31. Ekstra

45.8K 1.3K 19
                                    

Nara baru saja menyelesaikan kegiatannya di dapur. Kegiatan rutin berupa memasak dan mencuci piring kotor. Sejak sebulan yang lalu, bik Emi telah mengundurkan diri sebagai asisten rumah tangga mereka dengan banyak pertimbangan. Terlebih di usianya yang sudah mulai renta, tak ingin membuat pasangan muda itu khawatir.

Meski awalnya Erga dan Nara tak setuju, pada akhirnya keduanya mengikuti keinginan wanita itu. Melepas bik Emi walau dengan berat hati. Tak ingin menghalangi niat wanita itu yang ingin istirahat di masa tuanya.

Sementara untuk mencari asisten rumah tangga baru, mereka masih memikirkannya. Tak ingin bertemu dengan orang yang salah. Karena sesungguhnya memang sulit untuk bertemu dengan orang yang tepat.

Erga sendiri masih berada di kamar mandi. Dan Nara memutuskan untuk menunggu suaminya itu keluar.

Sementara Evan, bocah kecil berusia tiga tahun itu sudah tinggal di rumah kakek dan neneknya. Tepat setelah bik Emi mengundurkan diri. Bocah itu berdalih, jika ia tak mempunyai teman bermain lagi di rumah. Kedua orang tuanya sibuk bekerja, yang telah diberi kekuasaan penuh untuk mengelola restoran warisan Eddi. Dan jika tinggal di rumah kakek neneknya, ia punya banyak teman. Terlebih kakek dan nenek yang begitu menyayanginya.

Tinggallah Nara hanya berdua saja dengan Erga di apartemen mereka. Seolah segalanya mendukung pasangan itu untuk hidup bak pengantin baru, agar Evan segera mempunyai adik.

Nara memang tidak pernah menunda untuk memberikan adik pada putra kecilnya. Hanya saja memang belum waktunya bagi mereka.

Hanya berselang beberapa menit, Erga sudah keluar dari kamar mandi. Muncul di ruang makan dengan wajah yang lebih segar, setelah seharian penuh bekerja di restoran. Nyatanya, meski menjadi bos di restoran itu, tak lantas membuat Erga hanya berdiam diri dan memberi perintah. Ia ikut serta bekerja, melakukan apapun yang bisa ia lakukan.  Sekalipun itu mencuci piring. Hal yang membuat semua karyawannya semakin giat.

Keduanya pun makan malam, diiringi obrolan ringan. Membiasakan diri, jika sedang makan mengobrol santai dan bebas dari gawai. Hal kecil yang justru membuat keduanya semakin mengerti satu sama lain, membuat benih cinta yang telah tumbuh dalam hati keduanya semakin bertumbuh dan berbunga. Bahkan di tahun keempat rumah tangganya ini, perasaan itu telah membuat keduanya saling ketergantungan dan tak terpisahkan.

Setelahnya, kedua pasangan itu memilih untuk menonton TV sebelum tidur, dengan duduk bersandar di atas kasur. Tentu dengan Erga yang merangkul mesra pundak istrinya. Mereka sengaja menambahkan TV di kamar, yang ternyata kini sangat mereka syukuri. Yang juga membuat hubungan mereka kian dekat. Tak lagi bermain gadget di kasur, hanya menonton dan mengobrol.

"Apa belum ada tanda-tanda?" Erga bertanya tepat saat jeda iklan dimulai.

Nara menoleh. "Tanda apa, Mas?"

"Tanda kalau adiknya Evan akan segera datang."

Nara kemudian menggeleng. Mengembalikan pandangannya pada layar TV. "Belum, Mas."

Erga menghela nafas. "Kok lama ya?"

"Aku juga nggak tau, Mas. Padahal hanya sekali kesalahan, langsung berbuah," kata Nara. Meski tak ingin mengungkit kesalahan terbesarnya di masa lalu, tapi ia ingat hal itu hanya sekali mereka lakukan namun langsung menghadirkan Evan di rahimnya.

Meski Erga sudah menganggap Evan sebagai darah dagingnya, tapi tetap saja jika ia ingin anak yang memang benar-benar berasal darinya.

"Apa mungkin aku yang tak sehat?" Erga bergumam sendiri.

"Bisa jadi," kata Nara. Namun ia tak sungguh-sungguh mengatakannya. Ia hanya berniat menggoda suaminya.

"Jadi, itu artinya kalau kita nggak akan punya anak lagi?" tanya Erga terdengar pasrah.

Nara langsung memeluk tubuh Erga. Menyurukkan wajahnya di ketiak pria itu dan menciumi aroma tubuh Erga yang masih didominasi wangi sabun yang sangat segar. Aroma yang begitu digilainya dari seorang Erga.

"Selama niat kita baik, Tuhan pasti akan berikan. Mas jangan menyerah begitu." Nara bergumam pelan namun masih dapat Erga dengar.

"Tapi kita udah coba selama tiga tahun, namun tak ada hasilnya. Salah dimananya lagi?" Erga menghela nafasnya. Namun tangan yang merangkul pundak istrinya ia usapkan perlahan.

"Nggak ada yang salah, Mas. Memang belum waktunya aja," Nara berusaha menghibur.

Lagi, helaan nafas Erga yang terdengar. "Tapi, apapun itu, aku udah sangat bersyukur dengan kehidupan kita yang sekarang." Erga tampaknya sedikit lebih bersemangat.

Nara mengangguk dalam rangkulan suaminya. "Iya, Mas. Setuju. Dan itu artinya, Tuhan masih ingin kita menikmati masa pacaran," kekehnya.

Erga ikut tertawa. "Enaknya, pacaran itu berapa lama, sih?" tanyanya serius.

"Hah?" Nara mengangkat wajahnya, menatap wajah Erga. Sangat ingin tau, apakah Erga serius menanyakan hal itu. "Apa Mas bilang tadi?"

Erga membalas tatapan istrinya. "Menurut kamu, idealnya pacaran itu berapa lama, sebelum melanjut ke jenjang pernikahan?" ulang Erga.

Nara menatap heran. "Itu pertanyaan serius nggak, sih?"

"Ya, serius lah."

"Mas ada-ada aja. Mana ada ketentuan, berapa lama idealnya pacaran. Kalo merasa udah cocok, cuma sebulan dua bulan pun bisa. Kembali ke orangnya masing-masing," jelas wanita dua puluh delapan tahun itu.

"Iya, kan aku nanya pendapat kamu."

Nara memalingkan wajah, memutus pandangan dari suaminya. "Dari aku sendiri pun, Mas, bukan lama pacaran yang menentukan." Ia teringat kembali dengan kisah cintanya di masa lalu. Pacaran beberapa tahun, tapi bukan jodoh. Semua adalah rahasia Yang Kuasa.

"Mas, kenapa nanya kayak gitu?" Nara balik bertanya setelah keheningan sesaat.

Erga mengeratkan rangkulannya. Diiringi sebuah kecupan yang mendarat di pipi Nara. "Nggak apa-apa. Cuma tersadar kalau kita udah tiga tahun pacaran halal. Nggak terasa," jawabnya.

Nara tertawa pelan. Ya, tiga tahun. Bukan waktu yang singkat, namun sudah berlalu begitu saja, menyisakan kenangan manis yang berusaha mereka ciptakan.

"Aku pikir, Mas mau pacaran sama siapa dan berniat menikahinya setelah merasa waktu ideal pacaran telah terpenuhi," cibir Nara.

"Bagaimana mungkin aku mencari wanita lain, jika di sisiku sudah duduk manis wanita idaman. Yang tak mungkin untuk digantikan," puji Erga.

"M-hm."

"Hei, kamu nggak percaya?" Erga memaksa Nara untuk menatapnya.

"Mm..."

"Kalau nggak seperti itu, nggak mungkin juga aku bertahan sejauh ini. Pada kenyataannya, memang kamulah wanita yang terbaik untukku, Naraya Puji Astika."

Nara menyunggingkan senyum lebar. Setiap kali Erga menyebutkan nama lengkapnya seperti itu, itu artinya Erga sedang serius. Dan pujian tulus yang baru saja Erga ucapkan itu mampu membuatnya merasa terbang.

"Aku percaya, Mas. Dan aku harap, pacaran kita ini adalah yang terakhir, sampai akhir hayat."

"Jadi, boleh kita mulai sekarang?"

Nara memutar bola matanya. "Mulai apanya, Mas? Bukannya udah dimulai sejak tiga tahun yang lalu?"

Erga terkekeh. "Maksudku, mulai program adik untuk Evan," katanya.

END

Demikianlah dua insan yang dulunya punya hubungan yang tak baik, kala cinta telah menghampiri semua jadi terasa sempurna.

***

Okay, sekian cerita dari Nara dan Erga. Semoga para fans Nara-Erga terhibur dengan adanya cerita ini.

Berhubung kisahnya udah berakhir dengan bahagia, silahkan mampir ke cerita author yang lainnya yah. Author baru publish cerita baru berjudul "AIRA - Cinta yang Murni". Boleh mampir ke lapaknya, cek di profil author.
Thank you~~~
Salam hangat untuk semua pembaca setia Nara-Erga 🥰🥰🥰

Istri yang Tak Diinginkan (COMPLETED)Where stories live. Discover now