Sirkel B - 25

733 147 18
                                    

Pras Berdiri kaku di depan pintu apartemennya, tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Setelah bertahun-tahun lamanya, ayah dan ibu angkatnya berkunjung. Biasanya setiap ada sesuatu pasti ia yang dipanggil ke rumah.

"Kalian tau dari mana apart Pras?"

"Kami ngga kamu suruh masuk dulu?"

Pertanyaan ibu barusan membuat Pras salah tingkah dan memepetkan dirinya pada tembok, mempersilahkan kedua orang tuanya untuk masuk.

"Kamu kan rajin kirim raport ke rumah, ibu tau dari liat alamat yang kamu tulis disana."

'Ibu'

Pras hampir-hampir terbang rasanya kalau saja tidak disadarkan ayah yang tidak sengaja menabrak bahunya saat akan duduk.

Mereka biasanya selalu memakai kata ganti 'saya'. Dan apa yang barusan dia dengar benar-benar hal yang Pras rindukan. Karena dulu, dia pernah mendapatkannya sebelum lahirnya anak pertama dari keluarga Arlerto.

Ngomong-ngomong masalah bocil, Pras baru sadar adiknya tidak ada disana.

"Vanilla ngga diajak?"

Ibu menunjuk jam yang ada di dinding dekat televisi. "Masih pagi buta Pras, dia masih tidur."

Pras jadi ingin mendumal, jam setengah enam mereka bertamu. Benar-benar mengorupsi waktu tidurnya yang seharusnya sampai jam 6. Tapi mengingat kembali ini yang pernah ia impikan ditambah ibu memanggil dirinya sendiri 'ibu' saat berbicara padanya tadi, Pras tidak jadi sebal.

Jarang-jarang mendapat perhatian kombo seperti ini.

"Kamu mandi dulu, ibu mau masak. Nanti kita makan sama-sama."

Pras menatap ayahnya reflek, mendapat anggukan dari pria itu. Seolah membenarkan apa yang ibunya katakan.

'Apa gara-gara kemaren ngasih kopi + roti komplit sama selai ya ke mang Ading. Makanya hari ini berkahnya ngalir.'

Pras tidak yakin sih, tapi demi menambah bumbu rasa syukurnya dia sambung-sambungkan saja hal itu.

Tidak butuh waktu lama untuk dia mandi, karena Pras benar-benar ingin memastikan kembali apakah ibu dan ayahnya masih ada atau tidak.

Benar saja, ayah tengah minum kopi di meja makan, sedangkan ibu masih ada di dapur entah memasak apa.

"Pras kenapa diam disitu? sini."

Demi apapun, suara ayah tidak seperti biasa. Pras merasakan kehangatan yang ia rindukan 3 tahun belakangan ini kembali. Meski hanya sepersekian detik, karena setelahnya ia berusaha membatasi diri agar tidak terlalu terbang jauh. Takut akan kembali jatuh ke dasar jurang yang mungkin jauh lebih curam.

Ibu datang membawa nasi goreng telur, makanan kesukaan Arka sebenarnya. Tapi Pras tidak masalah, dia akan suka jika ini masakan ibu.

lima hari lalu, saat ia diundang makan malam ke rumah. Tidak ada hal penting yang terjadi, bahkan mereka terkesan kaku. Tapi sekarang, Pras bisa melihat usaha ayah dan ibu yang seperti ingin berbicara banyak hal padanya.

"Pras."

"Iya, ayah?"

"Sebulan belakangan ayah rindu kamu, ayah sadar seberapa salahnya ayah dan ibu biarin kamu hidup sendiri. Seberapa salahnya ayah sudah menarik kamu dan berakhir mengasingkan kamu."

"Hari itu, ayah ada urusan kerjaan di sekitar bogor, pulangnya ayah berkunjung ke panti asuhan dimana ayah mengadopsi kamu. Bu Syifa hampir ngga ngenalin ayah, kalo bukan karena ayah ngingetin."

Ayah menaruh kacamatanya di sebelah gelas kopinya, sementara ibu sudah sibuk membawa bekas makan mereka ke belakang. Seolah memberi waktu untuk ayah dan anak ini berbicara.

"Bu syifa ngucapin banyak terimakasih ke ayah karena katanya kamu banyak menceritakan ayah dan ibu ke bu Syifa. Kamu cerita bagaimana kami membesarkan kamu dengan baik. Bagaimana kami mengurus kamu seperti anak kami sendiri. Bagaimana kamu merasa kami rumah yang aman. Dan bagaimana kami.. membuat kamu tidak pernah kesepian."

"Pras... semua itu kebalikan bukan dari yang seharusnya. Ayah dan ibu menutup mata, menganggap finansial saja sudah cukup untuk kamu. Pras maafkan kami.. maafkan kami."

Ayah mengusap air matanya yang hampir turun, Pras tidak tahu harus bereaksi apa sekarang. Semuanya begitu tiba-tiba, dan dia masih merasa terkejut dengan pengakuan ayah.

Ibu duduk kembali di tempatnya tadi, tangannya meraih tangan Pras diatas meja, mengusap jemari itu pelan.

"Ibu sudah gagal menjadi ibu yang baik untuk Pras, ibu melupakan semua janji ibu dan semakin denial setiap merasa apa yang ibu lakukan salah. Saat ibu berdamai dengan kesalahan ibu sendiri, ibu tetap diam hanya karena merasa tidak sanggup mengurus dua anak Pras, ibu payah. Ibu payah.."

"PRAS OI BELUM BANGUN LU YA?! INI SENIN. PRAAASSS!!"

Seakan ditarik pada kenyataan, suasana haru di ruang makan itu sedikit sirna. Pras menutup matanya, ibu dan ayah mengusap air mata mereka. Dan di ruangan berbeda Davin tengah mengetuk pintu kamarnya brutal.

"PRAS LO LAGI KELUAR APA? KOK GA ADA DI KAMAR. Tumben bener jam se.. kok rame?"

Pras mendengus sebal, Davin sudah menghadap ruang makan sekarang. Saat masuk anak itu pasti langsung nyelonong ke arah kamarnya dan tidak menoleh ke arah utara dimana ruang makannya berada.

Lagian memang dia tidak mendengar ibunya berbicara apa?

'Ngrusak momen aja bangke'

"Halo, saya ibunya Pras. Kamu temannya ya? mau menjemput?"

Davin tersenyum kikuk, berjalan mendekati ruang makan dan menyalimi kedua orang tua Pras bergantian.

"Davin tante, kebetulan saya tinggal disini juga makanya jemput Pras mau berangkat bareng."

"Ya sudah, kalian berangkat saja ya. Pras nanti ibu beresin dulu apartemen kamu, gapapa?"

Pras menggeleng cepat, "jangan bu, Pras biasa sewa orang kok buat bersih-bersih."

"Ngga, ibu aja kali ini. Udah kamu berangkat bareng Davin gih, udah jam setengah tujuh lebih juga."

Hati Pras menghangat, rasanya ingin menangis sekarang tapi sekuat tenaga ia tahan. Setelah menyalimi kedua orang tuanya, Pras menggandeng setengah menyeret Davin keluar.

Hingga saat di lift air matanya baru turun.

"Bangsat gua seneng banget." Ucapnya menepuk lengan Davin berkali-kali, melupakan rasa kesalnya tadi.

"Pras itu beneran ibu bapak angkat lo kan? yang lo ceritain? yang telpon lo buat ga kasih uang jajan karena masuk bk? bener kan yang itu?"

Pras mengangguk dengan senyum dan lelehan air mata yang masih turus. "Anj gua gatau mau ngomong apa Dav. Gua seneng banget Dav."

Davin tersenyum lebar, memeluk Pras sebagai tanda selamat. Hari dimana Pras kembali pada bahagianya akhirnya tiba. Pras kembali menemukan rumahnya.

"Mereka cuma denial aja selama ini, karena ada Vanilla, karena.." Pras tersengal karena tangisnya sendiri, "..karena belum sanggup urus dua anak."

Tidak ingin menjadi pusat perhatian, Davin berinisiatif memakaikan jaketnya pada Pras dan menaikan tudungnya selama melewati lobi hingga parkiran.

"You deserve it Pras, kita berangkat dulu. hapus air mata lo, ntar dicengin di sekolah."

Pras tertawa merasa dirinya sedikit konyol, menyeka air mata bahagianya yang tersisa dan ia memakai helm setelahnya.

Hari senin pagi yang manis untuk Pras.

"Ya Tuhan, semoga Senja balik hari ini."

SIRKEL B

Sirkel B [BTS Lokal] ✔Where stories live. Discover now