28. Harinya Sudah Tiba

24.5K 1.2K 12
                                    

Pagi-pagi, Nara dan Erga sudah bersiap-siap untuk berangkat ke restoran  tempat mereka bekerja. Walau sudah mendekati hari persalinan, Nara memilih untuk tetap aktif melakukan kegiatan sehari-hari. Ia tak mau beralasan hamil tua untuk berdiam diri saja di rumah, meski restoran itu adalah milik ayah mertuanya sendiri.

"Apa kamu baik-baik saja? Wajahmu sedikit pucat," sela Erga yang menyadari jika wajah istrinya sedikit pucat.

"Iya, aku baik-baik aja, Mas."

Erga sedikit ragu mendengar jawaban Nara. Tapi ia yakin, Nara yang lebih tau tubuhnya sendiri. Jadi mereka tetap akan berangkat kerja karena Nara mengatakan jika ia baik-baik saja.

Awalnya semua berjalan baik sesuai keinginan. Nara sendiri bahkan tak merasa aneh dengan dirinya yang tampak bersemangat walau kedua kaki cukup pegal. Ditambah lagi adanya kontraksi di perut, yang ia yakini hanya kontraksi palsu.

Namun hanya bertahan hingga tengah hari, tepatnya saat Nara dan Erga sudah makan siang. Sembari istirahat, Nara memilih untuk memijat kedua kakinya yang pegal. Ternyata kontraksi yang ia alami pun semakin menjadi. Kali ini diiringi rasa sakit di perut dan sekitar pinggangnya. Tangannya yang tadi memijat kaki, kini beralih mengelus perut yang terasa sakit. Ia bahkan meringis tertahan saat rasa sakit itu kembali terasa.

"Ada apa? Apakah sakit?" Erga bertanya, karena ia mendengar rintihan pelan Nara. Raut wajah Nara pun ia perhatikan sedikit berbeda.

"Ini, sepertinya aku akan melahirkan," jawab Nara disertai rintihan kecil.

"Apa? Kenapa nggak bilang dari tadi? Ayo, kita harus ke rumah sakit sekarang." Erga melotot tak percaya jika Nara bisa bersikap setenang itu. Padahal ia sendiri sudah kebingungan sekarang, tentang apa yang harus dia lakukan.

"Kita harus pulang dulu, Mas, ngambil perlengkapan," kata Nara.

Erga membantu Nara untuk berdiri. Pikirannya mulai kacau saat ini. Tapi ia masih bisa mengikuti arahan Nara untuk mengambilkan perlengkapan sebelum pergi ke rumah sakit. Dengan langkah perlahan penuh kehati-hatian menuntun Nara mencapai mobil.

Mobil melesat begitu cepat. Yang ada dalam pikiran Erga hanyalah tiba di rumah sakit secepatnya. Saat ia harus mengambil perlengkapan di apartemen, ia meminta Nara untuk tinggal saja di mobil. Ia sendiri yang akan mengambilkannya untuk Nara.

Setibanya di rumah sakit, ia berteriak memanggil suster dan membawakan kursi roda untuk Nara. Padahal Nara sendiri dengan santainya masih bisa berjalan dan keluar sendiri dari mobil. Hanya Erga yang terlalu panik.

"Aku masih bisa jalan kok, Mas," kata Nara tenang menyikapi kepanikan Erga. Satu tangannya mengelus perut dengan perlahan. Tak lupa, ia tersenyum tipis untuk meyakinkan Erga jika ia memang baik-baik saja. Rasa sakit yang ia rasakan belum separah dalam benak Erga.

Suster pun mengantarkan mereka ke ruang rawat, kemudian memeriksa kondisi Nara yang ternyata masih pada pembukaan satu. Kemudian Nara diberikan instruksi bagaimana untuk mempercepat pembukaan dan mengatasi rasa sakit saat kontraksi itu muncul. Demikian pun dengan Erga, suster berusaha untuk memberikan penjelasan agar ia tak terlalu panik. Erga hanya bisa mengangguk pasrah, karena sesungguhnya ia belum siap menghadapi ini semua.

Meski demikian, Erga tetap mendampingi Nara untuk berjalan-jalan atau sekedar mengusap punggung dan pinggang wanita itu kala ia merintih kesakitan. Karena memang semakin lama, rasa sakitnya semakin menjadi.

Hari sudah mulai gelap, saat dokter memeriksa keadaan Nara lagi. Pembukaannya sudah hampir lengkap. Jadi dokter menyarankan mereka untuk tetap berada di ruang bersalin. Jangan keluar lagi, karena Nara akan segera melahirkan.

Erga hanya semakin gugup. Tak ada kalimat yang mampu ia ucapkan. Sementara Nara sudah terbaring di atas brankar.

Mengerti keadaan suaminya, Nara meraih tangan Erga dan berbisik, "aku baik-baik aja, Mas. Nggak usah khawatir."

Erga mengangguk lagi. Namun genggaman tangannya ia eratkan pada tangan Nara. Terlebih saat Nara merintih kesakitan. Sementara dokter dan suster menyiapkan peralatan yang mereka butuhkan.

Waktu seakan berjalan begitu lambat bagi Erga. Seolah ini adalah penyiksaan yang tiada akhir. Kepalanya terasa mau pecah, sejak siang tadi hanya bisa mendengar rintihan kesakitan dari Nara. Namun tak bisa berbuat lebih untuk meringankan apa yang Nara alami. Entah kapan semua ini akan selesai.

Dokter menginstruksikan Nara untuk mengejan sedikit lebih keras. Setelah tarikan nafas yang cukup dalam, Nara melakukannya sesuai dengan instruksi dokter. Dan saat itu juga, tangisan bayi mungil menggema memenuhi ruangan dan pendengaran.

Erga akhirnya bisa bernafas lega. Perjuangan mereka sudah selesai. Nara sudah berhasil melakukannya dengan baik. Ia mengusap kening Nara yang penuh peluh. Lalu menciumnya dengan hangat.

"Kamu wanita yang hebat, Nara. Aku mencintaimu," bisiknya pelan. Tak peduli dengan keberadaan dokter dan suster yang masih mengurus bayi mereka dan juga Nara.

"Selamat ya, Pak, Bu. Bayinya tampan, seperti ayahnya," ujar seorang suster sembari membaringkan bayi merah itu di sebelah Nara.

Pandangan Erga beralih pada bayi tampan, yang memang mirip dengannya. Jika mirip dengan mendiang adik kembarnya, sudah tentu mirip dengannya juga. Ia tersenyum, seakan melihat kembali adik kembarnya yang telah berpulang beberapa bulan yang lalu. Rasa rindunya pada Ergi bisa terobati. Karena tak bisa dipungkiri, jika ia teramat merindukan adiknya itu.

Dan kini, hati kecilnya sedang berterima kasih pada Ergi, yang tak salah memilihkan seorang wanita yang hebat untuk dijadikan pendamping hidup. Meski awalnya Nara bukanlah wanita pilihannya, tapi kini ia sudah bisa menerima kehadiran wanita itu dalam hidupnya. Dan bahkan telah menempatkan wanita itu pada posisi pertama dalam hatinya. Karena memang, ia telah mencintai Nara.

Istri yang dulu sama sekali tak diinginkannya, kini menjelma menjadi bidadari dalam hidupnya. Wanita itu telah berhasil mengembalikan sisi baik dari Erga, tak lagi tenggelam dalam bayangan gelap masa lalu yang merenggut senyum indahnya.

***

Kabar bahagia itu pun langsung beritahukan Erga pada semua keluarga. Dan tak menunggu waktu lama, keluarganya pun keluarga Nara sudah datang berkunjung. Tak mau menunggu hingga esok hari, meski malam sudah mulai larut. Bahkan mereka tak percaya jika Erga sudah melewati semua ini sendirian, tanpa bantuan keluarga.

Endang mendekati putranya yang duduk sendiri di sofa, sementara semua keluarga masih memandangi putranya yang terlelap di box bayi.

"Terima kasih udah menjadi pria yang hebat, Nak. Mama salut sama kamu," kata Endang dan memeluk putranya. Sudah lama Endang menantikan momen dimana putra sulungnya itu menunjukkan sikap dewasanya.

Erga menatap wajah ibunya yang kini berkaca-kaca. "Terima kasih juga, Ma, udah mengajarkan semua hal yang baik untuk Erga. Dan maaf, jika selama ini Erga banyak mengecewakan Mama. Erga tau, Erga banyak salah sama Mama."

Endang tersenyum dengan satu tangan yang mengusap jejak air mata yang terjatuh di pipi. "Mama nggak pernah nyalahin kamu. Mama hanya menyalahkan diri Mama sendiri."

Keduanya pun kembali berpelukan, diiringi sebuah tawa kecil yang menandakan kebahagiaan yang tengah melingkupi mereka. Kehadiran bayi mungil yang sama tampannya dengan Erga, sudah tentu adalah kebahagiaan yang tiada tara bagi mereka.

***

Jangan menyalahkan takdir. Takdir tak pernah salah. Hanya kita yang belum siap untuk menerimanya.

***

Istri yang Tak Diinginkan (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang