

"Lumayan."

"Syukurlah. Yuk kita sarapan."

Jujur, Rey takut berhadapan dengan ayahnya di meja makan. Menatap bola mata yang selalu memberinya hukuman juga penghakiman. Namun, ia ingin mempercayai ucapan kakaknya.

"Kakak duluan saja, Rey menyusul belakangan."

"Kamu sudah di sini. Ayo kita makan bersama. Tenanglah, Kakak akan di sampingmu." Eza menarik tangan Rey dan menggandengnya ke ruang makan.

Di meja makan yang terbuat dari batu marmer berwarna coklat muda dipadukan putih tulang, sudah berjajar beraneka sajian. Telur mata sapi, sosis, nasi goreng, roasted bread juga salad buah tertata apik. Jus buah, susu, dan air putih melengkapi menu pagi itu. Di ujung meja, ada secangkir kopi yang wajib diminum Pak Atmaja setiap pagi.

Rey bernapas lega, ayahnya belum turun bergabung. Setidaknya ia bisa menyiapkan mental terlebih dahulu. Baru juga duduk di kursi, ayahnya menuruni tangga.

"Ayah, ayo kita makan bersama." Eza berdiri dan mendekat, memegang bahu ayahnya agar duduk di kursinya. Rey hanya bisa mencuri lihat adegan yang membuatnya iri sejak dulu. Kedekatan ayah dan anak.

Pak Atmaja diam dan hanya memperhatikan Rey yang menunduk. Ia menyeruput kopinya dan tanpa bertanya apapun, menyantap sarapannya.

"Ayah, apa kabar? Kulihat Ayah sehat saja." Rey membuka percakapan.

Sejenak Eza tak percaya, Rey berani memulai percakapan. Namun, sedetik kemudian senyum merekah di bibirnya.

"Untuk apa kamu pulang?" tanya Pak Atmaja dengan tatapan tajam dan setenang mungkin. Ia mengambil potongan telur dan menyantapnya.

"Kakak bilang, Ayah sakit. Jadi aku memutuskan untuk pulang." Rey menjawab dengan tenang. Bahkan tak ada raut ketakutan seolah yakin ayahnya tak akan berbuat lebih.

Pak Atmaja tertawa, tangannya terhenti memotong telur mata sapi di hadapannya. Ia memutar kepala, menatap anak lelakinya yang mencuri lihat. "Sepertinya kamu suka sekali mendengar Ayah sakit sehingga memutuskan pulang. Kamu pasti begitu berharap aku mati bukan?"

Entah mengapa, Rey tak gentar dengan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkannya. Justru dia senang, Ayahnya buka suara untuknya setelah sekian lama. Sedangkan Eza begitu cemas, tetapi tetap membiarkan perbincangan yang sedikit panas itu berjalan apa adanya. Ia akan langsung memotong jika dirasa sudah panas.

"Aku hanya ingin memastikan Ayahku sehat saja. Jika aku memang menginginkan kematianmu untuk apa aku pulang? Bukankah lebih baik aku menunggu berita kematian saja? Untuk apa repot-repot menunjukkan muka."

Buah kebencian untuk ayah END (Versi revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang