"Aku ingin menemui Naff."
Pria yang diajak bicara itu tak bergeming dari meja kerjanya. Terlihat sibuk memeriksa berbagai surat politik yang ada hingga mengabaikan satu wanita disana.
"Aku bilang, aku ingin menemui Naff!" Ini sudah ke dua belas kalinya Thanasa memohon pada sang suami untuk membawanya menemui putra tercinta. Namun, mau sekeras apa ia berteriak dan meminta, Delano hanya diam.
Menghela napas panjang. Thanasa bangkit dari dudukannya diatas ranjang dan menghampiri Delano.
"Baiklah kalau kau tidak memperbolehkanku. Apa boleh buat, aku akan mencarinya dengan usahaku sendiri kalau begitu."
Surat dihentak kuat oleh Delano begitu mendengar penuturan istrinya. Matanya menatap penuh amarah. "Sekali aku bilang mengasingkannya, maka ia tidak akan pernah kembali. Dan dia juga tidak boleh bertemu dengan salah satu anggota keluarganya."
"Aku Ibunya! Apa aku tidak berhak menjenguk anakku?!"
"Sadarlah kau bukan Ibu kandungnya." Perkataan Delano cukup menyakitkan untuk Thanasa. Mata wanita itu tampak merah dan cairan- penuh menggenang disana. Sayang, mau ditahan sekuat apapun, nyatanya ia tidak bisa menghentikan lelehan bening yang sudah mengalir duluan.
"Aku tidak akan menyerah oleh perkataanmu Delano. Naff tetaplah anakku. Terserah kau ingin menghalangi seperti apa, aku tidak akan peduli."
"Dia bukan bagian dari Altair lagi. Jangan bertindak gegabah, Thanasa. Kita harus fokus mencari Dandelion."
Kaki Thanasa melangkah satu tapak. Ia mendongak dan menatap lekat pada manik gelap didepannya. Inikah pria yang ia nikahi?
Terdiam beberapa detik, Thanasa mengangkat suara. "Apa benar kau yang memerintahkan orang lain untuk membunuh Lilia dulu?"
"Itu yang terbaik untuk semuanya."
"Untuk semuanya atau untuk dirimu?"
"Jika aku tidak melakukannya, rakyat akan menyalahkanmu saat itu. Aku tidak punya pilihan."
Thanasa menggertakkan gigi. "Aku tidak memintamu untuk membunuhnya Delano! Aku hanya minta kau mengasingkannya. Aku hanya marah saat itu. Aku tidak benar-benar membenci Lilia."
"Sudah terlambat, posisimu sangat bahaya saat itu. Aku tidak punya pilihan."
"Tapi kenapa kau harus membunuhnya?!"
"Aku sudah bilang, itu yang terbaik untuk semuanya."
"Apa kau Delano yang aku kenal?"
"Aku memang seperti ini sejak dulu Thanasa."
"Terserah. Aku tidak peduli. Aku akan menemui Naff." Ucap Thanasa langsung pergi dari ruangan meninggalkan Delano sendirian.
***
"Pangeran."
"Hm?"
Saat ini, Hazel sibuk membantu Naff menyeka tubuh lantaran pria itu masih agak lemah untuk bergerak. Apalagi setelah kejadian semalam, tubuhnya jadi lelah.
"Kenapa kau masih mau melindungiku? Padahal kau tau aku yang mencelakai Putri Dandelion."
Bibir Naff tersimpul keatas. Ia memandang sendu pada Hazel. "Aku tidak akan meninggalkanmu. Aku tidak akan jauh darimu. Walau aku membencimu saat ini." Tangan kanan itu terulur dan mengusap pelan pipi Hazel. "Kau bisa menganggapku pria bodoh. Pria bodoh yang masih mencintai seorang gadis yang telah mencelakai adiknya."
"Kau memang pria bodoh."
Naff terkekeh. Sedetik kemudian, pria tersebut menatap Hazel lurus-lurus. "Jangan menjadi jahat hanya karena kau dijahatin oleh yang lainnya, Hazel."

YOU ARE READING
THE CONQUERED CROWN PRINCE (TAMAT) ✓
FantasyKeputusan yang diambil oleh Naff- sang Putra Mahkota membuat Ayah dan Ibunya murka. Semua keluarga dan rakyat marah akan tindakan yang dilakukan oleh Pangeran Naff. Pria itu berencana menikahi seorang gadis yang sudah berani mencelakai adiknya sendi...