Chapter 20

134 10 2
                                    


Siang ini terasa amat panas, rasanya matahari tepat satu meter di atas kepala Adina. Sudah belasan lembar tisu yang di buang Adina sedari tadi untuk menyeka keringatnya. Kalau saja bukan karena mamanya yang menyebalkan itu, ia tentu tak akan pergi begitu saja dari apartemen hingga melupakan kunci mobilnya. Mau balik ke apartemen, Adina terlalu gengsi bertemu mamanya itu.

Bagaimana Adina tidak marah, ternyata selama ini mamanya ikut andil atas kejadian yang menimpa kakaknya Zia. Mamanya adalah penyebab kakaknya mengalami kejadian hina itu. Seandainya saja Adina berada di posisi kakak nya, Adina tidak yakin masih bisa hidup layaknya orang normal seperti yang Zia lakukan. Bagaimanapun kehormatan adalah sesuatu yang amat berharga bagi seorang gadis, dan mamanya dengan kejam mempermainkan kehormatan seorang gadis demi kepentingannya sendiri.

"Kak Zia pasti akan membenciku, jika tahu apa yang telah mama lakukan."

Adina terus saja bertanya-tanya resiko apa yang nantinya akan ia dapatkan jika kakaknya itu tahu kebenarannya. Walau kakaknya tak pernah membicarakan bagaimana asal muasal Reyhan. Tapi Adina sangat yakin itu adalah buah dari apa yang telah di lakukan mamanya.

Tit...

tit..

tit...

Suara klason yang tiba-tiba, membuat Adina berteriak kesal. Bagaimana tidak klason itu hampir saja membuatnya terjungkal mencium trotoar, seandainya jika ia tidak segera menyeimbangkan tubuhnya. Dengan hati dongkol Adina kembali melanjutkan jalan kakinya menuju halte terdekat.

Tit..

tit..

tit...

"Shit! Apa mau mu sialan?" Paki Adina akhirnya berbalik melihat mobil yang sedari tadi menglason itu. Sport hitam mentalik yang sangat elegan, pasti pemilik mobil sialan ini sangat kaya, tapi apa urusannya dengan Adina. Tak bisakah mobil ini terus berjalan tanpa harus menglason.

"Jika kau ingin menggangguku lebih baik urungkan niatmu, karena aku bukan dalam mood untuk meladeni orang kaya gila seperti mu."

Bugh...

Marah Adina berdiri dengan berlagak pinggang. Lalu menendang ban mobil sport itu dengan kesal.

"Keluarga Rachman seperti gudangnya wanita perkasa, ya." Pintu mobil terbuka melihatkan seorang pria tampan yang lengkap dengan stelan kantornya.

"Om mesum!" Pekik Adina tidak percaya, melihat Bian kini tengah berdiri didepannya.

"Berhenti memanggilku dengan sebutan itu, kalau saja kau bukan adik Azia. Sudah ku jahit mulut manis mu itu." Ucap Bian dengan tenang namun terdengar menakutkan.

"Kau pikir aku takut, OM MESUM. Katakan apa yang ingin kau katakan dengan cepat. Karena aku tidak punya waktu meladeni mu." Ucap Adina yang  sama sekali tidak takut dengan perkataan Bian tadi.

"Baiklah, awalnya aku pikir kau butuh tumpangan mengingat temperatur saat ini terlalu panas. Tapi sepertinya pikiranku salah. Kalau begitu lanjutkan joging mu di siang bolong ini." Ejek Bian lalu kembali memasuki mobilnya.

Tawaran yang menarik pikir Adina, namun dia malah membuat pria itu kesal. Sekarang pria itu sudah masuk ke mobilnya, dan sama sekali tak berusaha membujuknya. Dasar pria tidak berperasaan. Dumel Adina menatap dongkol ke arah mobil hitam, yang kini kembali menghidupkan mesinnya.

"Yakin tak ingin tumpangan?" Tanya Bian lagi akhirnya berbicara dari dalam mobilnya dimana kaca mobil itu sudah ia turunkan.

"Aku hanya tak ingin calon istriku marah karena membiarkan kau berjalan disiang bolong seperti ini."

The Red DressWhere stories live. Discover now