22 : HARGA

908 140 48
                                    

"Kamu mau ke mana?" tanya Jazz saat Reva hendak beranjak. Mereka baru saja mencuci peralatan makan usai sarapan.

"Mandi. Nggak lama, kok," jawab Reva.

"Nggak usah. Udah cantik gitu, kok," celetuk Jazz.

Reva seketika membulatkan kedua matanya yang indah. Kedua pipinya tiba-tiba terasa hangat dan mungkin saja sekarang telah berwarna serupa buah tomat.

Yaa Allaah, Jazz. Mulutnya nggak sopan banget. Laki-laki itu membatin. Kemudian berdeham dan mendadak merasa canggung. Dia sendiri terkejut dengan ucapannya.

"Uhm ... se-seenggaknya aku ganti baju yang lebih proper," gugup Reva. Walaupun piyama menjadi tren di kalangan selebritis sebagai pakaian hang out layaknya kemeja atau t-shirt, tetapi Reva bukan Rihanna yang selalu terlihat stunning dengan apapun yang melekat di tubuhnya. Jika saja Jazz tahu, sepanjang mereka sarapan berdua, perempuan itu merasa tidak nyaman karena tetap mengenakan piyama.

"Kamu bagus pakai apapun, kok. Atau mungkin mau pergi ke suatu tempat?"

"Oh, nggak." Reva buru-buru menjawab. "Maksudku, kan ada kamu. Jadi kurang pantes aja kalau pakai piyama. Bukan berarti kalau aku ganti baju karena mau pergi."

Jazz menyunggingkan seulas senyum. "Aku bukan pejabat. Jadi kamu nggak harus menyesuaikan mau pakai pakaian apa," ucapnya. "Aku ke sini cuma mau sarapan bareng kamu dan ... eum ... ngobrol bentar. Kalau nggak keberatan."

Lak-laki itu berdeham pelan. Kemudian menggaruk sisi kepalanya canggung. Tampak lucu di mata Reva. Sehingga membuatnya mati-matian menahan tawa. "Oke," ucap Reva. Entah mengapa dia sendiri merasa canggung. "Kalau gitu, aku buatin teh lagi."

"Nggak usah."

"Nggak apa-apa." Reva menyahut saat Jazz menolak tawarannya. "Please. Kamu udah repot bikin sarapan pagi-pagi dan antar ke sini. Seenggaknya aku bikin sesuatu sebagai ucapan terima kasih. Mungkin kalau kamu bosan minum teh, aku bisa bikin kopi."

"Nggak usah, Reva." Jazz melangkah mendekati Reva. "Aku memang niat mau bikin sarapan buat kamu, dan mastiin kalau kamu baik-baik aja. Eum ... aku ...,"

Reva mengernyit saat melihat Jazz menunduk. Tampak menutupi perasaan gugupnya dengan berdeham beberapa kali. "Aku kepikiran kamu semalaman. Kayaknya sekarang kamu udah lebih baik. Aku seneng lihatnya."

Wajah yang selalu dihiasi senyum itu kini terangkat. Balas menatap Reva yang tertegun di hadapannya. Si gadis Ipanema yang biasanya berwajah muram dan menyembunyikan luka di balik senyuman. Kini terlihat bahagia seutuhnya.

"Terima kasih, Jazz." Reva mengulas senyuman. "Karena udah mau dengerin aku." Tangannya terulur dan menggenggam tangan cokelat Jazz.

Hanya sebentar. Reva buru-buru melepas genggamannya kembali dan berlalu menuju kabinet penyimpanan bahan makanan. Dia mengambil kaleng teh, gula, dan dua buah mug berukuran sedang. Kemudian berusaha menyibukkan diri membuat teh untuk dirinya dan Jazz. Hanya agar degup jantungnya yang tiba-tiba meningkat bisa teredam.

Sejak kapan? batin Reva. Sekarang jantungku kenapa jadi nggak stabil begini?

*

Matahari semakin terang mencurahkan cahayanya ke bumi. Namun tidak mengurangi hawa sejuk yang masih tersisa di sekitar Rosanna. Sejak satu jam yang lalu, dua anak manusia duduk di teras belakang villa. Berbincang mengenai apa saja seraya menyesap teh.

Setelah merasa kehabisan bahan pembicaraan, keduanya sama-sama diam. Membiarkan sunyi dan mendengarkan suara-suara sekitar saling bersahutan. Alih-alih merasa canggung, keduanya justru menikmati saat-saat ini.

Heartbreak Playlist [TAMAT] (SUDAH TERBIT) Where stories live. Discover now