36 : CURAHAN HATI

843 135 32
                                    

Kota kecil itu sibuk seperti biasa. Kendaraan berlalu lalang dengan kepadatan yang sama dengan hari sebelumnya. Bahkan di sebuah coffee shop, kesendirian masih mendominasi seperti kemarin. Hanya saja, bagi seseorang, beberapa hari belakangan terasa sangat berbeda.

"Udah. Telepon sono kalau kangen," tegur seorang perempuan berkacamata yang baru muncul dengan secangkir espresso. "Lihat-lihatan story mulu. Kalau nggak, saling bikin story bucin. Lo cocok sama dia, Jazz."

Laki-laki berlesung pipi yang malam ini duduk di bangku bar dengan masih mengenakan apron, mengangkat pandang. Sebuah ponsel pintar menyala di tangannya. Menampilkan potret hitam putih seorang perempuan berambut ikal yang sedang tertawa dengan secangkir latte dan kue di dekat tangannya. Foto yang dia ambil diam-diam beberapa hari yang lalu.

"Kayak nggak tahu si Jazz aja," sahut Dastan yang duduk di sebelah Jazz. Dia menerima espresso yang diserahkan Sisca. "Ini udah hampir seminggu Reva balik ke Malang, lo nggak coba kirim text ke dia, gitu? Nanya udah makan atau lagi ngapain kan bisa."

"Tahu, nih. Masa gue sih yang harus jadi perantara? Berasa jadi kurir gue. Kurir rindu. Dapet untung kagak, jadi nyamuk iya," omel Sisca. kemudian menoleh pada Dastan. "Kayaknya ini nyamuk versi 2.0, deh."

Dastan terkekeh sesaat sebelum menyesap espresso-nya. Sementara Jazz mematikan ponsel dan meletakkannya di meja bar. Dia menatap kedua sahabatnya bergantian. "Ini udah cukup, kok," ucapnya.

"Wah, nggak bener lo, Jazz," sahut Dastan. "Kalau gue jadi lo, nggak akan gue biarin si Reva balik ke Malang tanpa ada kejelasan gini. Atau at least, gue usahain supaya bisa nyusul dia ke sana. Kalau nggak memungkinkan, gue nggak berhenti komunikasi sama dia. Ini kenapa kesannya lo pasrah banget, sih? Seumur-umur kita temenan baru kali ini gue kesel sama lo."

Jazz menatap Dastan tajam. "Kamu nggak ngerti apa yang dia rasain."

"Dia nggak suka sama lo?" tebak Sisca.

"Wah. PHP-in doang? Parah sih kalau gitu, Jazz. Gue pikir si Reva ini lain daripada mantan lo sebelumnya. Nggak tahunya ...," Dastan menggeleng tak percaya.

Kali ini Jazz menghela napas pelan. sepertinya dia harus menjelaskan kepada Dastan dan Sisca, walaupun dia sendiri tidak menyukai gagasan harus berbagi mengenai apa yang dia rasakan pada orang lain.

***

"Reva."

Panggilan di depannya membuat Reva tersentak. Terlihat Kalani dan Ambar yang hari itu berdandan rapi menatap kepadanya. "Ya?" tanya Reva.

"Kamu jadi pesen apa? Itu Masnya nungguin," ucap Ambar

Reva menoleh. Seorang petugas laki-laki yang masih muda tersenyum canggung padanya dari balik konter pemesanan. Mereka sedang berada di sebuah coffee shop dalam area mall. Satu jam yang lalu, acara peluncuran produk Daisies baru selesai. Namun baru saat ini Reva memiliki waktu untuk beristirahat bersama sahabat-sahabatnya.

"Oh, sorry." Reva membungkuk singkat dan segera bersikap normal. Dia membaca menu di belakang konter dengan cepat. "Eum ... saya pesan matcha ... soy latte?" Dia seolah tak percaya ketika matanya menemukan menu itu tertulis di papan.

"Matcha soy latte ya, Kak? Small, medium, atau–"

"Bukan, bukan." Reva buru-buru meralat pertanyaan petugas laki-laki tersebut. "Soy latte aja. Nggak usah pakai matcha. Yang panas, medium. Sama brownies-nya satu."

"Baik. Saya ulang lagi, ya." Petugas konter pemesanan tersebut membacakan kembali pesanan ketiga perempuan di hadapannya, lalu jumlah harga yang harus dibayar. Kalani yang menraktir hari itu. Hitung-hitung pemanasan sebelum bridal shower katanya.

Heartbreak Playlist [TAMAT] (SUDAH TERBIT) Where stories live. Discover now